Kita melihat dunia melalui prisma nilai-nilai kita sendiri, yang berfungsi sebagai kompas batin dan membantu kita menentukan apa yang benar dan salah. Ini adalah keyakinan inti yang memandu perilaku dan interpretasi seseorang tentang dunia. Tanpanya tak akan ada perbedaan budaya, generasi, atau pribadi di antara orang-orang. Hidup akan jauh lebih homogen, dapat diprediksi, dan membosankan.
Namun banyak masalah yang kita hadapi di tempat kerja dan dalam kehidupan justru berasal karena begitu beragamnya nilai-nilai yang dianut. Ketika individualisme meningkat, nilai-nilai budaya menjadi komoditas dan dipersonalisasi. Kita menggunakan nilai untuk membuat “klaim identitas” yang penting, yang menandakan keyakinan dan afiliasi kita.
Di atas segalanya, kita menggunakan nilai-nilai tadi sebagai kerangka acuan untuk menghubungkan dan mengembangkan hubungan dengan orang lain di tempat kerja dan di bidang kehidupan lainnya.
Kita menyukai orang-orang yang berbagi nilai-nilai yang sama dengan kita karena mereka memberikan validasi eksternal tentang bagaimana kita mendefinisikan diri kita sendiri. Menyukai orang yang berpikir dan bertindak seperti kita adalah taktik diskrit untuk melepaskan kecenderungan narsistik kita sendiri. Ini menjelaskan mengapa manajer sering mempekerjakan dan mempromosikan orang yang sejalan dengan citra mereka sendiri, mengapa pasangan terlihat mirip satu sama lain, mengapa teman dan pasangan menjadi lebih mirip saat mereka menghabiskan lebih banyak waktu bersama.
Namun jika kita ingin hidup di dunia inklusif yang memanfaatkan kekuatan keragaman psikologis, kita harus belajar menerima, bertoleransi, dan bahkan merangkul mereka yang tidak memiliki nilai yang sama dengan kita.
Sangat mudah untuk menghabiskan hidup kita dengan orang-orang yang berpikiran sama seperti kita. Namun bergaul dengan orang yang berpikiran sama adalah kebalikan dari keterbukaan pikiran. Ini menandakan keengganan untuk belajar dan tumbuh, dan rasa aman yang palsu tentang nilai-nilai kita sendiri, mungkin karena kita takut ditantang karena itu adalah definisi inti dari diri kita, atau kita takut nilai-nilai itu terlalu rapuh untuk dipegang saat diekspos ke bentuk pemikiran yang berbeda.
Oleh karenanya, berikut empat tip sederhana yang disusun oleh profesor psikologi bisnis Tomas Chamorro-Premuzik dan ahli pasar tenaga kerja Becky Frankiewicz dalam sebuat artikel di Fast Company, untuk menerima orang yang tak berpikir sama seperti kita, dan memperkaya keragaman kognitif jaringan dan kehidupan kita sendiri.
Niatkan untuk belajar.
Jika kita mundur dan berpikir tentang percakapan sebagai kesempatan untuk belajar versus kebutuhan untuk mempertahankan diri, hal itu membantu membuka celah ke dalam dialog versus debat.
Di suatu tempat di sepanjang jalur kehidupan kita, biasanya kita menyebutnya sebagai semakin tua, pembelajaran diganti dengan pengetahuan, tapi jika kita membuat pilihan untuk terus belajar dari perspektif orang lain, pembelajaran bisa berlangsung seumur hidup, dan pengetahuan bisa tumbuh dan berkelanjutan.
Pertimbangkan bahwa keterbukaan terhadap pengalaman, sejauh mana kita tertarik untuk mengeksplorasi ide-ide baru, memelihara pikiran lapar kita, dan mengganti rutinitas dengan petualangan yang tidak biasa, akan berkurang seiring bertambahnya usia.
Semakin banyak kita tahu, semakin kurang tertarik kita mempelajari sesuatu yang baru. Seperti yang dicatat oleh Lisa Feldman Barrett dalam bukunya yang terbaru, otak kita bukan untuk berpikir: otak kita untuk menghemat energi dan mengubah keputusan menjadi mode autopilot.
Sadari bahwa berusaha memahami tak berarti menyetujui.
Tidak apa-apa untuk ingin mendengarkan dan belajar dan tetap berpegang pada keyakinan dan nilai kita sendiri. Tindakan mendengarkan tidak menunjukkan persetujuan.
Faktanya, jauh lebih mudah untuk setuju jika kita tidak saling mendengarkan. Ingatlah bahwa perbedaan antara penghakiman dan pra-penghakiman adalah pemahaman dan untuk memahaminya kita benar-benar harus bersedia mendengarkan dan belajar.
Ada sesuatu yang benar-benar kuat tentang melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain dan mampu memahami dan menerimanya bahkan jika kita melihat sesuatu secara berbeda.
Akui rasa ingin tahu dengan tetap sabar dan menempatkan emosi.
Nilai adalah kata yang kelewat tinggi, karena nilai terkait erat dengan konsep diri dan identitas kita. Rasa ingin tahu mencari pemahaman dan pengakuan dan sering kali merangkul perbedaan. Emosi kemungkinan besar tidak akan lenyap dari percakapan nilai, tapi mengakuinya dan memilih untuk memimpin dengan rasa ingin tahu membuat jalur komunikasi tetap terbuka.
Kesabaran juga diperlukan saat mengelola emosi saat kita ingin melompat, memotong pembicaraan orang lain, mengungkapkan pandangan kita. Tahan dorongan itu dan biarkan setiap individu membagikan kebenaran versi mereka. Bersabarlah dan tunggu kesempatan untuk membagikan apa yang kita anut. Ada sesuatu untuk dipelajari semua orang.
Tetap aktif dalam dialog.
Dengan berdialog, kita belajar, dan kita mendemonstrasikan rasa hormat, meski jelas tak ada kesepakatan. Ingin didengarkan adalah nilai yang kita semua dambakan, tapi hal itu membutuhkan kerja timbal balik dengan sikap mendengarkan dan tetap terlibat.
Membahas nilai-nilai dapat dilihat sebagai tabu atau kita dapat memilih untuk melihatnya sebagai sinyal terakhir untuk menghormati apa yang dibawa seseorang ke dalam hidup kita: keragaman kognitif yang dapat menciptakan sesuatu yang lebih baik daripada kesamaan.
Jalan untuk menerima perbedaan nilai dimulai dengan pola pikir belajar, pengakuan bahwa mendengarkan tidak sama dengan kesepakatan, keingintahuan dan kesabaran untuk mendengarkan dari sudut pandang yang berbeda. Terakhir, diperlukan disiplin untuk tetap berdialog meskipun apa yang dikatakan tidak mencerminkan nilai-nilai pribadi kita.
Tetaplah berdialog. Kita akan menemukan ada banyak pembelajaran tentang perbedaan dan mungkin kemungkinan lebih banyak kesamaan ketimbang yang semula kita sadari.