Menuju Mangir, Menyusur Pantai Selatan Jawa

Wanci janari di satu masjid di Padaherang. Begitu benar pepatah Arab yang diamini Hemingway, bahwa tak ada teman duduk paling setia selain buku. Naskah drama Mangir yang disusun Pram menemani saya terjaga. Mimpi buruk Machiavelli termanifestasi dalam tragedi itu. Kekerasan dan dusta adalah bahasa paling nyaring serta lugas buat manusia, Senapati paham benar. Cinta antara Ki Ageng Mangir dan Putri Pambayun dialihgunakan untuk mematikan sebuah elan perlawanan. Desa Mangir jadi sandungan untuk politik ekspansi Mataram. Mangir memang pupus, dengan heroik agak romantik, memberi pelajaran soal betapa busuknya praktik kekuasaan. Malam nanti, kami akan tiba di desa dengan hikayat penuh resistensi itu: Bantul.

Jalur Bandung-Garut-Tasikmalaya yang telah kami lewati disesaki para pemudik dan kemacetan menjalar. Empat motor, siapa lagi kalau bukan kami, sengaja bergabung menjadi pemudik, melawat ke timur agar bisa mencipta peluang untuk pulang. Saya merasa gagal jadi Sancho Panzha bagi Don Quixote, hanya menghadiahi kesunyian dari jok belakang buat Gistha. Larutnya malam dan vertigo Abang memaksa kami harus beristirahat di masjid itu. Di sana, sudah ada serombongan yang terlelap di teras masjid, mereka yang menunggang mobil bak berterpal.

Lelah menjadi kasur terbaik, meski yang kau tiduri cuma teras masjid. Tidur, obat bagi kegelisahan, dan undangan bagi para garong. Untungnya, sebaik-baiknya selimut adalah kawan yang menjagamu. Sebelumnya, warga setempat yang nongkrong di teras masjid memberitahu saya soal pencurian motor beberapa hari ke belakang. Motivasi yang makin memantapkan saya melawan kantuk. Sialnya, malam dan kesendirian memancing hal paling menyebalkan bagi saya: percakapan dengan isi kepala. Layaknya dupa, asap rokok malah memancing beragam hantu-hantu, masa lampau yang ingin kau perbaiki tapi mustahil, luka-luka yang terlambat untuk kau sembuhkan, kesempatan-kesempatan yang kau sia-siakan, kesedihan yang tak terdefinisikan, masa depan yang begitu rapuh, bahkan apakah pantun gombal yang kau lontarkan dalam grup cakap WhatsApp Komunitas Aleut akan merisihkan sang penerima. Saya memonitor sekitar. Ada rasa haru campur lega ketika mendapati kawan-kawanmu tidur pulas. Yang terjaga sudah sepantasnya mengayomi yang terlelap.

Senyuman Pagi di Cilacap, Pecel Lada di Banyumas

Melewati malam tanpa tidur bagai ular yang harus menunda ganti kulit, tak terasa bahwa hari sudah baru. Setelah subuh, perjalanan mesti dilanjut. Memasuki Cilacap, kami dihadiahi lanskap mooi indie yang tercipta berkat perpaduan areal persawahan, halimun tipis dan sinar matahari pagi.

Setelah sarapan di jongko nasi uduk dan opor ayam, untuk bisa mencuci mulut dengan kopi sachet harus bermotor agak jauh dulu sampai ke warung dekat Stasiun Sidareja. Namun ngopi pagi itu tak mempan mengusir kantuk saya, berkali-kali helm saya berbenturan. Saya memilih menyetir, adanya beban tugas bikin saya malah jadi awas. Pagi menuju siang, kami terus melindas jalanan Cilacap. Beristirahat sejenak di area pom bensin yang cukup luas, untuk menguras usus besar dan beli cemilan serta minuman dari minimarket. Mbak ayu penjaga minimarket memamerkan senyum komersilnya, lumayan mengusir rasa kantuk saya dan membuat Irfan balik senyum genit.

Siang hari kami telah menyisir Cilacap, bahkan sudah di perbatasan Kebumen. Begitu terik, apalagi ini di daerah persawahan dekat pantai. Tapi kami harus agak memutar ke arah Banyumas, untuk nganjang ke seorang kawan. Rini yang baru lulus magister SBM ITB. Rumahnya dekat dengan Stasiun Sumpiuh. Kami ditawari keramahan dan beragam penganan, ditambah makan siang gratis. Kalau saja tak punya urat malu, bisa-bisa pecel kembang turi pedas itu bisa tandas sampai lima balikan piringan.

Turunan Tanjakan Kebumen, Lurus Terus ke Jogja

Di sepanjang jalur pantai selatan Kebumen, dengan tanjakan dan turunan curam, didapati para pemuda yang berlagak sebagai pengatur jalan. Dengan jalan yang cukup padat, bukannya mengatur, mereka malah bikin kagok. Menyetop kendaraan di jalan menanjak seenaknya, kebanyakan cuma mengepak-epakan tangannya entah buat apa padahal ada kendaraan di lajur sebaliknya. Di beberapa titik terjadi antrean kendaraan, tepat di belokan-belokan menuju pantai-pantai wisata. Jalanan terus menanjak dan menurun. Karena terbiasa menaikturunkan gigi motor, saya terpaksa jadi pendoa karena ketika turunan saya harus mengerem betul-betul penuh tenaga. Setelah beberapa turunan curam dilalui, Gistha baru bilang soal teknik engine break, yakni agar putaran mesin agak tertahan. Lengan sudah terlanjur letih. Memandang dari Jembatan Suwuk, jalur yang kami lewati tadi merupakan daerah berbukit-bukit, mirip ilustrasi sampul album Unknown Pleasure-nya Joy Division.

Jika jalan sebelumnya naik turun banyak tikungan, maka jalur lintas selatan pesisir Kebumen-Purworejo yang kami lindas begitu mulus memanjang dan lurus terus. Karena jalan masih baru, banyak sisa-sisa material perbaikan masih tercecer di sisi jalan. Jalanan berasa tanpa ujung. Memasuki Jalan Daendels, dan mendekati Yogya, jalanan mulai dihiasi kemacetan mengular. Yang pertama muncul di pikiran saat melintasi jalan ini adalah soal konflik agraria pembangunan bandara di Kulonprogo. Saya hanya bisa berapologi, suatu pembangunan membutuhkan pembangunan yang lain, dan akan terus merembet untuk membangun yang lain, masalahnya harus selalu ada tumbal.

Tujuan kami memang bukan Yogya, melainkan Bantul, untuk menjemput seorang kawan. Saat memasuki Bantul, kami disambut pasar malam, di lokasi inilah Desa Mangir itu terletak. Dengan bantuan Google Maps, kami bisa menemukan rumah Nurul, kawan yang akan kami culik ke Bandung. Rumahnya bertetangga dengan sawah, dengan halaman depan asri. Malam tanpa tidur tadi terbayar dengan kehangatan rumah ini.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *