Aku bermimpi terbangun dari tidur. Mimpi yang tertua dari segala mimpi; aku baru saja mengalaminya. Aku bermimpi terbangun dari tidur.
Aku sedang di ranjangku sendiri. Sepertinya agak mengejutkan, tapi setelah berpikir sebentar, masuk akal juga. Memangnya di ranjang siapa lagi aku terbangun? Kulihat sekeliling dan bergumam, Wah, wah, wah. Bukan pemikiran yang hebat, kuakui. Tapi apa kita pernah menemukan kata-kata yang tepat untuk saat-saat yang dahsyat?
Pintu diketuk dan seorang perempuan masuk, berjalan menyerong dan mundur sekaligus. Mestinya kelihatan wagu, tapi tidak juga; tidak, malah lembut dan bergaya. Ia membawa nampan, itu sebabnya dia masuk dengan cara seperti itu. Ketika ia berbalik, kulihat dia mengenakan sejenis seragam. Seorang perawat? Bukan, ia tampak lebih mirip pramugari maskapai penerbangan yang tak pernah kaudengar namanya. “Layanan kamar,” katanya dengan seulas senyum yang seolah berkata bahwa dia tidak terbiasa, atau aku yang tidak terbiasa mengharapkan sapaan itu; atau kedua-duanya.
“Layanan kamar?” ulangku. Di tempat asalku, sesuatu seperti itu hanya terjadi dalam film. Aku duduk di ranjang dan tersadar bahwa aku tak berbaju. Ke mana ya, piyamaku? Ini baru perubahan. Juga ketika aku duduk di ranjang dan menyadari bahwa perempuan itu bisa melihatku telanjang sampai ke pinggang, pahamilah, aku tidak merasa malu sedikit pun. Itu bagus.
“Pakaianmu di lemari,” katanya. “Santai saja. Kau punya waktu sehari penuh. Dan,” tambahnya dengan senyum semakin lebar, “juga seharian besok.”
Aku menunduk melihat nampanku. Biar kuceritakan kepadamu tentang sarapan itu. Sarapan terbaik yang pernah kudapatkan seumur hidupku, tak salah lagi. Mulai dari jeruk besar. Nah, kau tentu tahu bagaimana jeruk besar: bagaimana cairannya muncrat menciprati kemejamu, selalu menggelincir dari tanganmu kecuali jika kaupegang dengan garpu atau apalah, bagaimana dagingnya selalu menempel pada selaput buramdan tiba-tiba lepas begitu saja dengan setengah daging buahnya tertarik, betapa rasanya selalu kecut tapi juga membuatmu merasa tak enak jika menaburinya dengan gula. Jeruk besar seperti itu, bukan? Sekarang izinkan kuceritakan kepadamu tentang jeruk besar yang ini. Dagingnya merah muda, bukan kuning, dan tiap bagian sudah dipisahkan dari selaputnya dengan hati-hati. Bagian bawah buah itu sendiri tertancap pada piring oleh pasak atau garpu, sehingga aku tidak perlu memegangnya atau bahkan menyentuhnya. Aku melihat sekeliling mencari gula, tapi itu karena kebiasaan saja. Rasa jeruknya seperti terbagi menjadi dua bagian–ada semacam rasa tajam yang menyentak, yang lalu diikuti sapuan cepat rasa manis; dan tiap bulir kecil itu (kira-kira seukuran kecebong) terasa pecah sendiri-sendiri di dalam mulutku. Begitulah jeruk besar impianku, aku tak keberatan menceritakannya kepadamu.
Seperti kaisar, kusingkirkan tudung saji dan kuangkat kubah perak dari nampan yang menggunduk. Tentu saja aku sudah tahu apa yang ada di bawahnya. Tiga irisan tipis daging babi panggang tanpa urat dan kulit, gajih renyahnya berkilau seperti api unggun. Dua telur goreng, bagian kuningnya nampak seperti susu karena dituangi sedikit minyak saat digoreng, sementara tepi luar bagian putihnya nampak seperti selingkar cincin emas berukir. Tomat panggang yang hanya bisa kugambrkan melalui apa yang tidak menyerupainya. Tomat panggang bukan seperti mangkuk yang mau ambruk berisi tangkai, biji, serat, dan air merah, melainkan sesuatu yang padu, dapat diiris, matangnya merata, dan rasanya–ya, inilah yang kuingat–berasa tomat. Sosisnya: sekali lagi, bukan selongsong daging kuda hangat-hangat kuku yang dijejalkan ke dalam kondom, tapi sesuatu yang cokelat kemerahan gelap dan mendaging tebal… suatu… sosis, ya, hanya itu kata yang tepat untuknya. Lainnya, semua yang kupikir pernah kunikmati dalam kehidupanku yang dulu, sekadar berlatih untuk menjadi seperti ini: diaudisi–dan tak mendapat peran. Ada piring hidangan pendamping berbentuk bulan sabit dengan tutup perak berbentuk bulan sabit. Aku membukanya: ya, ada kulit luar daging babiku, yang dipanggang secara terpisah, menunggu dikunyah.
Roti bakar, selai kulit jeruk–yah, bisa kaubayangkan, bisa kauimpikan sendiri seperti apa. Tapi harus kuceritakan kepadamu tentang teko teh. Tehnya, tentu saja, sebenar-benarnya teh, dengan rasa seperti rasa teh yang dipetik oleh dayang-dayang raja. Sementara tekonya… Pernah, bertahun-tahun silam, aku ikut paket liburan ke Paris. Aku keluyuran memisahkan diri dari yang lain dan jalan-jalan ke pemukiman orang-orang kaya. Tempat mereka belanja dan makan. Di suatu sudut aku melewati satu kafe. Tidak terlalu mewah, dan untuk beberapa saat terpikir olehku untuk duduk di sana. Tapi tidak kulakukan, karena di satu meja kulihat seorang laki-laki sedang minum teh. Ketika ia menuang teh ke dalam cangkir, aku bisa melihat peranti kecil yang menurutku nyaris mendefinisikan kemewahan: saringan teh tertempel di moncong teko bergelayut pada tiga rantai perak yang halus. Ketika orang itu mengangkat teko hingga mencapai kemiringan yang tepat untuk menuang, saringan bergoyang keluar menahan da teh. Tak dapat kupercaya bahwa pernah ada pemikiran ser tentang cara membebaskan laki-laki peminum teh dari beban berat tak terkira untuk memegang saringan teh biasa dengan satu tangannya yang bebas. Aku berjalan meninggalkan kafe sambil merasakan bahwa diriku memang benar. Kini, di nampanku, aku punya teko teh dengan lencana satu kafe keren di Paris. Saringan di moncongnya menggelantung pada tiga rantai perak. Tiba-tiba aku dapat memahami maksudnya.
Setelah sarapan, kutaruh nampan di atas meja di sisi ranjangku, lalu beranjak ke lemari. Semua ada di sini, pakaian kesukaanku. Jaket sport yang masih kusuka bahkan setelah orang bilang, aneh banget, itu pakaian bekas ya; dua puluh tahun kemudian jaket itu kembali trendi. Celana panjang korduroy yang dibuang istriku, karena robek terlalu parah di bagian pantatnya, tapi berhasil diperbaiki seseorang sehingga tampak seperti baru–meski tidak terlalu baru sehingga kau tak tergila-gila amat pada celana itu. Kemeja-kemejaku merentangkan tangan untukku, dan kenapa tidak; mereka belum pernah dimanjakan seperti ini–semua berbaris pada gantungan berlapis beludru. Ada sepatu yang kematiannya dulu kusesali; kaus kaki yang kini tidak bolong lagi; dasi yang dulu kulihat di etalase. Bukan koleksi baju yang bisa membuatmu iri sebenarnya, tapi bukan itu soalnya. Aku diyakinkan kembali. Aku akan menjadi diriku sendiri lagi. Aku akan menjadi lebih daripada diriku sendiri.
Di sisi ranjang ada bel tarik berjumbai yang sebelumnya tidak kusadari. Aku menariknya, merasa sedikit malu, dan meringkuk ke balik selimut lagi. Ketika perawat-pramugari itu masuk, kutepuk perutku dan berkata, “Eh, tahu tidak, aku masih bisa nambah lagi lho.”
“Ya, aku tidak kaget,” jawabnya. “Aku setengah menduga kau akan bilang begitu.”
Seharian aku tak bangun dari ranjang. Aku sarapan untuk makan pagi, sarapan untuk makan siang, dan sarapan untuk makan malam. Seperti suatu sistem yang bagus. Aku akan mengkhawatirkan makan siang besok. Atau tepatnya, aku takkan mengkhawatirkan makan siang besok. Aku takkan mengkhawatirkan apapun besok. Selang antara sarapan-makan-siangku dan sarapan-makan-malamku (aku benar-benar mulai menghargai sistem saringan teh itu–kau bisa terus makan roti croissant dengan tanganmu yang bebas sambil menuang teh), aku tidur lama. Kemudian aku mandi. Aku bisa saja mandi berendam, tapi sepertinya puluhan tahun sudah aku berendam, jadi aku mandi dengan pancuran saja. Aku menemukan kimono tebal dengan sulaman benang emas inisial namaku di saku dada. Kimono it pas di tubuhku, tapi kupikir sulaman inisial namaku terlalu berlebihan. Aku tidak datang ke sini untuk petentengan seperti bintang film. Waktu kupelototi, jalinan benang emas itu hilang dari pandanganku. Aku mengedip dan lenyaplah. Kimono itu terasa lebih nyaman dengan saku biasa saja.
Hari berikutnya aku bangun–dan sarapan lagi. Sarapan yang seenak tiga sarapan sebelumnya. Jadi jelas masalah sarapan kini sudah teratasi.
Ketika Brigitta datang untuk membereskan nampan, ia berbisik, “Belanja?”
“Tentu.” Persis kegiatan itulah yang ada di benakku.
“Kau ingin pergi belanja atau belanja dari rumah?”
“Pergi belanja,” kataku, tak terlalu paham apa bedanya.
“Baiklah.”
Saudara lelaki istriku pernah pulang dari bepergian sepuluh hari ke Florida dan berkata, “Kalau aku mati, aku tak ingin pergi ke Surga, aku ingin pergi belanja ke Amerika.” Pada pagi hari kedua itu aku mulai mengerti apa maksud perkataannya.
Sesampainya kami di supermarket. Brigitta bertanya apa aku ingin jalan kaki atau naik kendaraan. Aku bilang ayo naik kendaraan saja, kayaknya asyik–jawaban yang kelihatannya sudah ia duga. Kalau dipikir-pikir, beberapa tugasnya pasti cukup membosankan–maksudku, kami mungkin bereaksi hampir sama, bukan? Demikianlah, kami naik kendaraan. Kereta belanjana troli berjaring kawat dengan motor yang berdengung mirip mobil bombomkar, tentu saja tanpa saling tabrak karena dilengkapi sejenis mata elektronik. Ketika kau mengira akan menabrak, tahu-tahu kau sudah berkelit dari kereta yang menyongsongmu. Asyik juga, rasanya, hampir tabrakan.
Sistem belanjanya gampang. Kau mendapat kartu plastik yang harus kau sisipkan pada slot di sebelah barang-barang yang akan dibeli, lalu tekan tombol sesuai jumlah barang yang diinginkan. Satu, dua detik kemudian, kartumu dikembalikan. Lalu barangnya secara otomatis diberikan dan dicatat dalam tagihan.
Senangnya aku di kereta kawatku. Aku ingat ketika aku biasa pergi belanja di hari-hari silam, hari-hari sebelum ini, kadang kulhat anak-anak kecil duduk di dalam troli seolah benda itu kurungan. Mereka didorong berkeliling oleh orangtua mereka dan aku jadi iri. Kini aku tidak iri lagi. Dan wow, lihat yang kubeli pagi itu! Praktis kusikat habis gundukan jeruk besar merah muda itu. Begitulah kira-kira. Aku beli sarapan, aku beli makan siang, aku beli makan malam, aku beli camilan menjelang siang, teh sore, kudapan pembangkit selera, dan santapan tengah malam. Aku membeli buah yang tak kuketahui namanya, sayuran yang belum pernah kulihat, potongan baru nan aneh daging binatang yang kukenal, dan potongan yang aku hapal dari daging binatang yang belum pernah kumakan. Di seksi Australia, aku menemukan dagin steik buntut buaya, irisan tanpa tulang daging kerbau air, terrine de kangarou. Kubeli semua. Kuborong isi lemari masakan eksotik. Souffle lobster beku-kering dengan potongan buah ceri di atasnya: aku tak tahan!
Kemudian konter minuman… Aku tak tahu ternyata ada banyak sekali cara mabuk yang sudah diciptakan orang. Aku sendiri termasuk penggemar bir dan minuman keras lainnya, tapi aku tak mau terkesan demikian, jadi kubeli beberapa krat anggur dan koktail. Label pada botol sangat membantu karena memberikan instruksi terperinci tentang semabuk apa kau faktor-faktor seperti jenis kelamin, berat badan, dan kadar lemak tubuh. Ada satu merek alkohol bening dengan label yang berantakan. Mereknya Stinko-Paralytiko (buatan Yugoslavia) dan bertuliskan: “Minuman ini membuat Anda mabuk lebih daripada sebelumnya.” Nah, aku harus membawa pulang sekotak minuman itu, bukan?
Belanja bagus untuk kegiatan pagi hari. Mungkin kegiatan terbaik yang pernah dilakukan. Dan jangan meremehkanku, ya. Kau sendiri pasti akan melakukan hal yang sama. Maksudku, katakanlah kau tidak pergi belanja, lantas kau mau apa? Ketemu orang terkenal, bersetubuh, main golf? Kemungkinannya tidak tak terbatas–itu salah satu poin yang harus diingat tentang semua ini, tentang tempat ini dan tempat itu. Dan kalau aku pergi belanja terlebih dulu, yah, itulah yang memang akan dilakukan oleh orang seperti aku. Aku tidak akan meremehkanmu bila kau ingin bertemu orang terkenal dulu, atau bersetubuh, atau main golf dulu. Lagi pula, aku toh melakukan semua itu pada gilirannya nanti. Seperti kubilang, kita tidak terlalu jauh berbeda.
Setibanya kami di rumah, aku… bukannya lelah–kau tidak merasa lelah–hanya semacam puas. Kereta belanjanya mengasyikan sekali; kukira aku takkan pernah repot-repot jalan kaki lagi-sesungguhnya, setelah dipikir-pikir, aku tidak melihat seorang pun jalan kaki di supermarket. Lalu tiba saat makan siang dan Brigitta datang membawa sarapan. Kemudian aku tidur. Kusangka aku akan bermimpi, karena aku selalu bermimpi ketika tidur siang. Tapi ternyata aku tidak bermimpi. Aku bingung kenapa tidak.
Brigitta membangunkanku dengan membawa teh dan biskuit pilihanku: biskuit kismis yang dirancang khusus bagi orang seperti aku. Entah bagaimana anggapanmu, tapi masalah yang kukeluhkan seumur hidup adalah bahwa mereka tidak menaruh cukup kismis di biskuit kismis. Tentu kau tak ingin ada terlalu banyak kismis di biskuit, karena kalau begitu kau hanya akan mendapat gumpalan kismis dan bukan biskuit, tapi aku selalu percaya bahwa proporsi adonannya dapat disesuaikan. Bagian atas untuk kismis, tentunya–katakanlah, sekitar setengah-setengah. Dan kebetulan itulah sebutan biskuit ini: Fifty-Fifties, Setengah-Setengah. Aku beli tiga ribu bungkus.
Aku membuka koran yang ditaruh Brigitta dengan penuh pengertian di atas nampan, dan hampir menumpahkan tehku. Tidak, aku memang menumpahkan tehku–hanya saja kau tak mengkhawatirkan ha seperti itu lagi. Berita utama. Memang mestinya demikian, bukan? Leicester City memenangi piala FA. Bukan lelucon, Leicester City benar-benar memenangi piala FA! Kau pasti tak percaya, ‘kan? Yah, mungkin kau percaya, kalau kau tidak tahu apa-apa tentang sepakbola. Tapi aku tahu sedikit-sedikit tentang sepakbola dan sudah menjadi pendukung Leicester City sepanjang hidupku, dan aku tak bakal percaya, itu maksudku. Jangan salah sangka dulu, aku tidak meremehkan tim favoritku. Mereka tim hebat, kadang tim yang sangat hebat, tapi belum pernah memenangi kejuaraan besar. Juara Divisi Dua, silahkan hitung sendiri berapa kali, ya, tapi mereka tak pernah menjuarai Divisi Pertama. Satu kali jadi juara dua, bolehlah, tak masalah. Sedangkan Piala FA… faktanya, fakta yang tak terbantahkan selama aku menjadi pendukung Leicester City (dan sebelum itu juga), mereka tidak pernah memenangi Piala FA. Tim ini punya catatan sangat bagus pada masa pascaperang dalam hal keberhasilan mencapai Final–dan catatan yang sama bagusnya dalam ha kegagalan menyabet trofi. 1949, 1961, 1963, 1969 adalah tahun-tahun kelam, dan menurut pendapatku, satu atau dua kekalahan mereka hanya karena faktor ketidakberuntungan, sudah kutelaah sesungguhnya… oke, aku bisa melihat bahwa kau tidak tertarik pada sepakbola. Tidak apa-apa, asalkan kau dapat memahami fakta yang utama bahwa Leicester City sebelumnya, tidak pernah memenangi apapun kecuali kejuaraan kelas teri, dan kini memenangi Piala FA untuk pertama kalinya dalam sejarah klub sepakbola itu. Pertandingannya juga benar-benar seru, menurut koran: City menang 5-4 dalam perpanjangan waktu setelah menyusul tak kurang daripada empat kesempatan. Penampilan yang hebat! Paduan keterampilan dan mental baja yang luarbiasa! Aku bangga terhadap mereka. Brigitta akan membawakanku rekaman video pertandingan itu besok, aku yakin dia bisa membawakannya untukku. Sementara itu, aku meminum sedikit sampanye bersama sarapan yang kusantap untuk makan malam.
Koran itu hebat. Dalam arti tertentu, itulah koran yang paling kuingat. Leicester City memenangi Piala FA, seperti yang sudah kusebutkan. Mereka menemukan obat kanker. Partaiku selalu menang Pemilu sampai semua orang melihat bahwa gagasan-gagasannya benar, sehingga sebagian besar pihak oposisi berubah pikiran serta bergabung dengan kami. Setiap pekan para nenek tua renta judi kayak dalam berbagai taruhan. Para pelaku kejahatan seks bertobat dan dikembalikan ke masyarakat, menjalani hidup baik-baik. Para pilot belajar bagaimana menyelamatkan pesawat dari tabrakan di udara. Semua orang memusnahkan senjata nuklir. Manajer Tim Inggris memilih keseluruhan tim Leicester City en bloc untuk mewakili Inggris dalam Piala Dunia, dan mereka pulang membawa trofi Jules Rimet (mengalahkan Brazil 4-1 dalam pertandingan final yang tak terlupakan). Ketika kau membaca koran itu, tintanya tidak luntur ke tanganmu dan ceritanya tidak luntur dari ingatanmu. Anak-anak kembali tak berdosa; lelaki dan perempuan rukun; tak ada gigi yang mesti ditambal; dan stoking wanita tak pernah koyak.
Apalagi yang kulakukan pada pekan pertama itu? Seperti kubilang, aku main golf dan bersetubuh dan bertemu orang terkenal dan tak pernah murung. Izinkan kumulai dengan golf. Aku tak terlalu pintar main golf di lapangan golf umum yang rumputnya mirip keset sabut kelapa dan tak seorang pun repot-repot menambal tanah yang berlubang tersabet tongkat golf, saking banyaknya lubang di rumputan dan kau tak tahu lagi mana yang bekas pukulanmu. Tapi aku sering menyaksikan pertandingan golf terkenal di televisi dan penasaran ingin memainkan… yah, golf impianku. Dan begitu aku merasakan pukulan pertamaku sambil menyaksikan bagaimana bola melambung beberapa ratus meter, aku tahu aku sedang berada di surga ketujuh. Berat tongkat golfku terasa mantap; hamparan rumputnya sangat kenyal, bola tersungging bagai minuman yang disajikan oleh pelayan di atas nampan untukku, sementara kacung golfku (aku tak pernah punya kacung golf sebelumnya, tapi dia memperlakukanku bak Arnold Palmer) banyak memberi saran yang berguna, tak pernah cerewet. Lapangan golf itu tampaknya memiliki segalanya–sungai kecil, danau, dan jembatan antik, lekak-lekuk pesisir seperti di Skotlandia, petak-petak bunga dogwood dan azalea dari Augusta, pohon beechwood, pinus, pakis besar, dan perdu bunga kuning. Medan yang sulit, tapi memberimu peluang. Aku main golf pada pagi yang cerah itu dengan skor 67, lima di bawah par, dua puluh pukulan lebih baik daripada yang pernah kulakukan di lapangan golf umum.
Saking senangnya dengan permainan golfku, ketika pulang aku bertanya kepada Brigitta apa dia mau bersetubuh denganku. Dia bilang tentu saja mau; menurutnya aku sangat menarik dan meskipun baru meliat setengah badanku bagian atas, dia yakin sekali setengah badanku selebihnya juga dalam kondisi prima. Ada sedikit masalah sebenarnya, seperti bahwa dia sedang kasmaran dengan orang lain dan akan dipecat jika berhubungan seks dengan pendatang baru, belum lagi dia punya sedikit gangguan jantung, yang berarti ketegangan tambahan bisa membahayakan. Tapi kalau aku mau memberinya waktu beberapa menit, dia akan menyelinap pergi untuk mengenakan baju dalam seksi. Yah, aku sejenak berdebat dengan diriku sendiri tentang benar-salahnya ajakanku. Dan ketika ia datang kembali, dengan aroma wangi dan belahan dada yang terlihat, kukatakan kepadanya bahwa setelah kutimbang-timbang, kupikir kami mungkin tak perlu melakukannya. Ia sangat kecewa dan duduk di depanku sambil menyilangkan kaki, menyajikan pemandangan luarbiasa, tapi aku bersiteguh. Baru beberapa waktu kemudian–besok paginya tepatnya–kusadari bahwa dialah yang telah menolakku. Aku tidak pernah ditolak dengan cara sehalus itu sebelumnya. Mereka bahkan membuat hal-hal buruk jadi bagus di sini.
Malam itu aku minum sebotol besar sampanye ditemani daging sturgeon dan kentang goreng (di sini kau juga takkan mengalami puyeng pascamabuk), dan hampir tertidur sambil terus teringat pada ayunan hebat yang berhasil kulakukan dengan tongkatku pada pukulan keenam belas–supaya bola golf tetap berada di tingkat atas lapangan dua tingkat itu–ketika aku merasakan selimutku disingkapkan. Mulanya kupikir itu Brigitta dan aku merasa agak tidak enak karena dia punya gangguan jantung dan bisa dipecat dan sedang kasmaran dengan orang lain. Tapi ketika aku merangkulnya dan berbisik “Brigitta?”, suatu suara berbisik menyahut, “Bukan, ini bukan Brigitta,” aksennya pun berbeda, serak dan asing sekali, lalu hal-hal lain menyadarkanku bahwa dia memang bukan Brigitta, meskipun Brigitta ialah wanita yang menarik dalam banyak hal. Yang terjadi selanjutnya–dan yang kumaksud dengan “selanjutnya” bukanlah jangka waktu yang pendek–yah, sulit dijelaskan. Yang terbaik yang bisa kukatakan adalah bahwa tadi pagi aku main golf dengan skor 67, lima di bawah par dan dua puluh pukulan di atas catatan terbaikku sebelumnya, dan apa yang terjadi pada malamnya adalah prestasi yang setara denga itu. Tolong dimengerti, aku enggan menjelekkan istriku tercinta di bidang ini; hanya saja setelah menikah bertahun-tahun, kau tahulah, dan ada anak-anak, dan capek, yah, mau tak mau kami saling mengerem. Masih enak, tapi kau seperti sekadar menjalankan kewajiban, bukan? Yang tidak kusadari adalah bahwa bila satu pasangan bisa saling mengerem, pasangan lain bisa saling mengegas. Wah! Aku tak tahu aku bisa! Aku tak tahu ada yang bisa! Kami secara naluriah seperti tahu keinginan satu sama lain. Aku tak pernah mengalami itu sebelumnya. tolong pahami, bukannya aku ingin terdengar seolah sedang menjelekkan istriku tercinta.
Aku menyangka akan merasa lelah saat bangun tidur, tapi lagi-lagi yang ada justru perasaan sumringah, seperti seusia belanja itu. Apa kejadian itu berlangsung dalam mimpiku? Tidak: dua helai rambut merah panjang di bantalku menegaskan bahwa kejadian itu nyata. Warna rambut itu juga membuktikan bahwa pengunjungku jelas bukan Brigitta.
“Tidurmu nyenyak?” tanya Brigitta sambil tersenyum simpul saat mengantarkan sarapanku.
“Seharian kemarin menyenangkan sekali,” jawabku, mungkin sedikit menepuk dada, karena aku agak menduga bahwa dia sudah tahu. “Kecuali,” tambahku cepat-cepat, “ketika mendengar tentang kondisi jantungmu. Aku betul-betul prihatin.”
“Oh, aku akan baik-baik saja,” katanya. “Mesinnya masih kuat untuk beberapa ribu tahun lagi.”
