John Berger Tentang Menulis dan Menerjemahkan

John Berger adalah seorang kritikus seni, penyair, pelukis, novelis dan penulis esai asal Inggris. Terkenal sebagai humanis Marxis. Novelnya, G., memenangkan penghargaan Man Booker Prize pada tahun 1972. Meninggal di usia 90 pada Januari 2017.

Berikut merupakan terjemahan esainya di The Guardian yang menyoal aktivitas menulis dan menerjemahkan yang telah ditekuninya selama bertahun-tahun.

‘Being aware has nothing to do with being a navigator’: John Berger, photographed in 2009.

Saya sudah menulis selama 80 tahun. Pertama surat kemudian puisi dan pidato, lalu cerita pendek dan artikel dan buku, sekarang catatan. Aktivitas menulis telah menjadi hal yang vital bagi saya; Ini membantu saya tetap waras dan terus melanjutkan hidup. Menulis, bagaimanapun, adalah pemotretan dari sesuatu yang lebih dalam dan lebih luas – seperti inilah hubungan kita dengan bahasa. Dan subjek dari catatan seuprit ini menyoal bahasa.

Mari kita mulai dengan memeriksa aktivitas menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Sebagian besar penerjemahan saat ini serba oleh mesin, sedangkan saya mengacu pada penerjemahan sastra: penerjemahan teks yang menyangkut pengalaman individu.

Pandangan konvensional tentang apa ini mengacu pada penerjemah atau penerjemah-penerjemah mempelajari kata-kata di satu halaman dalam satu bahasa dan kemudian menerjemahkannya ke bahasa lain di halaman lain. Ini meliputi yang disebut penerjemahan kata demi kata tadi, dan kemudian adaptasi untuk menghormati dan menggabungkan tradisi linguistik dan aturan-aturan pada bahasa kedua, dan akhirnya kerja lainnya untuk menciptakan kembali “suara” yang setara dengan teks asli . Kebanyakan – mungkin sebagian besar – penerjemahan mengikuti prosedur ini dan hasilnya layak, meski rendah mutunya.

Mengapa? Karena penerjemahan sebenarnya bukan persekutuan biner antara dua bahasa tapi urusan tiga arah. Poin ketiga dari tiga arah itu adalah apa yang ada di balik kata-kata dari teks asli sebelum naskah itu ditulis. Penerjemahan sejati menuntut kembali ke pra-verbal. Seseorang membaca dan membaca ulang kata-kata dari teks asli dengan alasan untuk menembus melalui teks tadi untuk menjangkau, untuk menyentuh, visi atau pengalaman yang mendorong terciptanya teks tadi. Seseorang kemudian mengumpulkan apa yang telah ditemukan di sana dan mengambil “sesuatu” yang tak terkatakan, yang bergetar ini dan menempatkannya di balik bahasa yang perlu diterjemahkan ke dalamnya. Dan sekarang tugas utamanya adalah membujuk bahasa kedua untuk masuk dan menyambut “sesuatu” yang menunggu untuk diartikulasikan ini.

Praktik ini mengingatkan kita bahwa bahasa tidak dapat direduksi menjadi kamus atau daftar kata dan frasa. Juga tidak bisa direduksi menjadi gudang karya-karya yang ditulis dalam bahasa tersebut. Bahasa lisan adalah sebuah tubuh, satu makhluk hidup, yang fisiognominya bersifat verbal dan fungsi viseralnya bersifat linguistik. Dan rumah makhluk ini adalah ketidakjelasan sekaligus kefasihannya.

Perhatikan istilah “bahasa ibu”. Dalam bahasa Rusia disebut rodnoy-yazik, yang berarti “terdekat” atau “lidah tersayang”. Pada keadaan darurat seseorang bisa menyebutnya “lidah sayang”. Bahasa ibu adalah bahasa pertama, pertama kali yang terdengar saat masih bayi.

Dan dalam satu bahasa ibu semuanya adalah bahasa ibu. Atau dengan kata lain – setiap bahasa ibu bersifat universal. Noam Chomsky dengan cemerlang menunjukkan bahwa semua bahasa – tidak hanya bahasa verbal – memiliki struktur dan prosedur tertentu. Jadi, bahasa ibu berhubungan dengan (berima dengan?) bahasa non-verbal – seperti bahasa isyarat, perilaku, akomodasi spasial. Ketika saya menggambar, saya mencoba untuk mengungkap dan menuliskan teks yang tertangkap dalam penampakan, yang sudah saya ketahui, yang tak terlukiskan namun tempatnya terjamin dalam bahasa ibu saya.

Kata-kata, istilah, ungkapan dapat dipisahkan dari khalayak bahasa mereka dan digunakan sebagai label-label belaka. Mereka kemudian menjadi lebam dan kosong. Penggunaan akronim yang berulang adalah contoh sederhana. Kebanyakan wacana politik arus utama saat ini terdiri dari kata-kata yang, terpisah dari khalayak bahasa manapun, yang tak berdaya. Dan “pengobralan-kata” yang mematikan itu menghapus ingatan dan menghasilkan kepuasan yang kejam.

Apa yang telah mendorong saya untuk menulis selama bertahun-tahun adalah firasat bahwa ada sesuatu yang perlu diceritakan, dan jika saya tidak mencoba mengatakannya, itu berisiko tak terkatakan. Saya membayangkan diri saya sebagai pemberhentian sementara daripada seorang penulis profesional yang konsekuen.

Setelah saya menulis beberapa baris, saya membiarkan kata-kata itu tergelincir kembali ke dalam bahasa mereka. Dan di sana, mereka langsung dikenali dan disambut oleh sejumlah kata lain, yang dengannya mereka memiliki afinitas makna, atau oposisi, atau metafora atau aliterasi atau irama. Saya mendengarkan pergumulan mereka. Bersama-sama mereka bersaing menggunakan kata-kata yang saya pilih. Mereka mempertanyakan peran yang saya berikan pada mereka.

Jadi saya memodifikasi baris, mengubah satu atau dua kata, dan memperturutkannya kembali. Pergumulan lain dimulai. Dan terus berlanjut seperti ini sampai terdengar gumaman rendah atas persetujuan sementara. Lalu saya lanjutkan ke paragraf berikutnya.

Pergumulan lain dimulai …

Orang bebas saja menempatkan saya sebagai seorang penulis. Bagi diri saya sendiri, saya anak haram jadah seorang sundal – dan kamu bisa menebak siapa sundalnya, ‘kan?

*

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

5 Comments

  1. Saya mengartikan di paragraf-paragraf akhir kalau ia menulis bebas dulu sebuah paragraf kemudian ditulis ulang dengan menentukan diksi, metafora dan irama yang berbeda dari sebelumnya. Kemudian mengulanginya pada paragraf berikutnya. Gitu nggak Kang?

    • Kalau saya nangkapnya bahwa dia bertugas sebagai perantara. Bahwa segala tulisan udah ada, udah tercipta. Dia cuma menerjemahkan dari teks kauniyah jadi teks tertulis. Nah, kata-kata yang dituliskannya itu terbentuk sesuai preferensi si penulisnya.

  2. Tulisan mas arip ini makin menginspirasi dengan ulasan sastra yang makin kental. Makin ganteng juga fotonya haha. No offense, No homo wkakak.. Salam dari lereng semeru.

    • Maksudnya kayak gimana? Yg banyak di internet sih obituarinya, kalau soal pembacaan karya-karya atau pemikirannya belum nemu.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *