Ketika aku menerima surat dari redaksi Mutiara, berupa permintaan supaya aku mengarang pengalamanku sendiri tentang mengarang (dari mana inspirasinya, bagaimana caranya dan sebagainya), dengan dijanjikan pula honorariumnya yang cukup memuaskan, pikiranku bercabang dua. Mengingat honorariumnya, aku mau mengarang sebab aku butuh uang untuk membeli obat-obat buat memelihara kesehatanku yang selama ini terganggu. Tapi mengingat nasihat dokter bahwa aku jangan dulu banyak bekerja, permintaan redaksi Mutiara itu lebih baik tidak kupenuhi saja. Akhirnya nasihat dokter juga yang kuhargai; kulupakan apa yang diminta orang dan supaya lebih terlupa lagi, aku pergi ke bioskop Capitol. Film yang diputar di sana A Double Life, menceritakan seorang pemain sandiwara yang membunuh orang persis seperti ketika ia melakukan pembunuhan di atas panggung, lantaran jiwanya dikuasai peran pembunuh yang mesti dia mainkan berulang-ulang.
Entah bagaimana pikiran orang lain selama tak terdengar bisik suara lantaran rupanya terharu oleh film yang ditonton, tapi aku – ya, bagiku sesungguhnya tidak aneh – di kala pauze nikmat tersenyum digembirakan suara berbisik di dalam hati, “Bagus! Bagus!” Ini ilham untuk karangan yang diminta Mutiara, sebab aku pun pernah dikuasai pahlawan dalam Suling karanganku. Sehabis pauze, lakon film itu hampir tak dapat kuikuti lagi, karena ingatan merancang-rancang bagaimana bentuk karangan yang akan kukarang nanti. Sudah kupikir-pikirkan pula kata-katanya yang mesti kutulis.
Bioskop berakhir pukul delapan malam dan aku sampai di rumah pukul setengah sembilan, terus menuju tempat bekerja. Kuhentikan suara radio, kudekatkan bola listrik ke dekat meja tulis, siap akan mengarang. Tapi baru saja aku meletakan kertas dan pulpen di atas meja tulis, istriku yang asyik mengeloni anak kami di tempat tidur di belakang tempat dudukku (meja tulisku letaknya di kamar tidur, sebab tiada lagi tempat), terdengar berkata; ujarnya, “Kau mengarang lagi?”
“Ya,” jawabku pendek.
“Tapi dokter bilang jangan dulu kau mengarang. Nanti saja kalau sudah sehat benar.”
“Ah,” tukasku. “Nanti inspirasinya sudah tidak ada lagi.”
Istriku tak berkata lagi dan aku pun mulai merenung-renung memeras otak sampai akhirnya dapat melahirkan tulisan begini:
Seperti juga orang lain, di zaman permulaan Jepang mendarat di Indonesia, aku pun sering mendengar pidato-pidato dalam rapat umum atau di bawah corong radio umum. Dan seperti juga kebanyakan dari mereka, bagiku juga yang menarik perhatian itu pidato-pidato dari para pemimpin besar: Bung Karno, Bung Hatta, Kiai H.M. Mansur dan Ki Hajar Dewantara. Entah bagi orang lain, tapi bagiku pidato-pidato keempat pemimpin ini mengajak aku bertanya: memangkah urusan di masyarakat itu terdiri atas; politik seperti yang dikata-katakan Bung Karno, ekonomi seperti yang dikatakan Bung Hatta, agama dalam arti keselamatan masyarakat seperti yang dikata-katakan Kiai H. M. Mansur dan kebudayaan dalam arti yang terbatas kepada ketertiban dan kedamaian masyarakat seperti yang dikata-katakan Ki Hajar Dewantara?
Di samping itu, seperti juga pemuda yang banyak di zman itu aku pun ada melimpahkan cinta terhadap pemudi. Pemujaanku terhadap kecantikan pemudi itu sama saja dengan ketakjubanku terhadap kepribadian keempat pemimpin tadi. Boleh jadi malah lebih daripada itu. Tapi bagaimana pun tak dapat kumungkiri bahwa pujaanku kepadanya dan rasa takjubku kepada keempat pemimpin itu jadi sebab mulanya aku melihat dan melahirkan pelaku-pelaku: Sri, Kawan I, Kawan II, Kawan III, Kawan IV dan Panji sebagai lukisan jiwaku sendiri yang kulakonkan dalam drama Suling.
Sampai di sini berhenti aku menulis, sebab kudengar anakku menangis, kian lama suaranya kian menjerit-jerit. Rupanya menangis itu, bagi anak berumur 13 bulan, sudah jadi kesenangannya.
“Bawa dia keluar,” kataku kepada istriku.
Tapi kalau keinginanku itu sudah dilaksanakan istriku, tanganku tak sanggup lagi melanjutkan menulis. Pikiranku menyuruh membaca dulu apa yang kutulis tadi.
Sekali dibaca tidak terasa apa-apa. Dua kali dibaca terdapat kesalahan. Sementara itu istriku sudah kembali lagi membawa anak kami yang sudah berhenti menangis dan terus berbaring lagi di tempat tidur.
Karena terpikir apa yang kutulis itu tak baik untuk permulaan karangan, kertasnya kulemparkan saja ke samping. Kuambil lagi kertas baru dan mulai lagi merenung-renung. Memang tidak mudah bagiku memulai sesuatu karangan itu. Lebih baik aku memulai dari tengah saja; dari apa yang sudah kukarang-karangkan dalam bioskop tadi. Begini bunyinya:
Tatkala Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, drama Suling itu sudah kubikin sampai kepada Panji dan Sri meninggalkan pergaulan hidup bersama lantaran Panji dilarang meniup suling.
Pada suatu sore, setelah tadi malam aku kurang tidur, tadi siang menyuapkan nasi ke dalam mulut dengan tidak disadari menelannya dan barusan membaringkan badan dengan kepala dibelit saputangan, lantaran pikiran selalu bertanya, “Jalan apa yang mesti ditempuh Panji setelah ia dilarang meniup suling?” datang ke rumahku pemudi kawanku yang baru sebulan kukenal. Pemudi ini dalam parasnya tidak banyak berjauhan dengan pemudi yang kukenal di zaman Jepang dulu, artinya ketika aku mulai mengenalnya dia dapat kulimpahi kata-kata seperti yang dikatakan juga oleh Panji kepada Sri, “Apa yang kucari kurindukan, o, Kekasihku, bila tiada yang lebih kuindahkan daripada cantikmu?” Tapi sayang, ia tidak tahu bahwa kepalaku di kala itu bukan mendengungkan syair itu, tidak tahu bahwa isi kepalaku sekarang adalah pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan Panji. Ia datang mengajak aku menonton film. Tapi meskipun berat, meskipun segan pergi ke bioskop, ajakannya itu kuturutkan juga. Tentu saja selama di sana aku lebih banyak teringat akan Suling-ku yang dilarang ditiup daripada berkeinginan menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Ketika kami pulang, dia tidak kuantarkan ke rumahnya: kami menuju rumah kami masing-masing.
Tiga hari kemudian, aku merasa badanku sehat lagi seperti biasa dan aku terlupa kepada Suling-ku. Kini baru kuingat bahwa aku sudah berbuat salah terhadap pemudi yang pernah bersama-sama menonton ke bioskop itu dan timbul keinginan menebus kesalahanku dengan mengajak dia ke restoran. Kusuruh seorang anak pergi ke rumahnya membawa surat ajakan itu. Bagaimana balasnya? Secarik kertas lebih kotor dan lebih kecil daripada kertas yang kukirim kepadanya, isinya tulisan dua baris, bunyinya: “Pergilah sendiri, sebab aku tak sudi datang ke restoran bersama seorang pengelamun.”
Sampai di sini berhenti lagi aku menulis, dihentikan darah yang terasa naik ke kepala. Hatiku berdenyut-denyut, gerahamku gemeretak. Serasa-rasa surat yang menjijikkan itu kini ada di hadapanku, serasa-rasa penghinaan pemudi yang menggemaskan itu terjadi barusan saja.
“Ba-ba-ba-ba,” bunyi suara anakku yang menangis lagi di belakang tempat dudukku. Telingaku saja yang sekilas mendengar, hati dan pikiranku terus panas, terus bergolak dibakar ucapan yang dulu kuucapkan, “Kurang ajar perempuan itu! Kurang ajar! Tak tahu ia bahwa aku sedang mengarang!”
“Wa-wa-wa-wa-wa,” bunyi suara anakku lagi kian keras. Sekali ini mendenging di telingaku, menggores hatiku.
“Diam! Diam! Aku sedang mengarang!” dan entah perkataan apa lagi yang kulemparkan kepada anak dan istriku ketika itu.
Tidak kulihat, tapi tak salah lagi istriku bangkit dan terus menggendong anak kami pergi ke luar. Ada terkilat di telingaku perkataan istriku, tapi entah apa bunyinya, aku tidak tahu,. Aku hanya tahu bahwa di dalam kepala dinaiki darah, aku mesti menulis lagi, mesti terus menceritakan bahwa secarik kertas kotor dari pemudi itu menjadi hikmat memberi ilham untuk menyelesaikan Suling-ku dengan melahirkan pelaku Pengembara. Sebab setelah itu aku mendapat ide bahwa bukan kecantikan kekasih yang mesti kupuji melainkan kebenaran yang kukasihi, seperti yang dikatakan Panji dalam sajak terakhir: “Kebenaranmulah, nyatanya kemenanganku!”
