Mesin Pemerintahan

Ketimbang menjalankan fungsi pemerintahan, para pejabat kita tampaknya punya hobi bikin sakit hati warganya. Saya jadi terpikir, bagaimana jika para pejabat di Indonesia digani robot. Masuknya robot setidaknya mengurangi jatah parlemen yang didominasi para lelaki tolol. Mungkinkah robot akan menjadi alternatif yang lebih baik ketimbang politisi yang korup dan tidak kompeten?

Pemerintahan yang dijalankan oleh semacam robot, algoritma atau kecerdasan buatan mungkin masih terdengar seperti fiksi ilmiah. Namun, penggunaan kecerdasan buatan semakin nyata dalam kehidupan kita. Dari menemukan lagu favorit baru berdasarkan rekomendasi Spotify sampai memeriksa peta di ponsel untuk menghindari kemacetan atau mencari jalan tercepat saat mengemudi, algoritma dan kecerdasan buatan mendukung bahkan telah memengaruhi secara tak sadar kebiasaan dan tindakan sehari-hari kita.

Kecerdasan buatan telah terbukti melampaui kemampuan manusia di berbagai industri. Di bidang keuangan, AI sudah membantu penasihat keuangan merancang perencanaan keuangan sekaligus meningkatkan strategi investasi. Dalam medis, sistem diagnostik AI terbukti jauh lebih akurat daripada dokter dalam mendiagnosis penyakit jantung dan pertumbuhan kanker.

Mesin Pemerintahan dan Machine Learning

Lalu bagaimana dengan pemerintah? Apa dampak kecerdasan buatan pada sifat pemerintah? Pertanyaan yang mengkhawatirkan hari ini bagi banyak orang adalah apakah demokrasi sendiri dapat bertahan hidup AI. Kenyataannya adalah bahwa teknologi disruptif seperti AI tidak dapat ditarik kembali. AI telah jadi teknologi arus utama yang perlu diintegrasikan secara efektif ke dalam pengambilan keputusan abad ke-21 di semua lembaga, terutama pemerintah.

AI memberikan pemerintah pilihan baru tentang cara menyelesaikan pekerjaan, apakah dengan beberapa pekerjaan sepenuhnya otomatis, beberapa dibagi antara manusia dan mesin, dan beberapa dilakukan oleh orang-orang tetapi kemudian dielaborasikan oleh mesin. AI juga memungkinkan alat baru untuk kewarganegaraan yang cerdas dan pemerintahan terbuka yang dapat memperbarui demokrasi. Ketimbang teknokrasi atau demokrasi, jawabannya kemungkinan akan menjadi kombinasi antar keduanya.

Machine learning, kemajuan terbaru dalam AI, merupakan revolusi dalam penggunaan mesin untuk mendukung manajemen keputusan, peramalan, klasifikasi data, dan sintesis informasi. Membangun diri atas pembelajaran mendalam, AI dapat berarti secara signifikan meningkatkan pemberian layanan bagi warga negara dan meningkatkan pekerjaan para profesional layanan publik, juga menginspirasi generasi teknokrat baru ketika memasuki pemerintahan. Atau, AI bahkan bisa berarti membentuk kembali pemerintah.

Apa yang kita ketahui adalah kita meninggalkan era sistem terpusat dan pengambilan keputusan top-down. Dasar pemikiran untuk sistem pengambilan keputusan yang tertutup ketika partisipasi warga terbatas pada aktivisme pemungutan suara atau kelompok kepentingan berada pada era yang berbeda. Di era jaringan, kita sekarang membutuhkan alat yang menjembatani algoritma dengan bentuk-bentuk baru pengambilan keputusan secara kolaboratif. Sederhananya, kita membutuhkan demokrasi digital yang dibangun berdasarkan kemampuan AI dan Big Data.

Program machine learning mungkin lebih baik, lebih murah, lebih cepat, atau lebih akurat daripada manusia pada tugas yang melibatkan banyak data, perhitungan rumit, atau tugas berulang dengan aturan yang jelas. Mereka yang berada di layanan publik, dan di banyak organisasi besar lainnya, dapat mengenali bagian dari pekerjaan mereka dalam deskripsi itu. Kenyataan bahwa pekerja pemerintah sering mengikuti serangkaian aturan, apakah kebijakan atau serangkaian prosedur, sudah menghadirkan banyak peluang untuk otomatisasi.

Politik dan Kemajuan Teknologi

Industrialisasi abad ke-19 mengarahkan kembali kehidupan manusia dalam skala luas, menggeser produksi secara radikal dari desa dan pertanian ke pabrik-pabrik besar yang terpusat dengan tenaga batu bara dan uap. Dan politik harus beradaptasi secara radikal seperti manusia menemukan cara untuk membuat masyarakat industri bekerja. Lembaga-lembaga yang dibentuk di sekitar kehidupan desa tegang dan hancur di bawah tekanan jutaan orang yang pindah untuk bekerja di pabrik-pabrik baru.

tokyo ai candidate
Kandidat AI saat pemilu walikota di Tokyo. Foto: YellRobot

  Awal tahun 2019, Alisa adalah salah satu penantang Vladimir Putin dalam bursa kepresidenan Rusia. Kampanyenya menjanjikan seorang pemimpin yang “bergantung pada logika” dan “tidak dipimpin oleh emosi”. Demikian pula, Michihito Matsuda berada di urutan ketiga dalam perebutan walikota Tama di Tokyo, menawarkan kebijakan pemilih yang didorong oleh data, bukan dogma politik.

Politisi Selandia Baru yang baru lahir SAM merupakan potongan serupa; dia sudah membuat gelombang di media sosial dan berharap untuk mencalonkan diri sebagai kandidat penuh pada tahun 2020, menawarkan konstituennya cara untuk menghindari kemacetan perwakilan yang terikat pada kelompok-kelompok kepentingan khusus dan lobi-lobi penuh sogokan. Apa kesamaan yang dimiliki politisi-politisi calon ini? Tak satu pun dari mereka adalah orang yang nyata. Masing-masing adalah bot AI. Apakah mereka mewakili masa depan sistem politik kita yang sedang sakit atau ancaman distopia terhadap demokrasi kita?

Masa depan yang lebih baik adalah mungkin: AI menciptakan kekayaan dan pekerjaan global, membuat pemerintah lebih efisien, memungkinkan industri untuk berbuat lebih banyak dengan lebih sedikit, mendorong pembangunan, memerangi pandemi, dan melindungi lingkungan. Hasil yang buruk juga mungkin terjadi: beberapa negara dan individu merebut privilase saat yang lain tertinggal; algoritma yang menyerang privasi, dan resiko mengganggu demokrasi.

Berkaca pada industrialisasi abad ke-19, revolusi tidak mengumumkan diri mereka sendiri; mereka tidak mengetuk pintu, mereka hanya muncul. Hal terakhir yang kita inginkan adalah tertangkap basah, tidak siap untuk revolusi data ini.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

5 Comments

  1. Kalau mau pakai AI harus punya source data yang bagus.. Input datanya Indonesia udah reliable? Faktor ke-2, dibalik AI masih butuh orang2 yang membuat rumus2nya,, jadi akan tergantung juga orang yang dibalik layar ini. Faktor ke-3 kalau ada fenomena baru, rumus-rumusnya juga harus diubah. Faktor ke-4, tentang kondisi psikis dari masyarakat harus dipertimbangkan dan masuk ke rumus jg..

    • Iya faktor pertama dan kedua itu salah satu permasalahan bahwa bakal ada beberapa negara dan individu merebut privilase sementara saat yang lain tertinggal. Indonesia sayangnya yg tertinggal itu. Faktor ketiga dan keempat memang kuncinya di konsep machine learning, yg kalau melihat teknologi hari ini ya masih harus ada “orang” di balik mesin itu.

      Sebenarnya nulis ini karena kepikiran istilah “mesin pemerintahan”, jadi ngebayangin kalau istilah itu diartiin secara harfiah.

  2. Masih sulit untuk dibayangkan kalau robot seperti komentar Mbak Nita di atas. Orang-orang di belakangnya yang membuat rumus atau apalah itu, harus dipastikan jangan berengsek juga.

    Ketika sedih pemerintahan dipimpin orang-orang macam gitu, lama-lama jadi kepikiran momen Luffy menyuruh Soge King membakar bendera pemerintahan. Haha.

    • Ini emang gagasan kasar dan selewatan sih. Kalau saya mikirnya kayak Magi System di Neon Genesis Evangelion atau Sybil System di Psycho Pass, meski visi yg ditampilkan rada distopia.

      Luffy ini bajak laut atau anarko sih kok bakar2 dan melawan pemerintahan segala hehe.

  3. Hal rutin terkait urusan pemerintahan memang banyak juga yang bisa digantikan dengan AI, dan di sektor manapun yang sifatnya rutin bisa lah di-AI-kan…
    Tapi kalau pejabatnya robot ya aneh juga sih? Pejabat di sini tentu maksudnya ya yang berwenang membuat keputusan.., ha dijajah robot lah kita

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *