Kamera Polaroid yang kumiliki adalah Polaroid Spectra. Memakai film yang 1,5 kali lebih besar dari Polaroid umumnya, dan lebih mahal. Dia membelikan ini untuk hadiah ulang tahunku beberapa tahun yang lalu. Aku masih ingat betapa bahagianya aku ketika membuka kado dan mendapati bahwa ini kamera yang sangat aku idamkan. Dia mengambil foto pertama. Fotoku yang sedang menengok ke bawah, kepalaku sedikit mendongak. Bekas lipstik pada gelas anggurku masih jelas terlihat. Aku merasa harus meminta padanya, bolehkah aku memotretmu? Dia menggeleng. Dengan satu paket film kita dapat mengambil sepuluh foto – yang sekarang tersisa sembilan. Dia tidak ingin dipotret, tapi aku berharap aku punya fotonya untuk kenang-kenangan hari itu. Karena kami tiba-tiba putus tak lama setelah itu. Dan sekarang aku tak bisa mencintainya, aku pun tak bisa membencinya lagi.
Kameranya sendiri aku bawa pulang untuk kemudian memotret keluargaku yang sedang berkumpul mengelilingi meja.
*
Aku biasa tidur berbaring telentang, dengan punggung sebagai tumpuan. Ketika perutku terasa tak enak, baru aku berguling ke sisi kiri dan tidur menghadap dinding. Tetapi tak peduli apapun posisi tidurku, salah satu lengan selalu mengulur – seperti sudah jadi keharusan – dan berakhir menggantung turun dari tempat tidur. Tiba-tiba, aku merasakan sensasi tanganku dipegang seseorang dengan lembutnya. Aku terbangun dengan kaget. Ruangan gelap. Kehangatan tetap terasa di telapak tanganku. Aku mencoba meregangkan jari-jari tangan yang menggantung dari tempat tidur. Aku merasa seperti ada seseorang yang menyelinap masuk – dia berbaring di lantai atau duduk di kaki tempat tidur, tapi tak terasa ada semacam gerakan sekecil apapun. Meski begitu aku bahkan tak punya niat untuk melompat dari tempat tidur atau cepat-cepat menyalakan lampu. Untuk beberapa alasan aku berpikir kalau melakukan sesuatu justru akan berakhir tak baik.
Sangat menyebalkan awalnya memang. Kehadiran itu membuatku takut – sangat menganggu sampai-sampai aku harus tidur dengan lampu menyala untuk waktu yang lama. Tapi sekarang aku cukup terbiasa dengan kehadiran itu. Perlahan-lahan, aku memberanikan diri. Maksudku, aku berharap sesuatu itu akan menampakkan diri ketika aku terjaga. Setelah beberapa saat aku menyalakan lampu. Tidak ada seorang pun di sana. Tidak ada jejak siapapun yang tertinggal. Pada awalnya aku bertanya-tanya mungkinkah itu salah satu hantu yang mendiami rumah ini. Atau itu roh nenekku yang sudah meninggal, atau bibiku, atau pamanku? Tapi sekarang aku tahu. Itulah dia.
*
Ayahku berasal dari Yeosu. Aku pernah di sana hanya sekali waktu saat aku telah dewasa. Aku tidak menyukai tempat itu karena di situlah ayahku dilahirkan. Terlalu banyak hal-hal buruk terjadi di sana.
Saudara-saudara ayahku selalu kebanyakan minum-minum – mereka selalu bertengkar dan menangis. Salah satu pamanku pergi ke laut lepas selama berbulan-bulan pada suatu waktu untuk menangkap ikan yang akan dijualnya di pasar. Ayahku meninggalkan kampung halamannya ketika ia berusia sembilan tahun, setelah ibunya meninggal.
Nenekku itu meninggal pada hari ulang tahunnya. Untuk pertama kalinya, kakekku, paman-pamanku yang pelaut, dan bibi-bibiku bisa berkumpul di satu tempat. Nenekku harus menunggu lama untuk hari itu. Dia memasak sup ikan kembung dan bunuh diri dengan memakan semuanya. Dan bukan sembarang hari – itu di hari ulang tahunnya.
Aku melihat nenekku dari salah satu foto peninggalan dari dirinya. Seperti nenek dari garis ibuku yang mati muda karena kanker payudara, dia sama-sama berpakaian serba putih, mengerutkan kening. Kedua nenekku memiliki alis hitam tebal. Aku memutuskan untuk lebih suka pada nenek dari garis ayahku – karena aku pikir kematiannya sungguh dramatis.
Setelah nenek meninggal, ayahku pergi dari rumah untuk tinggal di Seoul, dan ketika ia menikah, ia mendaftarkan kota ini sebagai alamat tetapnya. Tapi aku tahu dia mencintai Yeosu. Aku tahu bahwa dia secara pribadi bermimpi suatu saat akan kembali lagi ke sana. Aku juga tahu bahwa setiap kali segala tentang Yeosu muncul di TV seperti dalam acara My Hometown at 6, ia menatapku. Ha! Tak mau! Aku memalingkan kepalaku dan melihat ke arah lain.
Bibi Yonsook adalah bungsu dari keluarga ayahku. Dia sangat menyukai anak-anak ayahku, dengan kata lain keponakannya: kakak-kakakku dan aku. Setiap musim, dia akan mengirimi ikan lewat jasa kurir – ikan kering, ikan croaker, dan pari – dan dia menelepon kami sepanjang waktu. Dia ingin pindah ke Seoul, tapi sampai aku dewasa, dia tidak pernah berkunjung sekalipun. Setiap hari libur atau kalau ada upacara peringatan dia akan berkata, aku harus pergi, aku benar-benar harus pergi dan melihat kalian semua, kemudian dia akan menangis. Dia adalah orang yang menangis paling sering di keluarga ayahku. Itu sebabnya aku takut padanya.
Ketika bibi menikah, dia dengan cantiknya memakai gaun panjang dengan rambut hitamnya yang tergerai panjang sampai pinggang. Aku mendengar bahwa suaminya yang pelaut itu (aku hanya melihat wajahnya sekali) sering memukulnya. Bibi punya dua anak dari suaminya itu sebelum dia bercerai. Aku juga mendengar bahwa bibi selalu mengirimkan uang dari penghasilannya bekerja di toko dan pekerjaan sampingan di tepi pantai untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Mereka mengatakan bibi seorang yang tangguh. Ibuku sangat menyukai Bibi Yonsook. Itulah semangat muda, dia akan berkata. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya usia kami tidak ada banyak perbedaan meskipun memang aku keponakannya.
Kemudian Bibi Yonsook bertengkar dengan kekasihnya dan melompat dari lantai lima apartemennya. Tindakan bunuh diri. Kerabat-kerabat ayahku memuntahkan kemarahan pada kekasih bibi dan menuduhnya yang membunuh bibi. Pada hari otopsi, adik ayahku, Paman Dosong, yang pergi ke kamar mayat bukannya ayah. Ayahku masih mabuk berat – ia tak henti-hentinya terus muntah. Hingga kini, ayahku telah berhenti merokok tepat tiga kali. Yang pertama adalah hari ketika ia pulang setelah mengkremasi bibi. Otopsi tidak dapat menentukan apakah kematiannya adalah tindak bunuh diri atau pembunuhan. Mereka mengatakan bahwa lelaki yang jadi kekasihnya itu mengurus pemakaman bibi. Aku kira itu berarti dia yang bakal membayar segala biaya. Aku mendengar semua ini dari sini di Seoul. Pergi ke Yeosu? Aku bergidik.
Pemakaman berubah menjadi kekacauan. Lima saudara ayah yang masih hidup semuanya pada mabuk, dan mereka berteriak dan menangis, mencengkeram kerah satu sama lain. Itu adalah malam pertamaku merasakan kehadiran aneh di kamarku. Setelah menahan napas dan berbaring untuk waktu yang lama, aku mengangkat tubuhku. Aku melihat kaki tempat tidur dan lantai. Aku memanggil nama bibiku yang sudah mati itu dalam kamar gelap ini: Bibi Yonsook? Aku merasa dingin menampar wajahku.
Malam seperti ini berlangsung selama waktu yang sangat lama. Aku tidak bercerita tentang hal ini kepada ibu atau kakakku. Keluargaku takut untuk berbicara tentang orang mati. Aku harus membiasakan diri. Dan setelah beberapa waktu aku tak merasakan kehadiran sama sekali, tidak sampai malam setelah pamanku meninggal.
Paman Dosong, yang melihat otopsi Bibi Yonsook dengan mata kepalanya sendiri – dua tahun setelah bibi meninggal, paman didiagnosis kanker hati di Rumah Sakit Pensiunan. Dia datang dan tinggal di rumah kami saat masih menjadi pasien rawat jalan. Semua saudara ayahku memiliki badan tinggi dan tegap, tapi sekarang Paman Dosong menjadi kurus kering; wajahnya bertambah gelap. Dalam kondisi itu, ia menolak tidur di kasur orangtuaku dan memilih tidur dalam posisi janin di sofa ruang tamu. Ketika aku ingin pergi ke kamar mandi di tengah malam, aku tidak bisa turun ke bawah. Aku takut kalau mendapati pamanku sudah terbaring mati di sana. Rasanya kandung kemihku mau meledak saja.
Pamanku kembali ke Yeosu dengan wajahnya yang makin menghitam serupa muka kambing. Dia meninggal dua bulan kemudian. Meski begitu, aku tak pergi ke Yeosu. Ayahku berhenti merokok lagi. Aku mulai sering terbangun sekitar dini hari. Aku tidak bisa mengusir perasaan bahwa seseorang sedang duduk di kaki tempat tidur atau meringkuk di lantai meski hampir mustahil ada cukup ruang bagi seseorang untuk berbaring. Telapak tanganku selalu basah oleh keringat. Aku mencoba memanggil, Paman Dosong? Tidak ada yang menjawab – tidak Bibi Yonsook, atau Paman Dosong, atau nenekku yang bunuh diri sudah lama itu. Akhirnya, aku tertidur dengan kamera Polaroid yang selalu dalam genggaman.
*
Setiap hasil foto Polaroid memiliki nomor seri yang tercetak. Foto pertama yang ia ambil – fotoku pada hari ulang tahunku, yang sedang duduk di sebuah kafe dengan kepala tertunduk – memiliki nomor 0318 4149 yang dapat ditemukan di bagian belakang. Jika saja aku memotret wajahnya setelah itu, maka nomornya 0318 4150. Tapi nomor 0318 4150 adalah foto keluargaku. Mereka baru saja pulang ke rumah setelah acara malam selesai dan kami semua berkumpul melingkari meja dengan kue kecil di atasnya. Oke, perhatian semua, lihat kesini semuanya! Aku baru saja putus dengan pacarku ketika aku mengklik tombol shutter.
Aku sampai di foto kesepuluh dalam kemasan, nomor 0318 4158, potret temanku saat ulang tahunnya – dan ketika pacar adik bungsuku datang, aku memotret mereka berdua yang berpose di ruang tamu. Aku memotret bunga magnolia yang mulai menyebar kelopaknya, kemudian aku memotret sepatu kets lamaku. Saat aku memakai 4152, 4155, hingga 4157 – sebelumnya telah memotret nomor 0318 4151- musim dingin berlalu, musim semi datang, sampai musim panas pergi lagi. Aku tidak punya kesempatan lain untuk mendapatkan foto wajahnya.
Aku sampai di foto terakhir, nomor 0318 4158. Aku tidur sambil memegang Polaroid-ku. Aku bangun. Aku menahan napas dan – klik – aku menekan tombol shutter seolah-olah aku sedang berada dalam penyergapan. Kertas film meluncur keluar seolah-olah aku telah menyambarnya dari kamera. Aku segera menyalakan lampu, menekan kertas film keras-keras di telapak tangan panasku yang berkeringat agar prosesnya lebih cepat. Perlahan-lahan, bentuk samar mulai tampak. Keasyikan Polaroid adalah saat penantian proses pembentukan hasil foto yang begitu singkat itu, kita bisa langsung melihat hasil foto kita segera, saat itu juga. Ini seperti menunggu harap-harap cemas di pintu, dan setiap kali pintu terbuka, kita pikir mungkin orang yang kita tunggu sudah datang. Tapi aku tidak bisa merasakan semacam kegembiraan malam itu. Kegembiraan! Aku malah ketakutan, rasanya seperti seseorang mencengkeram tengkuk leherku dengan kedua tangannya.
Aku menatap lekat-lekat hasil fotonya, warna dan bentuknya begitu nyata dalam foto 9 x 7,3 cm itu. Bukan nenekku yang sudah meninggal, bukan Bibi Yonsook, bukan Paman Dosong, dan bukan juga semacam hantu penunggu rumah. Itulah dia – seekor gajah yang besarnya bukan main.
*
Aku mulai tinggal di rumah ini sebelas tahun yang lalu. Ini rumah yang bisa dipakai keluarga besar sekarang, tapi awalnya ini hanya rumah kecil berlantai satu dengan halaman yang sempit. Ayahku yang membeli rumah ini. Dia merobohkannya dan membangun kembali sesuai sketsa yang ia buat sendiri. Sementara rumah baru ini sedang dibangun, keluarga kami yang berlima ini tinggal di satu ruangan di dekatnya. Saat mereka harus menaikkan suara untuk berdebat tentang sesuatu, ibu dan ayahku akan pergi ke penginapan terdekat. Ayahku membangun satu ruangan lagi, ruang di loteng tempat aku tinggal sampai sekarang, kamar tempat aku menulis semua ini.
Ini seharusnya kamar untuk adik bungsuku. Aku biasa menulis di lantai bawah, berjongkok di lantai. Aku ingin punya meja besar. Ketika adik bungsuku pergi untuk sementara waktu, aku memanggil beberapa teman pria adik perempuanku yang lain dan mereka membantuku mengosongkan kamarku di lantai bawah untuk memindahkan barang-barang ke atas sini. Malam itu aku menyurati adik bungsuku. Jawabannya: Terserah saja, kak. Kamar di loteng ternyata tak punya cukup ruang untuk menempatkan meja, jadi aku membeli meja kecil baru yang mengkilap. Sekarang pernisnya memang sudah mengelupas dari tiap tepiannya dan kaki mejanya mulai goyang, tapi masih bisa digunakan. Bahkan jika aku mendapatkan kamar yang lebih besar, aku merasa tidak ingin mengganti mejaku dengan yang lain. Tapi aku tetap punya impian untuk memiliki meja besar dengan banyak laci dan kompartemen. Orang harus belajar untuk bersyukur terhadap apa yang dipunya, ibuku selalu menasehati.
Di kamar lotengku, aku bisa membaca, menulis, dan menelepon saat tengah malam. Tahun-tahun berlalu dalam sekejap mata. Ketika aku tidak bisa menulis, atau setiap kali aku bertengkar hebat dengan salah satu anggota keluarga, aku merasa seperti ingin kabur dari rumah ini. Saat aku turun di malam hari untuk pergi ke kamar mandi, aku secara sengaja akan menginjak kaki atau perut anggota keluargaku yang sedang tidur dalam gelap di lantai ruang tamu. Kami akan menyentak satu sama lain dalam gelap dan berteriak, Siapa itu!? Siapa woy? Aku menggedor dinding kamarku dengan kedua tanganku. Ternyata tidak runtuh. Rumah ayahku dibangun lebih kokoh jauh dari perkiraanku.
*
Minggu sore aku pergi ke Seoul Grand Park di Gwachon. Itu beberapa hari setelah aku melihat sang gajah. Hari yang sangat berangin, dan taman itu penuh sesak dengan orang-orang. Di kebun binatang sedang berlangsung festival bunga serunai. Orang-orang mengambil gambar di depan kembang krisan warna-warni yang mekar sempurna, dan di kandang sebelahnya kawanan flamingo berkaki panjang sedang mengepakkan sayap mereka.
Aku langsung menuju kandang gajah. Seekor gajah Afrika yang belalai panjangnya bergoyang berjalan perlahan-lahan di dalam kandang luas yang berbentuk S itu. Aku tidak bisa menahan perasaan kecewa. Gajah itu jauh dari yang diharapkan. Itu kejauhan – tidak bagus untuk diambil fotonya. Aku bergerak mendekat: ketika ia bergerak ke kiri aku berlari mengikutinya, ketika ia berbalik lagi aku cepat-cepat berlari kembali ke kanan.
Gajah ini benar-benar populer. Sejauh mata memandang, pagar melengkung itu penuh sesak dengan anak-anak dan orang dewasa. Aku menduga gajah di kandang adalah seekor pejantan tua. Jantan tua yang tinggal sendirian. Di pagi hari dan malam gajah-gajah mencari makan dari pepohonan, dan kemudian mereka beristirahat di bawah naungan pohon saat siang hari. Mereka tidur sambil berdiri – meskipun ada saat-saat ketika mereka tidur berbaring. Gajah yang datang ke kamarku berbaring di lantai yang sempit dan tidur dengan tubuh besarnya sambil meringkuk begitu ketat. Belalainya itu melingkar dan menarik ke dalam tubuhnya. Sepertinya tak mau jika aku mencoba untuk mencurinya atau melakukan sesuatu terhadapnya. Aku tidak tahu apakah gadingnya besar, sehingga tidak ada cara untuk mengetahui apakah dia jantan atau betina.
Gajah ini, yang berada dalam kandang, telah berjalan bolak-balik di jalan yang sama; sesekali tampak pikirannya kosong lalu berhenti dengan kaki ditekuk, menatap kami. Kemudian, seolah-olah mengatakan bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa, ia bergerak dengan langkah berat kembali, menapaki tiap langkahnya. Setiap kali gajah mengepakkan kupingnya, ia mengirim angin dingin menembus bagian depan pakaianku. Aku mengambil kamera Polaroid dari tas bahuku. Aku masukkan paket film baru. Jika ada kamera Polaroid yang lebih baik dari Spectra, ia mungkin akan membelinya untukku. Tapi tidak mudah untuk menemukan filmnya. Aku memesan khusus dari pemilik toko foto. Ketika aku mengambil filmnya, pemilik toko itu mengatakan kepadaku bahwa Spectra tidak didistribusikan secara luas, sehingga akan selalu sulit untuk mendapatkan film ini. Dia mengatakan jika aku mengembalikannya ke tempat pembelian, mereka akan menukarnya dengan Polaroid biasa. Semacam refund. Aku memesan tiga bungkus film sekaligus. Itu hadiah terakhir untukku.
Tiba-tiba, gajah berhenti berjalan dan – dengan sebuah dentuman – meletakkan kaki depannya di atas rel dalam di sisi kandang kami. Ada kandang dua atau tiga meter jauhnya; sebagai pembatas digali sebuah selokan, tapi tampak seolah-olah gajah bisa dengan mudah melompat ke seberang. Aku tegang. Aku tidak bisa yakin apakah gajah itu tiba-tiba akan meloncat terbang tinggi ke arahku seperti layaknya burung. Aku menekan tombol shutter sesaat ketika ia mengangkat belalai panjangnya. Hasilnya segera muncul. Gajah itu menaruh kembali kaki depannya ke bawah dan membalikan tubuhnya. Binatang pintar. Mustahil memang ia bisa mendengar suara shutter, tapi aku yakin ia mendengarnya, pasti. Penjaga kebun binatang membuka pintu baja dan muncul. Dia memberi gajah itu roti, lalu si gajah mengambilnya dengan belalai kemudian memakannya.
04:40 PM. Gajah itu mengikuti pawangnya melalui gerbang baja dan menghilang. Begitu ia hilang, semua orang yang berada di depan kandang ikut bubar secara serempak. Aku pergi ke kandang berikutnya, melihat gajah Asia. Tapi gajah Asia pun sudah tak ada. Aku pernah membaca: Gajah Asia memiliki penglihatan yang lemah. Karena lehernya pendek, tidak dapat menoleh ke belakangnya sendiri. Tidak bisa menoleh ke belakangnya sendiri: Sekarang aku yakin. Gajah yang datang kepadaku malam itu bukan Asia, tapi Afrika. Gajah: Memiliki mata lemah tetapi pendengaran dan indera penciumannya sangat tajam. Dapat berlari hingga 50 KM per jam. Permukaan tubuhnya ditutupi dengan bulu tebal. Gigi depan di rahang atasnya tumbuh menjadi gading panjang. Gajah: hewan darat terbesar di muka bumi.
*
Aku merasa tidak puas dengan sesuatu. Tapi aku tidak ingin tahu apa tepatnya. Aku jadi jarang pulang, ingin mangkat dari rumah, meskipun tak punya tempat untuk dituju. Suatu hari ia datang dengan setumpuk selebaran flyer yang berbeda. Dia menggenggam tanganku dan kami berkeliling untuk melihat kamar. Secara kebetulan, empat tempat yang kita lihat adalah kamar loteng. Aku merobek selebaran itu tepat di wajahnya. Kami makan sup panas dan nasi. Kami menyeberangi jalan melalui jembatan penyeberangan dan masuk ke gedung officetel dua puluh lantai yang baru dibangun. Penjaga gedung memberi kami kunci. Ada meja besar, lemari, tempat tidur, wastafel mengkilap. Aku tarik dia dengan tangan. Aku menunjuk keluar jendela mengeluhkan riuh mobil yang saling mendesing.
Tempat ini tidak akan cocok.
Mungkin tidak.
Ya, terlalu berisik.
Aku juga berpikir begitu.
Kami mengembalikan kunci dan keluar dari officetel tersebut. Kami pergi makan ayam goreng. Nah, itu terjadi kurang dari setengah jam setelah kami makan malam.
*
Cerpen Jo Kyung-Ran yang dimuat dalam Munhakdongne. Diterjemahkan dari Korea ke Inggris oleh Heinz Insu Fenkl dengan judul “Looking for the Elephant”, rilis di Fifty-Two Stories. Juga ada dalam antologi internasional Words Without Borders.
Ah jadi kangen auntum di korea
Ah kangen juga sama Taeyeon.
Wih, nerjemahin dari WWB juga. Suka ke asymptotejournal.com ga? Di situ isinya sastra terjemahan juga. Ikut ngerjain latihan di latihanterjemah.wordpress.com?
Wah makasih rujukannya.
Kebanyakan ngubeknya di New Yorker sih. Iya cerpen ini ada di WWB, iseng pengen ada cerpen dari Korea, entah kenapa nemu Jo Kyung-Ran, yg katanya Murakami-nya Korea.