Ini semuanya ingin kutuliskan, tapi beberapa lamanya tanganku terdiam gemetar saja. Tiap kurenung-renungkan kepalaku terasa sakit. Semua kata bergumul di dalam dada saja, sehingga akhirnya detik jantung terasa kencang.
“Aku mesti berhenti,” pikirku dan terus pergi ke luar dengan tiada melihat apa-apa di hadapan, tidak mempedulikan istriku duduk di kursi meninabobokan anak kami yang sudah berhenti menangis. Aku terus saja berjalan turun tangga dengan kepala tertunduk, sebentar merasa, sebentar tidak, bahwa di atas kepala banyak bintang. Setelah beberapa langkah menginjak tanah, bintang-bintang di langit lebih jelas nampaknya di mata, lebih jelas dan lebih jelas, sampai akhirnya kelihatan langit luas tidak terbatas dengan ribuan cahaya perpestaannya.
Di sebelah barat nampak bintang besar bercahaya kehijau-hijauan, sebentar bersembunyi di balik awan, sebentar pula menitik-nitikkan sinarnya di atas daun nyiur melambai berbisik-bisik diusik angin. Rasa sejuk menyelinap ke dalam tubuhku, kesejukannya seperti masuk ke tulang sumsum.
Kuputarkan badanku menggigil, menuju lagi ke rumah.
Kuhampiri dulu istriku dan anakku. Tapi sebelum aku berkata mengajak mereka masuk ke dalam, lebih dulu kulihat istriku bermata basah.
“Mengapa air mata itu?” tanyaku.
“Rela engkau menyuruh anak baru berumur 13 bulan ke luar rumah di larut malam?” jawabnya.
“Larut malam?” tanyaku lagi.
“Ya, sekarang sudah jam satu.”
“Tapi aku tidak menyuruh ke luar.”
“Tidak menyuruh? Tidak ingat apa yang kaukatakan? Itu tandanya engkau belum sehat, tapi engkau mencoba juga mengarang.”
“Benar juga katanya,” bisik suara dalam hatiku. Aku jangan mengarang dulu sebelum sehat benar. Ya, jangan mengarang dulu selama diam di rumah sempit! Tapi itu honorarium yang dijanjikan Mutiara, bagaimana? Biar saja honorarium untuk ongkos-ongkos obat itu dibiarkan dulu?
Pusing oleh pertanyaan-pertanyaan itu, kupangku saja anakku, kutatap wajahnya yang tenang dalam buaian mimpi. Serasa-rasa hendak keluar airmataku, mengenang bahwa manusia yang baru berumur 13 bulan dan yang selama ini kukasihi itu barusan kusuruh ke luar rumah.
Tapi tiba-tiba aku tersenyum dan kalau aku menoleh kepada istriku, ia kulihat memandang aku dengan pandangan bertanya, “Mengapa tersenyum?”
“Ya,” kataku gembira, “di saat tidak sehat seperti sekarang ini, akan kukarang saja yang enteng, yang mengajak aku tersenyum segar di dalam mengarangnya, biar badan terasa segar. Dan karangan ini sudah ada pula dalam kepalaku.”
“Ya, yang enteng saja,” jawab istriku mengiakan.
“Tentu saja enteng,” kataku lagi sambil tertawa geli digelikan ingatan terhadap apa yang akan kukarang, “sebab yang akan kukarang itu pengalaman barusan.”
“Barusan?” tanya istriku.
Tidak kujawab melainkan terus kucium pipi anakku seraya berkata dalam hati, “… Kalau karangan itu sudah dimuat Mutiara, ia akan jadi kenanganku untukmu, Anakku, untukmu yang memberikan ilhamnya. Dan jika kau nanti mau belajar mengarang, biar engkau mendapat ilham dari dalamnya.”
Keesokan harinya aku pun mengarang karangan ini dengan geli di hati.
*
Utuy Tatang Sontani itu pengarang pesimis terbesar di Indonesia, puji Pram suatu kali. Salah seorang angkatan ’45 terkemuka, mula-mula terutama karena romannya “Tambera” dan cerita-cerita pendeknya yang dikumpulkan dalam “Orang-orang Sial” . Tetapi ia kemudian lebih terkenal dengan lakon-lakonnya.