“Jika kau ingin menjadi seorang penulis novel psikologis dan menulis soal manusia,” sebut Adous Huxley dalam rangka memberi wejangan bagi penulis muda, “jalan terbaik yang dapat kau lakukan adalah dengan memiara sepasang kucing.”
Memang apa sih yang spesial dari kucing? Apa yang istimewa selain sebagai makhluk imut yang katanya punya sembilan nyawa ini? Nah, Ernest Hemingway menyebut: “Seekor kucing punya kejujuran emosional sebetul-betulnya: manusia, untuk beberapa alasan, dapat menyembunyikan perasaannya, namun kucing enggak.”
Tapi saya tak sepenuhnya setuju dengan pendapat Hemingway yang doyan mancing itu. Saya rasa justru di balik kepoloson kucing yang tampak, ada sesuatu yang terpendam. Bahkan mungkin, sesuatu yang gelap, mistis, dan menakutkan, seperti dalam cerpen The Black Cat-nya Edgar Allan Poe. “Aku harap aku bisa menulis semisterius mungkin layaknya kucing,” ungkap Poe sendiri.
Di balik kemisteriusannya itu, justru saya merasa suka karenanya. Seperti ada ikatan batin antara saya dan kucing. Memang, saya bukan seorang Satoru Nakata dalam Kafka On the Shore-nya Haruki Murakami yang bisa ngomong sama kucing-kucing. Tapi begitulah, secara metafiksi, saya anggap kucing adalah teman ngobrol paling asyik, juga pendengar paling setia.
Seorang Charles Bukowski, penulis yang juga pemabuk berat itu bahkan mengakui kalau kucing adalah obat paling mujarab menghadapi keruwetan hidup, sebutnya panjang lebar dan ngawur (mungkin ngomongnya pas lagi mabok): “Punya serombongan kucing itu oke. Jika kau lagi ngerasa enggak enak, kau hanya kudu lihat kucing, dijamin kau bakal ngerasa lebih baik, karena mereka tahu bahwa segala sesuatu itu ya gitu adanya. Enggak ada penyemangat emang . Mereka hanya tahu. Mereka penyelamat. Semakin banyak kucing yang kau miliki, semakin lama kau hidup. Jika kau punya seratus kucing, kau bakal hidup sepuluh kali lebih lama daripada jika kau hanya punya sepuluh. Suatu hari ini bakal jadi penemuan, dan orang-orang akan memiliki seribu kucing dan manusia bisa hidup selamanya. Ini emang konyol sih.”
Malangnya, saya saat ini belum bisa mengamalkan anjurannya Papa Bukowski, soalnya masih tinggal serumah keluarga. Belum punya rumah tangga sendiri. Jadi ya, cuma bisa piara kucing secara digital aja lewat Neko Atsume. Inilah kucing-kucing lucuk yang hinggap ke rumah saya.
“Jika aku harus menjalani inkarnasi yang berbeda,” kelakar Joseph Brodsky, “aku lebih suka tinggal di Venesia sebagai kucing.” Ya, ya, ya, saya pun mau juga kalau bisa, pengen banget jadi Leon, kucingnya Yona JKT48. Biar bisa dielus-elus. 😆
Neko atsume itu apakah?
Game di hape, semacam tamagochi.
Android?
Ya, ada di Play Store gratis. Neko Atsume atau Kitty Collector. 😀
Hohoho.. racun banget nih. *harus tahan godaan
banyak games kucing sekarang ya
Anakku nih cintaaaa banget ama kucing
wah maen neko atsume juga 😆
paling suka buka neko atsume buat denger lagunya, langsung ngerasa adem
Nah ini salah satu keasyikannya, apalagi kalau pas buka banyak kucing yg mampir.
iya banget!! apalagi gaya kucingnya ngegemesin gitukan yaaa
Kucing memang luar biasa. Katanya ngelus-ngelus bulu kucing juga bisa menetralisir emosi negatif. Yah…semacam obat penenang gitu mungkin. Untuk hubungan kucing dengan sebuah cerita, saya juga sependapat dengan Mas Arip. Sekyut dan seekspresif apapun kucing, terkadang ia memiliki sisi misterius. Kadang juga jaim dan sok jual mahal. Jinak-jinak merpati begitu lah kadang-kadang. Dan di beberapa cerita yang menjadikan binatang sebagai tokoh, pencitraan kucing cukup beragam. Ada yang berperan sebagai pahlawan, seperti puss and boots, atau pemalas dan licik seperti garfield dan lain-lain. Justru pencitraan anjinglah yang kuat menancap di benak kita sebagai lambang kesetiaan. Padahal, jika dibandingkan, kucing dan aniing sama-sama kyut sekaligus memendam misteri.
Eh tapi bener kok, entah kenapa selain kopi, obat stres paling ampuh juga ngelus kucing.