Revolusi kemerdekaan Indonesia adalah suatu episode sejarah yang dramatis; sebuah drama yang mengadu tujuan rasional dengan sentimen emosional; mengawinkan realitas dengan mitos.
Masalahnya, yang kita terima hari ini, lebih banyak berupa warisan mitos penuh bunga-bunga. Ambil contoh bambu runcing yang sering disimbolkan alat perjuangan, pernahkah berpikir bagaimana ngerinya ketika benda ini menerobos badan seorang manusia, darah muncrat dan mungkin ada usus terburai?
Memang, dalam sejarahnya, kekerasan telah menyelesaikan lebih banyak masalah, kekerasan dianggap bahasa paling efektif. Dan ini sangat dilematis, sebab tindak kekerasan selalu berulang: laskar Hizbullah yang hobi menyembelih orang Belanda saat masa revolusi, nantinya akan berlabuh di DI/TII, dan masih suka menyembelih, kali ini menyasar leher warga sebangsanya sendiri. Revolusi tak pernah suci, dan rezim teror yang mengiringinya, dalam lingkup Indonesia, begitu panjang.
Karena ditunjuk sebagai pemateri untuk ngaleut Bandung Lautan Api, saya membaca ulang soal periode awal revolusi ini. Pembacaan ulang, selain untuk melawan lupa, selalu memunculkan kebaruan yang bisa digali. Momen Bandung Lautan Api selalu diingat sebagai sesuatu yang heroik, dan beragam perayaan untuk memperingatinya hampir semuanya sebatas romantisasi.
Pelajaran sejarah selama pendidikan formal, yang hanya mentok sampai pertanyaan “kapan” dan “dimana”, bisa disalahkan sebagai alasan kenapa banyak mitos masih bertebaran. Sejarah hanya menjadi hapalan membosankan, yang gunanya agar bisa mengisi jawaban ujian sekolah. Padahal ketika kita bisa menjawab pertanyaan “kenapa” dan “bagaimana”, sejarah baru akan berguna. Bagi saya, dan ini ideal saya, menjadi pemateri saat ngaleut bukan untuk jadi sebagai pemandu wisata, tapi sebagai Cicerone.
Bandung Awal Revolusi: 1945-1946 saya baca ulang. Penelitian John R.W. Smail yang memilih melihat Revolusi Indonesia dalam skala kecil yang membatasi fokusnya di wilayah Bandung pada periode sejak proklamasi kemerdekaan sampai peristiwa Bandung Lautan Api tanggal 24 Maret 1946. Smail menuturkan narasi yang detail serta analisis kejadian-kejadian yang terjadi di dalam dan sekitar Bandung, bahkan karena terlalu padat saya beberapa kali kepayahan membacanya.
Namun kisahnya sangat menarik dan mengungkap berbagai aspek dalam sejarah revolusi Indonesia yang sampai sekarang diabaikan atau hanya sedikit diperhatikan, antara lain: perkembangan organisasi militer formal dan informal sebagai manifestasi dari gerakan pemuda militan, kepentingan golongan di balik konflik fundamental antara kebijakan negosiasi dan perjuangan militan, kaitan atmosfer anarkis yang menonjol selama bulan-bulan awal periode ini.
Membicarakan Bandung Lautan Api tentu saja sangat terkait dengan delapan bulan masa revolusi sebelumnya. Terdapat dua elemen penting dalam sebuah revolusi sejati: perubahan fundamental pada struktur politik masyarakat dan munculnya suatu bentuk anarki yang memfasilitasi serta mewarnai perubahan tersebut. Pada Agustus 1945, Indonesia dihadapkan pada perubahan fundamental itu. Menyerahnya Jepang seketika bikin Indonesia dalam keadaan tanpa pemerintahan. Setelah selama beratus tahun diperintah bangsa lain, bagaimana caranya memerintah diri sendiri jadi sumber kebingungan. Tiap kota di Indonesia bingung, termasuk Bandung.
Kebingungan ini berubah jadi kekacauan. Gambaran ini bisa saya bayangkan berkat novelet Idrus berjudul Surabaya. “Orang tidak banyak percaya lagi kepada Tuhan,” tulis Idrus tentang kelakuan pemuda-pemuda Surabaya setelah Jepang menyerah. “Tuhan baru datang dan namanya macam-macam: bom, mitraliur, mortir.” Mereka, sebut Idrus, bercokol di jalan-jalan dengan revolver menggelantung di pinggang, layaknya para koboi ala film Hollywood. Para koboi itu sibuk tebar pesona ke gadis-gadis pribumi, dan dengan semangat jingoismenya membantai orang-orang yang mereka anggap bukan pribumi, baik itu orang-orang Ambon, Tionghoa, dan kaum Indo.
Kekacauan berubah jadi perang terbuka, ketika Inggris masuk. Dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Ben Anderson mengutip Surabaya karya Idrus tadi, “Sejak beberapa hari sekutu mendaratkan serdadu-serdadu lebih banyak dan tank-tank raksasa. Tank-tank itu turun dari kapal seperti malaikat maut turun dari langit: diam-diam dan dirahasiakan oleh orang yang menurunkannya.” Apa yang dilakukan Anderson dengan mengangkat karya fiksi dalam penelitian sejarahnya menunjukkan bahwa fiksi justru bisa merepresentasikan sejarah, dan bahwa novelet Idrus ini penting dibaca.
Dengan gaya bertutur yang sinis namun memikat, kita seakan diajak menjadi salah seorang penyaksi awal revolusi, yang secara pola hampir serupa di beragam kota lain. Idrus menelanjangi kisah revolusi, lalu menyuntikkan sarkasme dalam dosis tinggi ke urat nadi cerita. Revolusi tak selamanya menyisakan cerita heroik, penuh pengorbanan dan kisah kepahlawanan. Kancah agung revolusi pada awal kemerdekaan Indonesia menyisakan beragam kepiluan dan kisah-kisah tentang orang-orang yang pintar ‘memanfaatkan’ keadaan. Idrus menampakkan kegilaan revolusi Indonesia dalam segala bentuk.
Segala bentuk kegilaan terjadi pula di Bandung dalam delapan bulan sebelum peristiwa Bandung Lautan Api. Setelah Inggris masuk untuk mengamankan dengan membagi Bandung menjadi wilayah Utara-Selatan, ketegangan masih terus terjadi, malah meningkat. Penjarahan, pembunuhan, para pemuda yang berkobar-kobar, para laskar yang yakin akan jimatnya, Inggris yang ketiban sial, para Gurkha harus menanggung dosa gara-gara Inggris, Belanda yang masih belum puas, para KNIL yang harus memilih antara membunuh atau dibunuh, kapal-kapal Royal Air Force yang menghujani selebaran ultimatum dan bom, dan beragam hal yang mewarnai (dan menodai) Revolusi. Saya berpikir agar bisa mengidruskan Bandung Lautan Api.