Kami pergi belanja (aku belum sebegitu malasnya hingga ingin belanja dari rumah), aku membaca koran, makan siang, main golf, berusaha mengejar ketinggalan bacaan dibantu salah satu video Dickens, menambah daging ikan sturgeon dan kentang goreng, memadamkan lampu, dan tak lama kemudian, bersetubuh. Cara yang bagus untuk menghabiskan hari, nyaris sempurna, begitu kesanku, dan aku main golf dengan skor 67 lagi. Kalau saja bolaku tidak kesasar ke pepohonan dogwood pada pukuan kedelapan belas–kupikir aku terlalu bernafsu–aku bisa saja mencetak skor 66, atau bahkan 65, di kartuku.
Dan hidup terus berjalan, seperti kata pepatah. Selama berbulan-bulan, tentunya–mungkin lebih lama; setelah beberapa lama, kau berhenti melihat tanggal di koran. Kusadari bahwa tidak bersetubuh dengan Brigitta adalah keputusan yang tepat. Kami menjadi sahabat baik.
“Apa yang terjadi,” tanyaku kepadanya suatu hari, “kalau istriku datang?” Istriku tercinta, harus kujelaskan, tidak bersamaku kala itu.
“Kupikir kau mungkin mengkhawatirkan itu.”
“Oh, aku tidak mengkhawatirkan itu,” kataku, merujuk kepada pengunjung malamku, karena segala sesuatunya, kukira, agak seperti pebisnis yang sedang melakukan perjalanan ke luar negeri, bukan? “Maksudku, pada umumnya.”
“Tidak ada pada umumnya. Itu tergantung padamu. Dan dia.”
“Apa dia akan keberatan?” tanyaku, kali ini merujuk lebih khusus kepada pengunjungku.
“Apa dia akan tahu?”
“Kupikir akan jadi masalah,” kataku, kembali berbicara secara umum.
“Di tempat ini masalah diselesaikan,” jawabnya.
“Baiklah kalau kau bilang begitu.” Aku mulai yakin bahwa mungkin semuanya berlangsung seperti yang kuharapkan.
Misalnya, aku selalu memimpikan ini. Yah, maksudku bukan mimpi sungguhan, tapi sesuatu yang teramat kuinginkan. Mimpi dihakimi. Tidak, kedengarannya tidak tepat, kok sepertinya aku ingin dipancung atau dicambuk atau apalah. Bukan seperti itu. Tidak, aku ingin dihakimi, mengerti? Itulah yang kita semua inginkan, bukan? Aku ingin, oh, semacam perhitungan akhir, aku ingin hidupku ditinjau. Kita tidak mendapatkan itu, kecuali kita berdiri di depan sidang pengadilan atau pergi ke psikiater, dan keduanya belum pernah kualami. Tapi aku tidak terlalu kecewa, mengingat aku bukan penjahat atau orang gila. Tidak, aku orang normal dan aku hanya ingin apa yang diinginkan oleh begitu banyak orang normal. Aku ingin hidupu ditinjau. Mengerti?
Suatu hari ak mulai menjelaskan hal tersebut kepada sahabatku Brigitta, meski aku tidak yakin dapat menjelaskannya dengan lebih baik daripada yang telah kujelaskan di atas, tapi dia segera paham. Dia bilang itu permintaan yang sangat lumrah dan takkan sulit dipenuhi. Maka beberapa hari kemudian kujalani. Kuminta dia menemaniku untuk memberi dukungan moral, dan ia setuju.
Persis seperti dugaanku. Ada gedung tua yang elok dengan pilar-pilar dan taburan kata Latin atau Yunani atau entah apa terukir di puncaknya, serta bujang-bujang berseragam, yang membuatku merasa senang telah bersikeras mengenakan setelan baju baru untuk kesempatan ini. Di dalam gedung ada tangga besar yang terpecah jadi dua dan membentuk lingkaran besar dari arah berlawanan dan ujungnya bertemu di puncak. Pualam di mana-mana, benda-benda kuningan yang mengilap, dan bentangan-bentangan besar kayu mahoni yang kautahu takkan pernah digerogoti ulat kayu.
Bukan ruangan yang besar sekali, tapi tak apa. Yang lebih penting, ruangan itu punya semacam wibawa, resmi tapi tidak terlalu menekan. Nyaris terasa nyaman, dengan potongan-potongan beludru tua yang tampak agak kumuh, kecuali bahwa hal-hal serius terjadi di sini. Dan ada seorang pria tua yang ramah, yang menghakimiku. Hampir seperti ayahku–tidak, lebih seperti seorang paman, kukira. Sorot mata yang bersahabat, menatap wajahmu; dan kau bisa tahu dia bukan orang yang tidak masuk akal. Dia sudah membaca semua berkasku, katanya. Dan di sanalah, dekat sikunya, sejarah hidupku, segala yang pernah aku lakukan dan pikirkan dan katakan dan rasakan, segenap-seluruh hidupku, yang baik dan yang buruk. Berkasnya setumpuk, seperti bisa kaubayangkan. Aku tak yakin diperkenankan menyapa dia, tapi toh kulakukan juga. Kubilang Anda pembaca yang cepat dan tak pernah keliru. Dia bilang sudah kenyang latihan dan kami tertawa-tawa. Lalu ia melirik sekilas arlojinya–tidak, ia melakukannya dengan sangat sopan–dan bertanya apakah aku ingin mendengar keputusan tentang kasusku. Tahu-tahu aku meluruskan bahu dan mengepalkan tangan di samping badan dengan jempol menempel keliman celana panjangku. Lalu aku mengangguk dan berkata, “Siap, Pak,” dan merasa agak gugup, terus terang saja.
Dia bilang aku baik-baik saja. Tidak, aku tidak bercanda, itulah persisnya yang dia katakan: “Kau baik-baik saja.” Aku agak menunggu kelanjutan ucapannya, tapi dia menurunkan pandangannya dan aku dapat melihat tangannya bergerak ke dokumen paling atas di berkas lain. Lalu dia mendongak, memberikan seulas senyum dan berkata, “Tidak, sungguh, kau baik-baik saja.” Aku mengangguk lagi, dan kali ini dia benar-benar akan kembali ke pekerjaannya, jadi aku berbalik dan pergi. Ketika kami sudah di luar gedung, aku mengaku kepada Brigitta bahwa aku sedikit kecewa, dan dia bilang kebanyakan orang juga begitu tapi jangan menganggap itu sebagai refleksi sembarangan tentang diriku, jadi aku tidak menganggapnya demikian.
Pada sekitar masa inilah aku suka bertemu orang terkenal. Awalnya aku agak malu-malu dan hanya minta bertemu bintang film dan olahragawan pujaanku. Aku bertemu Steve McQueen, misalnya, dan Judy Garland; John Wayne, Maureen O’Sullivan, Humphrey Bogart, Gene Tierney (aku selalu tergetar kepada Gene Tierney) dan Bing Crosby. Aku bertemu Duncan Edwards dan seluruh pemain Manchester United korban kecelakaan pesawat udara di Munich. Aku bertemu sejumlah pemain Leicester City masa awal, yang sebagian besar namanya mungkin tidak kaukenal.
Beberapa lama kemudian, kusadari aku bisa bertemu siapapun yang kumau. Aku bertemu John F. Kennedy dan Charlie Chaplin, Marilyn Monroe, Presiden Eisenhower, Paus Yohanes XVIII, Winston Churchill, Rommel, Stalin, Mao Zedong, Roosevelt, Jenderal de Gaulle, Lindbergh, Shakespeare, Buddy Holly, Patsy Cline, Karl Marx, John Lennon, dan Ratu Victoria. Sebagian besar dari mereka sangat ramah dan, secara keseluruhan, bersikap biasa saja, samasekali tidak berlagak atau angkuh. Mereka benar-benar seperti orang nyata. Aku minta bertemu Yesus Kristus, tapi mereka bilang tidak yakin dapat mengabulkannya jadi aku tidak memaksa. Aku bertemu Nuh, tapi ada sedikit masalah bahasa, seperti yang bisa diduga. Terhadap beberapa orang, aku cuma ingin melihat mereka. Hitler, misalnya, aku tak ingin menjabat tangannya, tapi mereka mengatur supaya aku bisa bersembunyi di balik semak ketika ia lewat dalam seragamnya yang menyebalkan dan sangat mencolok.
Coba tebak apa yang terjadi selanjutnya? Aku mulai khawatir. Aku mengkhawatirkan hal-hal paling konyol. Kesehatanku, misalnya. Tidakkah itu gila? Mungkin ada hubungannya dengan ucapan Brigitta tentang kondisi jantungnya, tapi aku tiba-tiba mulai membayangkan diriku tidak beres. Siapa yang harus bertanggung jawab? Aku jadi pilih-pilih makanan dan sadar-diet; aku membeli mesin dayung dan sepeda statis, aku latihan angkat beban; aku berhenti mengonsumsi garam dan gula, lemak binatang dan kue krim; aku bahkan memangkas porsi biskuit Fifty-Fiftiesku menjadi setengah bungkus per hari. Aku juga mulai resah terhadap rambutku, kendaraan supermarketku (apakah troli itu aman?), performa seksualku, dan rekening bankku. Kenapa aku mengkhawatirkan rekening bankku kalau bank pun aku tak punya? Aku membayangkan kartuku tak bisa dipakai di supermarket, aku merasa bersalah melihat jumlah kredit yang sepertinya kudapat. Apa yang telah kulakukan sehingga berhak mendapatkannya?
Di sebagian besar waktuku, tentu saja, aku baik-baik saja, baik dalam hal belanja, golf, seks, dan bertemu orang terkenal. Tapi sering aku berpikir, bagaimana jika aku tidak dapat menyelesaikan permainan golf 18 lubang? Bagaimana jika aku benar-benar tak mampu membeli biskuit Fifty-Fiftiesku? Akhirnya kuungkapkan pikiran-pikiran ini kepada Brigitta. Ia pikir sudah saatnya aku berpindah tangan. Tugas Brigitta sudah selesai, demikian dia isyaratkan. Aku merasa sedih, dan bertanya apakah boleh membelikannya sesuatu sebagai rasa terimakasihku. Ia bilang sudah punya semua yang ia perlukan. Aku coba menulis puisi, karena Brigitta berima dengan gita, tapi aku hanya menemukan pita dan pinta, jadi aku agak menyerah, toh kupikir dia mungkin sudah pernah mendapat puisi seperti itu.
Margaret yang mengurusku kemudian. Ia tampak lebih serius ketimbang Brigitta, dengan seragam yang rapi dan tak sehelai rambut pun melenceng–jenis orang yang jadi finalis kompetisi Wanita Pengusaha Tahun Ini. Aku sedikit takut kepadanya–jelas tak dapat kubayangkan diriku mengajaknya bersetubuh seperti dengan Brigitta–dan aku setengah menduga dia akan keberatan dengan gaya hidupku selama ini. Tapi dia tak keberatan, tentu saja. Tidak, dia cuma bilang bahwa dia perkirakan aku sekarang sudah akrab dengan semua pelayanan dan dia siap membantu jika aku membutuhkan lebih daripada sekadar bantuan praktis.
“Coba katakan,” pintaku kepadanya pada pertemuan pertaa kami. “Konyol, ‘kan, kalau aku mengkhawatirkan kesehatanku? “
“Memang tidak perlu?”
“Dan juga konyol ‘kan, kalau aku mengkhawatirkan duit?”
“Memang tidak perlu.”
Sesuatu dalam nada suaranya menyiratkan bahwa kalau aku cermat aku mungkin dapat menemukan hal-hal yang layak dikhawatirkan; aku tidak berusaha menemukan itu. Aku punya banyak waktu. Aku takkan pernah kekurangan waktu.
Nah, aku mungkin bukan pemikir ulung di dunia ini, dan di kehidupanku yang dulu aku cenderung menjalani saja apa yang harus kulakukan, atau ingin kulakukan, dan tidak terlalu memikirkannya. Itu normal, bukan? Tapi begitu orang punya banak waktu, mereka mulai berpikir dan menanyakan persoalan-persoalan besar. Misalnya, siapa sebenarnya yang mengelola tempat ini dan kenapa aku jarang sekali melihat mereka? Kuperkirakan ada semacam ujian masuk atau mungkin penilaian yang berkelanjutan; tapi terlepas dari secuil penghakiman yang terusterang agak mengecewakan oleh pak tua aneh yang mengatakan aku baik-baik saja, aku tidak pernah direcoki. Mereka membiarkanku minggat tiap hari dan meningkatkan kemampuan golfku. Apa aku diperbolehkan menikmati segalanya begitu saja? Apakah mereka mengharapkan sesuatu dariku?
Lalu ada urusan Hitler ini. Kau menunggu di balik semak dan ia lewat, sosok gempal berseragam jelek dengan senyum palsu di wajah. Lumayanlah, aku sudah melihat dia, dan rasa penasaranku terpuaskan, tapi, yah, harus kutanyakan kepada diriku sendiri, memangnya apa yang dia lakukan di sini? Apa dia memesan sarapan seperti semua orang lain? Aku sudah mengamati bawa dia diperkenankan mengenakan pakaiannya sendiri. Apakah ini berarti dia juga boleh main golf dan bersetubuh jika ingin? Bagaimana cara kerja tempat ini?
Lalu ada aku yang mengkhawatirkan kesehatanku dan duit dan kendaraan supermarket. Aku tidak lagi mengkhawatirkan hal-hal itu sendiri, tapi mengkhawatirkan fakta bahwa aku khawatir. Apa arti semua ini? Apa ini lebih daripada penyesuaian rutin seperti yang dikemukakan Brigitta?
Kupikir golflah yang akhrinya membuatku berpaling kepada Margaret untuk mencari penjelasan. Tak diragukan lagi, berbulan-bulan dan bertahun-tahun kumainkan permainan indah yang penuh trik dan godaan itu (betapa sering aku mencemplungkan bola ke air saat permainan hampir selesai), permainanku mengalami kemajuan tanpa akhir. Seperti yang kukatakan pada Severiano, kacung golf langgananku: “Permainanku mengalami kemajuan tanpa akhir”. Dia setuju, dan baru belakangan, antara makan malam dan seks, aku mulai merenungkan ucapanku. Aku membuka permainan dengan skor 67 dan berangsur-angsur skorku menurun. Beberapa waktu lalau aku mencapai skor biasa 59, dan sekarang, di bawah langit tak berawan, aku merambat turun ke angka 50-an. Aku dapat memukul sejauh 320 meter tanpa masalah, ayunan pukulanku berubah, pukulan pelanku menggelindingkan bola ke dalam lubang bagai ditarik magnet. Aku dapat melihat skor targetku turun menembus 40-an, lalu–ini momen psikologis yang paling menentukan–menembus rintangan 36, artinya rata-rata dua pukulan per lubang, lalu terus turun ke 20-an. Permainanku mengalami kemajuan tanpa akhir, kupikir, dan kuulang kata tanpa akhir untuk diriku sendiri. Tapi itulah persisnya, tentu, yang tidak mungkin terjadi: kemajuan permainanku harus ada akhirnya. Suatu hari aku akan menyelesaikan permainan golf dengan 18 pukulan, aku akan mentraktir Severiano beberapa gelas minuman, kemudian merayakannya dengan makan daging ikan sturgeon dan kentang goreng dan main seks–lalu apa? Apa ada, bahkan di tempat ini, yang pernah menyelesaikan permainan golf dengan 17 pukulan?
Margaret tidak menjawab panggilan bel tarik jumbai seperti si pirang Brigitta; justru kau harus memohon wawancara lewat videopon.
“Aku mengkhawatirkan permainan golfku,” kataku memulai.
“Itu bukan bidang saya.”
“Bukan. Begini, ketika aku baru main, skorku 67. Sekarang turun sampai ke level rendah 50-an.”
“Kedengarannya buka masalah.”
“Dan permainanku terus bertambah baik saja.”
“Selamat.”
“Dan suatu hari nanti aku akhirnya akan menyelesaikan permainan dengan 18 pukulan.”
“Ambisimu terpuji.” Dia kedengarannya seperti meledek aku.
“Tapi setelah itu, apa yang akan kulakukan?”
Ia berhenti sejenak. “Terus berusaha menyelesaikan permainan dengan 18 pukulan?”
“Tidak bisa begitu.”
“Kenapa tidak?”
“Tidak saja.”
“Saya yakin ada banyak arena…”
“Masalahnya sama,” kataku, memotong ucapannya, sedikit kasar, kupikir.
“Yah, kau bisa pindah ke cabang olahraga lain, bukan? Lalu kembali ke golf kalau sudah bosan?”
“Tapi masalahnya sama saja. Aku akan menyelesaikan permainan dengan 18 pukulan. Golf akan habis.”
“Banyak cabang olahraga lain.”
“Akan habis juga.”
“Tiap pagi kau sarapan apa?” Aku yakin sebenarnya dia sudah tahu jawabannya dari caranya mengangguk ketika kusebut sarapanku. “Begini. Kau sarapan tiap pagi. Kau tidak bosan sarapan.”
“Tidak.”
“Nah, bayangkan golf seperti sarapan. Mungkin takkan pernah bosan menyelesaikan permainan dengan 18 pukulan.”
“Mungkin,” kataku ragu. “Kedengarannya kau tidak pernah main golf. Lagi pula, ada hal lain.”
“Apa?”
“Capek. Kau tidak pernah capek di sini.”
“Itu keluhan?”
“Aku tidak tahu.”
“Capek bisa dibikin.”
“Tentu,” jawabku. “Tapi taruhan, capeknya akan menyenangkan. Bukan capek yang membuatmu gempor dan ingin mati saja.”
“Tidakkah kau pikir kau ini nyeleneh?” tukasnya, nyaris tak sabar. “Maumu apa? Apa yang kauharapkan?”
Aku mengangguk kepada diriku sendiri dan percakapan itu kami akhiri. Hidupku berlanjut. Inilah frasa lain yang membuatku agak meringis. Hidupku berlanjut, permainan golfku mengalami kemajuan tanpa akhir. Kulakukan segala macam:
- aku pergi pelesir dengan kapal pesiar;
- aku belajar naik kano, naik gunung, naik balon;
- aku terjun ke segala macam bahaya dan lolos;
- aku menjelajah hutan;
- aku nonton sidang pengadilan (tidak setuju keputusan hakim);
- aku coba jadi peluki (tidak seburuk yang kusangka!) dan dokter ahli bedah;
- aku jatuh cinta, tentu, berkali-kali;
- aku berpura-pura menjadi manusia terakhir di bumi (dan manusia pertama)
Tidak satu pun dari kegiatan tersebut membuatku berhenti melakukan apa yang selalu kulakukan sejak aku tiba di sini. Aku bersetubuh dengan makin banyak wanita, kadang serempak; aku menyantap makanan yang makin langka dan makin aneh; aku bertemu orang-orang terkenal sampai ke ujung ingatanku. Misalnya, aku bertemu semua pemain sepakbola yang pernah ada. Kumulai dari pemain terkenal, lalu pemain yang kukagumi tapi tidak terlalu terkenal, lalu pemain yang biasa-biasa saja, lalu pemain yang namanya kuingat tanpa ingat bagaimana tampangnya atau mainnya seperti apa; akhirnya aku minta bertemu pemain yang belum pernah kutemui, para pemain yang jorok, membosankan, kasar, yang samasekali tak kukagumi. Aku tidak menikmati bertemu mereka–mereka jorok, membosankan dan kasar di dalam dan di luar lapangan–tapi aku tidak ingin kehabisan pemain sepakbola. Lalu aku kehabisan pemain sepakbola. Aku minta bertemu Margaret lagi.
