Sampai sekarang hatiku masih terpukul ketika aku mendengar langkah kaki ibuku saat datang menaiki tangga ke kamar lotengku. Malam itu, ibu datang ke kamarku. Dia mengatakan kami harus meninggalkan rumah kami ini. Ada begitu banyak hal yang orang tuaku sembunyikan dari kami. Dia mengatakan kalau rumah kami akan diambil alih dan akan segera dilelang. Kakak tertua ayahku telah meminjam uang dari ayahku dua kali kemudian kabur. Aku tak bisa menyalahkan ayahku. Semua orang hanya mencoba untuk melakukan apa yang dianggapnya baik. Untuk pertama kalinya, aku mengerti ungkapan, “Suatu hari kita bakal menemukan diri kita keluar ke jalanan.”
Ayahku berhenti merokok. Berdiam di kamarnya sepanjang hari. Makan makanannya sendirian. Wajahnya menghitam dan jadi tirus seperti Paman Dosong-ku yang sudah meninggal itu. Dari telinga ibuku menetes darah. Aku hanya berharap adikku bisa tetap sekolah. Aku pikir tak ada bedanya orang tuaku menyembunyikan hal-hal mengerikan ini dari kami tiga anak perempuannya ini. Aku menusuk-nusukkan pisau dapur ke batu bata merah dinding rumah. Rumah ini memang kokoh. Kami mulai bertengkar. Aku berlarian berputar-putar—ke semua ruangan—untuk menjaga barang-barang. Ini penting dan harus ada seseorang melakukannya.
Maaf aku tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu, katanya.
Aku tidak takut kehilangan rumah seperti setakut aku kehilanganmu, aku berseru kepadanya, ketakutan.
Dia menangis. Jangan menangis, aku menghibur dia.
Aku tidak menangis. Air mataku terpendam dan meledak justru ketika sang gajah datang mendatangiku lagi. Aku membenamkan wajahku di perut besarnya, serta menutup mulutku dengan tanganku, aku menangis dan terus menangis.
Sesekali dia meneleponku. Apa kabar? Suaranya sedih dan lembut. Aku tertawa meremehkan. Apa kabar? Dia bertanya kepadaku, lalu dia bertanya soal rumah. Kemudian dia bertanya hal lain. Apakah gajah itu datang lagi? Ada saat-saat ketika dia tampaknya lebih tertarik pada si gajah ketimbang padaku.
*
Hari ketika aku pergi ke kebun binatang, aku mengambil tiga foto: Gajah dengan kaki depannya di atas pagar, gajah yang tiba-tiba mengangkat belalainya tinggi ke langit, dengan pantatnya yang menggeliat saat berjalan, gajah yang berjalan kepayahan menuju matahari terbenam dengan kepalanya yang membungkuk rendah. Oh gajahku yang kesepian.
Kadang-kadang aku bertanya pada diri sendiri kenapa aku bisa bertahan tinggal di rumah ini sampai selama ini. Tentunya, ada kesempatan bagiku untuk pergi lalu tinggal di tempat lain selain di sini. Salah satu kesempatan itu adalah saat aku menginjak usia dua puluh, dan itu insiden yang sangat membekas bagi keluargaku—penculikanku. Ini aneh, aku tidak bisa mengingat saat usia dua puluhan. Mungkin karena aku tidak pernah mengatakan kepada siapa pun tentang saat-saat itu.
Musim gugur yang lalu, aku memberi kuliah sebagai dosen tamu di Universitas S. Saat aku hendak memasuki ruang kuliah, seseorang menghadang jalanku. Dia menyebut namaku. Aku menatap wajahnya, lalu berkata sambil mendesah, Ah, Yonjong rupanya. Dia mengatakan dia telah melihat sebuah poster acara di papan buletin kampus. Aku benar-benar ingin tahu apakah itu kau—seseorang yang aku kenal. Aku merasa tidak nyaman. Aku mengambil kartu namanya dan buru-buru pamit. Dia pasti telah mempelajari komputer grafis selama ini. Melihat kartunya, aku tahu kalau dia sekarang menjadi peneliti senior di Electronic Visual Media Research Center di universitas.
Aku ingat bahwa setelah aku masuk ke ruang kuliah, aku tidak bisa berbicara untuk sementara dan hanya duduk di sana. Yonjong adalah salah satu dari orang-orang yang mengenalku saat itu. Aku bilang aku akan tetap menjalin komunikasi dengannya, tapi ternyata tidak. Setahun pun berlalu. Akhirnya, beberapa waktu yang lalu, aku mengirimnya surat elektronik: Yonjong, saya bertanya-tanya soal orang-orang yang saat itu tetap bisa mengingat saya. Dan di mana mereka semua sekarang? Apakah kamu masih ingat tampang saya saat itu? Aku baru saja makan malam dengan editor kepala dari sebuah situs web, dan kami berjalan sepanjang jalan di Shinsadong mencari tempat untuk minum teh, kemudian seseorang memanggilku dari belakang. Hei, Jo Gendut! Aku tidak menghentikan langkahku. Aku bahkan tidak melihat ke belakang. Mengapa begitu sulit menemukan tempat minum teh? Aku berjalan lebih cepat, dan lebih cepat lagi. Teman jalanku itu dengan lembut menyikutku. Aku pikir seseorang memanggilmu dari sebelah sana. Ketika aku mendengar Hei! Aku langsung teringat pada suaranya itu. Ini aneh. Aku baru dua puluh dua ketika aku bertemu orang itu—ini sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Aku masih bisa mendengar suara ngototnya memanggilku. Aku menoleh untuk melihatnya dengan pandangan acuh tak acuh.
Hei, Jo Gendut!
*
Ah, apa kabar?
Hei, itu benar-benar Anda?
Sudah lama. Aku menyambut Direktur Jong dan Asisten Manajer Pak dengan sopan. Wow! Lihat wanita ini! Mereka tertawa. Ini pertama kalinya aku pergi kerja dengan gaya rambut keriting, yang diikat ke belakang seperti gadis desa. Aku keramas setiap pagi dan aku memakai stoking. Setiap kali aku mengeringkan rambutku yang basah, aku sering berpikir, kemana aku harus pergi hari ini? Aku sering tidak masuk kerja. Sekali waktu, aku bolos kerja selama tiga hari berturut-turut dalam minggu yang sama. Saat jam makan siang, aku pergi sendirian ke toko buku besar di seberang jalan, yang dulu ada tempat makanan cepat saji di basemennya. Aku makan hamburger dan baca buku. Seluruh buku. Kalau aku lelah membaca, aku akan menelepon seseorang lewat telepon umum. Aku juga akan melihat-lihat pameran dekat tempat kerja.
Ketika aku kembali ke tempat kerja—biasanya empat jam setelah makan siang—rekan kerjaku akan menatapku dengan sikap menuduh. Aku tidak pergi makan dengan rekan kerjaku dan aku tidak bersosialisasi dengan mereka setelah kerja. Kadang-kadang aku akan tinggal sendirian di kantor dan membaca buku atau menghabiskan waktu yang lama melihat-lihat grafis 4-D yang telah mereka kerjakan. Lewat komputer, rekan kerjaku menciptakan bintang, mereka membuat unta yang berjalan di padang pasir, mereka membangun apartemen. Mereka juga menciptakan animasi CF. Sekarang sudah tidak ditampilkan lagi, tapi dulu ada iklan obat flu yang disebut Blupen dari sebuah perusahaan farmasi. Itu adalah iklan komersial animasi yang menayangkan sebotol Blupen yang melesat cepat layaknya kereta api menuju bocah yang terkena demam. Aku ikut membantu menciptakan frame untuk iklan itu. Tidak ada yang mereka tidak bisa buat.
Suatu hari, aku berdiam di kantor setelah bekerja. Ketika aku sendirian, aku meraih tetikus dan mengklik tombol secara acak. Di pagi hari, aku mendengar rekan kerjaku mengutuk, Siapa yang melakukan ini? Siapa yang menghapus semuanya? Ekspresiku datar saja.
Ketika aku turun tangga untuk ke kamar mandi, seseorang menyambarku dari belakang dan menarik bagian belakangku ke pangkal pahanya. Apakah kau tidak tahu caranya tersenyum? Dia adalah seorang desainer interior yang sering masuk dan keluar dari kantor kami.
Setelah jam kerja habis, Asisten Manajer Pak mengatakan ia akan mengantarkanku ke dekat rumahku. Aku masuk ke mobilnya. Dia mengatakan kepadaku untuk menempatkan sabuk pengamanku. Aku mengeluarkan sabuk pengaman, terlalu lama. Aku ragu-ragu, kemudian meletakkannya di leherku.
Hei, Anda tidak tahu caranya memakai sabuk pengaman ya?
Ada masalah dengan ini? Aku menimpali. Aku menatapnya dengan wajah cemberut. Ekspresi terperangahnya masih jelas dalam ingatanku. Bahkan sekarang, setiap kali aku mendapatkan tumpangan di mobil seseorang, aku sangat khawatir bahwa aku mungkin salah menempatkan sabuk pengaman seperti yang kulakukan saat itu.
Jadi Anda menulis! Direktur Jong dan Asisten Manajer Pak tahu tentang situasi aku saat ini.
Iya.
Mari kita sama-sama bertemu dengan Yonjong dan Asisten Manajer Kim Jonghui lain kali.
Baik.
Mereka benar-benar senang mengantarkanku. Direktur Jong dan Asisten Manajer Pak terus tertawa. Mereka memintaku untuk menulis kontakku. Aku menulis sembarang nomor telepon. Aku bahkan tidak tahu nomor siapa itu. Aku benci diriku karena gemuk, aku benci diriku sendiri karena bolos bekerja, aku benci diriku karena tidak bisa memahami buku manual grafis komputer yang dipaksa untuk kupelajari.
Aku bekerja di perusahaan itu selama tujuh bulan. Lalu aku mengajukan pengunduran diriku. Direktur Jong yang mengatakan kepadaku untuk mempertimbangkan kembali. Apa lagi yang akan Anda lakukan? Dia bertanya. Kadang-kadang, ketika aku pergi ke Shinsadong atau Gangnam, aku berkunjung ke World Book Center. Aku masih bisa melihat diriku berdiri di dalam toko buku saat usia dua puluh dua, terpaku diantara tumpukan buku. Aku dulu tinggal di kota ini saat itu. Aku tidak pernah mendapat balasan dari Yonjong. Jika saja aku tidak kembali pulang ke rumah setelah kejadian itu, ini bukan tempat yang akan kutinggali sekarang. Dan keluargaku tidak akan menjadi keluarga yang kumiliki sekarang.
*
Aku diculik ketika aku berusia empat tahun oleh seorang wanita setengah baya yang tidak punya anak. Dia membawaku ke sebuah salon kecantikan untuk mengubah penampilanku. Dia pasti meminta mereka untuk membuat rambutku dikeriting. Dia melangkah keluar untuk sementara waktu. Itu adalah kesempatanku. Aku menangis tersedu-sedu. Bahkan pada usia empat tahun, aku masih bisa mengingat Gereja Bongshin. Pemilik salon kecantikan memegang tanganku dan membawaku ke sana, dan itulah bagaimana aku kembali ke rumah. Rumah tempat tinggalku yang kemudian dihancurkan, tetapi Gereja Bongshin masih ada.
*
Aku sudah makan tak menunggu ayahku, sebelum ia mengangkat sendoknya. Ketika saudaraku telat pulang kerja, mereka memanggilku pertama, meskipun aku masih tertidur. Ayahku merokok lagi. Di pagi hari ibuku yang mengelap sepatuku. Di kamar lonteng, tumpukan buku terus beranak-pinak. Ada terlalu banyak barang-barang di kamarmu, ayahku khawatir. Aku tidak peduli. Aku membeli satu set TV, juga sebuah printer. Tidak ada ruang untuk melangkah. Aku memindahkan beberapa bukuku ke ruang tamu. Aku membeli beberapa rak buku baru. Aku menyingkirkan sofa ruang tamu. Ada sofa lain sebelah kulkas, dan aku meletakkan rak buku di sana. Setiap kali aku memasang rak buku baru, aku merasa seolah-olah sedang mencabut rumpun pohon, tapi perasaan ini tidak pernah berlangsung lebih dari setengah hari. Barang-barang di ruang tamu, dan lemari yang kami bertiga pakai bersama, dipindahkan ke kamar tidur utama. Ayahku memasang penyangga di ruang bawah tangga untuk menopang kamar lotengku. Tetapi dia masih berjalan mondar-mandir setiap hari, cemas kalau sewaktu-waktu langit-langit akan runtuh karena terlalu berat, sementara itu aku bertanya-tanya apakah orang tuaku bisa meregangkan kaki dan bisa benar-benar tidur di kamar yang jadi penuh sesak oleh barang-barang putri mereka.
Pada malam yang sama ia berkata, aku minta maaf aku tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu, ia menulis sebuah surat panjang. Itu tentang dirinya, yang penuh dengan ketidakberdayaan dan penyesalan. Pada akhir surat ia menambahkan ini: Pada akhirnya semua tak bisa membantu. Dia menulis: Orang tidak dapat menjalani hidup dan cinta dengan cara yang sama; tidak akan ada yang tetap sama seperti pada awalnya. Dia menulis: Kita harus berubah agar tetap sama. Dan ia juga menulis ini: Itulah mengapa cinta harus tumbuh.
Sebuah surat. Sebuah kata yang sangat menyedihkan, “surat.” Setelah kami berpisah, aku tidak pernah mengambil surat itu untuk membacanya lagi.
Dan ada surat lain yang aku tak pernah bisa membaca lagi. Sesekali aku memikirkannya. Dan aku pikir, Jadi mengapa kita berpisah? Pada akhirnya, untuk menyelamatkan rumah, aku kehilangan dia.
Aku melihat foto keluargaku—yang aku ambil saat ulang tahunku ketika aku sampai di rumah setelah putus dengan dia. Mereka tidak tahu bahwa meja itu adalah kepala gajah, sofa adalah punggung gajah; mereka hanya tersenyum, terpingkal-pingkal. Dengar, aku bilang ini adalah gajah! Jika aku mengatakan ini, mereka semua hanya tertawa dan menimpali, Dia sedang menulis cerita lain. Gajah itu berpura-pura tidur dan matanya ditutup, tapi aku tahu dia tidak tidur. Aku tidak pernah lupa untuk menyimpan biskuit kelapa atau pisang, untuk jaga-jaga. Karena aku tidak tahu kapan gajah itu akan datang lagi.
*
Ayahku pergi ke Yeosu, memamerkan tiga putrinya layaknya medali. Itu tahun 1996, saat aku berusia dua puluh enam tahun—aku baru mulai masuk kuliah. Malam itu ada pesta minum. Seseorang mabuk dan menangis. Aku bercampur dengan kerabatku, dan aku minum sebanyak yang kubisa. Keesokan harinya, seluruh keluarga pergi bersama-sama untuk piknik. Kami menyewa sebuah minibus Bongo dan melesat jauh menyusur sisi pantai. Kami naik perahu di sana. Pulau Odong terlihat di kejauhan. Waktu itu sedang pertengahan musim panas yang gerah. Tidak ada yang bisa mengingat nama pulau itu sekarang. Aku juga lupa—tak peduli seberapa keras aku berpikir tentang hal itu, aku tidak ingat dimana pulau yang kami datangi hari itu. Yeosu adalah tempat dengan begitu banyak pulau tak bernama yang saking banyaknya tidak bisa dihitung. Tapi itu terjadi kepadaku sekarang bahwa mungkin pulau itu bahkan bukan di Yeosu.
Bibi Yonsook mengatur dan membawa semua makanan. Pamanku, sepupu, dan bibi berdiri di depan panggangan dan memasak daging dan darah kerang. Mereka berlari ke laut untuk berenang dan bermain bola. Sepupu yang diajak ayah mereka semua ramping dan berkaki panjang. Mereka tertawa riang di bawah terik matahari. Suara mereka mengejutkanku. Aku menjatuhkan payung yang kubawa, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat ayahku berenang. Dia cepat, percaya diri, dan tangkas seperti anjing laut. Ini pertama kalinya aku melihatnya berenang. Aku sepenuhnya lupa kalau ini adalah tempat ayahku dilahirkan. Paman Dosong, baru saja kembali dari peregangan di laut, membawa botol besar Soju yang menggantung di mulutnya. Paman, jangan minum terlalu banyak—aku mengatakan kepadanya sesuatu yang tidak ingin dia dengar, seperti aku sedang berbicara dengan ayahku saja. Aku pikir itu ketika penyakit pada hatinya Paman Dosong bermula. Tinggalkan dia sendirian, kata ayahku.
Bibi Yonsook membawa makanan, tapi dia hampir tidak punya waktu untuk makan apa-apa. Dia terlalu sibuk membersihkan panggangan daging, memasak kerang dan makanan laut yang sudah dia bekukan selama berbulan-bulan dalam freezer, juga memasak ayam. Bibiku yang lain mencuci piring di bawah komando suaranya yang keras. Mereka berbagi sebotol besar Soju juga. Mereka dengan cepat pergi mendekati panci berisi kimchee daun dengan saus Dolsan. Ibuku, mabuk setelah tiga gelas soju, menggelar tikar dan berbaring di atasnya. Matahari benar-benar panas. Laut tampak dalam tak terhingga. Paman dan sepupuku melambaikan tangan kepadaku dari dalam air. Aku menggeleng. Tidak ada salah satu dari kami tiga bersaudara perempuan ini tahu bagaimana caranya berenang. Mereka melemparkanku ke laut pada hari aku dilahirkan, kata Bibi Yonsook.
Aku melepas kaus kaki dan melemparnya ke samping. Butuh keberanian untuk masuk ke dalam air. Memegang tangan saudaraku, aku berjalan ke laut satu langkah pada satu waktu. Kemudian paman ketigaku, Doyoon, tiba-tiba mendorongku keras dari belakang dan aku jatuh dengan semua pakaian yang kukenakan. Aku bisa mendengar bibi, paman, dan sepupuku semua tertawa bahkan dari bawah air yang dalam. Aku tidak takut. Aku tidak yakin, tapi mungkin lengan dan kakiku akan bergerak secara naluriah dan aku akan bisa berenang seperti Bibi Yonsook. Aku adalah putri ayahku, bagaimanapun juga, dan ia adalah seorang garam tua yang bisa melihat kotoran ikan teri dan menebak apa yang telah dimakannya.
Aku berjalan keluar dari air dengan penuh kebingungan. Di sekitarku, ayahku, tiga pamanku, tiga bibi, dan enam sepupu sedang berenang-renang santai. Sekarang, dua telah pergi. Mereka yang menelepon ibuku secara teratur. Aku mendengar bahwa salah satu pamanku lututnya bengkak beberapa waktu lalu, dan lain terluka punggungnya dan tidak dapat melaut lagi. Ini membuatku takut bahwa orang-orang terus sekarat. Aku benci musim hujan, aku benci badai salju, dan aku benci perang. Ada saat-saat ketika aku ingin melihat wajah-wajah orang mati sekali lagi, tapi itu hanya akan mungkin terjadi masa depan yang jauh.
Matahari terbenam. Soju tak bersisa, dan semangka, gurita, bulgogi panggang, selada—semuanya telah ludes. Suami bibi Yonsook ini mengambil alih dan membersihkan semuanya. Dia juga yang mengemudi. Dia tidak terlihat seperti tipe orang yang akan memukul seseorang seperti layaknya menyiksa anjing, tapi sorot matanya yang tajam menggangguku. Kami semua kembali ke rumah salah satu pamanku. Sangat jauh. Ayahku, pamanku, dan bibiku begadang sambil minum-minum sampai fajar. Dan seseorang mulai berdebat dan menangis, tetapi kemudian, segera, mereka semua terkekeh dengan tawa membuncah lagi. Ibu kedua ayahku berusia lebih dari delapan puluh—mungkin ketika dia meninggal aku akan pergi ke Yoesu lagi. Rambut hitam mulai menyodok lagi di kepala nenekku.
Ketika ayahku mabuk, ia mengungkit-ungkit tamasya saat musim panas. Dan ia bercerita tentang masa mudanya di Arab Saudi, Iran, dan Kuwait. Ia menyurati kami dua kali seminggu. Ibuku menulis surat kepadanya setiap hari, dan karena mendesaknya, kami tiga saudara perempuan patuh menyuratinya sekali seminggu. Surat yang berbunyi: Papa, kami semua sehat dan sekolah kami juga baik-baik saja, kita akan belajar keras—dan tidak lebih, hanya sebatas ini. Surat ayahku, yang melintasi udara berpasir dari padang tandus, sama saja: Dengarkan ibumu dan fokus pada studi kalian. Papa juga baik-baik saja. Hanya tanggal yang berbeda. Surat-surat yang terus berlangsung selama sepuluh tahun ini disimpan di wadah tembikar besar yang ada di loteng. Ini seperti mengubur kimchee musim dingin—plastik membungkus surat-surat dalam wadah itu. Ayahku yang melakukannya. Sampai hari ini, aku tidak pernah membuka wadah itu. Tapi aku mulai khawatir apa yang harus aku lakukan dengan surat-surat setelah sepeninggal ayahku.
*
Setiap hari kami menyicil pelunasan rumah, dan setiap hari kita kehilangan rumah, tapi untungnya belum ada perubahan nyata sejauh ini. Di pagi hari, ayahku membawa koran dari tangga depan, ibuku menyemir sepatu, dan kami tiga bersaudara perempuan ini berangkat kerja. Ketika aku sedang tidak dalam jarak pendengaran, ayahku sedih mengeluh bahwa tak seorang pun melihat kaktus tua yang mekar, dan ibuku kemudian melihatnya. Dia tidak datang ke kamarku. Ketika aku mendapatkan panggilan telepon, ia menempatkan penerima di luar pintu dan kembali turun. Sampai kapan ibuku naik turun tangga dengan rasa sakit di sendinya? Aku jadi lebih sering turun tangga, bahkan ketika aku membaca buku atau menulis. Aku berharap salah satu dari kami akan bergegas menikah lalu meninggalkan rumah ini. Jika ruang bebas, kami bisa memindahkan barang-barang dari kamar tidur utama dan kami bisa menempatkan sofa kembali di ruang tamu. Tapi aku takut aku mungkin menjadi yang terakhir dari para saudara-saudara yang lain, yang tersisa di rumah ini sampai akhir. Ayahku masih khawatir bahwa kamar loteng akan runtuh—jantungnya berdebar-debar—dan aku khawatir bahwa harta dan buku putrinya telah menginvasi kamar tidurnya.
Aku bukan orang yang paling bahagia di dunia, tapi aku bukan yang paling menyedihkan. Ketika aku dibuat marah atau kebanggaanku terluka, aku duduk di meja selama satu jam atau dua teri pemangkasan. Jika kami tidak memiliki apapun, maka aku akan menguliti kacang. Sering aku berdandan dan pergi ke sebuah restoran Italia untuk makan pasta dan minum anggur. Ibuku masih menasihatiku bahwa orang harus belajar untuk merasa puas dengan apa yang didapat. Sekarang aku mengerti. Meski memang aku butuh waktu lama untuk memahami ini. Aku masih tinggal di rumah ini. Di sinilah momen paling bahagia dan tidak bahagia buatku. Kamar lotengku hangat. Sekarang sedang musim dingin. Aku bisa mendengar sendok yang sedang disiapkan di atas meja di lantai bawah. Mari makan! ibuku berteriak ke kamarku. Baik! Aku langsung menjawab. Dan tuk tuk tuk aku menuruni tangga.
Kadang-kadang aku menunggu telepon darinya. Dia satu-satunya yang mengerti cerita gajahku. Dia mendengarkan. Aku bisa mengangkat telepon dan mengoceh selama satu jam tentang gajahku. Aku tidak mengambil foto lagi, tapi dia masih muncul. Sekarang dan kemudian rumah bergerak—itu menggeliat—dan aku membatin, Ah, si gajah sudah datang.
+
Cerpen Jo Kyung-Ran yang dimuat dalam Munhakdongne. Diterjemahkan dari Korea ke Inggris oleh Heinz Insu Fenkl dengan judul “Looking for the Elephant”, rilis di Fifty-Two Stories. Juga ada dalam antologi internasional Words Without Borders.