“Aku sudah bertemu semua pemain sepakbola,” kataku.
“Saya menyesal tidak tahu banyak tentang sepakbola.”
“Dan aku tak punya mimpi,” tambahku, dengan nada mengeluh.
“Untuk apa mimpi,” jawabnya. “Apa gunanya?”
Aku merasakan ia seperti sedang mengujiku, ingin melihat seberap seriusnya aku. Apa itu semua berarti lebih daripada sekadar masalah penyesuaian?
“Kupikir aku berhak mendapat penjelasan,” kataku memaklumkan–agak congkak, harus kuakui.
“Tanyakan apapun yang kauinginkan.” Ia menyandar di kursi kantornya.
“Begini, aku ingin meluruskan segala sesuatunya.”
“Ambisi yang terpuji.” Dia bicara dengan gaya sedikit berkelas.
Kupikir lebih baik kumulai dari awal. “Begini, ini Surga, bukan?”
“Ya, benar.”
“Yah, bagaimana dengan hari Minggu?”
“Saya tidak mengerti.”
“Setiap hari Minggu,” kataku, “sejauh yang kutahu, karena aku tidak lagi rajin menghitung hari, aku main golf, pergi belanja, makan malam, bersetubuh, dan tidak merasa murung.”
“Bukankah itu… sempurna?”
“Aku tak ingin terdengar tidak bersyukur,” kataku waspada, “tapi di mana Tuhan?”
“Tuhan. Kau ingin Tuhan? Itukah yang kauinginkan?”
“Jadi masalahnya adalah apa yang kuinginkan?”
“Memang itu masalahnya. Kau ingin Tuhan?”
“Kupikir tidak begitu. Kukira Tuhan pasti ada atau tidak ada. Aku akhirnya akan tahu mana yang benar. Aku samasekali tidak mengira itu tergantung padaku.”
“Tentu saja tergantung padamu.”
“Oh.”
“Surga demokratis akhir-akhir ini,” katanya. Lalu menambahkan, “Atau paling tidak, begitulah jika kau ingin begitu.”
“Apa maksudmu, demokratis?”
“Kami tidak memaksakan Surga kepada orang-orang lagi,” katanya. “Kami mendengar kebutuhan mereka. Kalau mereka ingin, mereka bisa mendapatkannya; kalau tidak, ya tidak. Lalu tentu mereka dapatkan jenis Surga seperti yang diinginkan.”
“Dan jenis surga yang bagaimana yang mereka inginkan secara keseluruhan?”
“Yah, mereka ingin kelanjutan hidup, itulah yang kami lihat. Tapi… kehidupan yang lebih baik, tentunya.”
“Seks, golf, belanja, makan malam, bertemu orang terkenal dan tidak merasa murung?” tanyaku, sedikit defensif.
“Macam-macam. Tapi kalau saya boleh jujur, menurut saya, macamnya tidak terlalu banyak.”
“Tidak seperti tempo dulu.”
“Ah, tempo dulu.” Ia tersenyum. “Itu sebelum masa saya, tentu saja, tapi ya, dulu mimpi tentang Surga jauh lebih ambisius.”
“Dan Neraka?” tanyaku.
“Kenapa?”
“Apakah ada Neraka?”
“Oh, tidak ada,” jawabnya. “Itu hanya propaganda yang perlu.”
“Aku agak bingung, tahu. Karena aku bertemu Hitler.”
“Banyak orang bertemu dia. Dia semacam… obyek wisata, sebetulnya. Apa kesanmu tentang dia?”
“Oh, aku tidak berjumpa dengannya,” kataku tegas. “Dia orang yang takkan kusalami. Aku mengamatinya berjalan lewat dari balik semak.”
“Ah, ya. Banyak orang lebih suka melakukannya denga cara itu.”
“Jadi kupikir, kalau dia ada di sini, tidak mungkin ada Neraka.”
“Jalan pikiran yang masuk akal.”
“Ingin tahu saja,” kataku, “apa yan gdia lakukan sepanjang hari?” Aku membayangkan dia pergi ke Olimpiade Berlin 1936 tiap sore, menonton Jerman menang terus sementara Jesse Owens jatuh, lalu pulang untuk makan sauerkraut, mendengarkan Wagner dan bersenang-senang dengan perempuan pirang montok berdarah murni Arya.
“Maaf, kami menghormati kerahasiaan individu.”
“Tentu.” Itu benar. Kalau dipikir-pikir, aku tak ingin semua orang tahu apa yang kukerjakan.
“Jadi tidak ada Neraka?”
“Yah, ada yang kami sebut Neraka. Tapi lebih mirip taman hiburan. Kau tahulah, ada jerangkong yang tiba-tiba nongol dan menakut-nakutimu, cabang-cabang pohon di wajahmu, bom bau, semacam itulah. Cuma untuk menakut-nakuti.”
“Menakut-nakuti,” ujarku, “Kebalikan dari takut betulan?”
“Tepat. Kami lihat itulah yang diinginkan semua orang pada masa sekarang.”
“Kau tahu tentang Surga tempo dulu?”
“Apa, Surga Lama? Ya, kami tahu Surga Lama. Ada dalam catatan.”
“Apa yang terjadi dengan tempat itu?”
“Yah, ditutup, atau semacam itulah. Orang tidak menginginkannya lagi. Orang tidak butuh lagi.”
“Tapi aku kenal beberapa orang yang pergi ke gereja, bayi mereka dibaptis, dan mereka tidak pernah memaki. Bagaimana dengan mereka?”
“Oh, kami juga punya orang-orang seperti itu,” katanya. “Untuk mereka telah disediakan hiburan. Mereka berdoa dan bersyukur seperti kau main golf dan bersetubuh. Mereka kelihatannya senang-senang saja, karena mendapatkan yang diinginkan. Kami telah membangun beberapa gereja yang sangat indah untuk mereka.”
“Apa Tuhan ada bagi mereka?” tanyaku.
“Oh, tentu.”
“Tapi tidak bagiku?”
“Sepertinya tidak. Kecuali kau ingin mengubah kriteriamu tentang Surga. Saya sendiri tak bisa mengurusnya. Tapi saya bisa antarkan kamu ke orang yang bisa mengurusnya.”
“Untuk sementara ini mungkin sudah cukup banyak yang bisa kupikirkan.”
“Baiklah. Nah, sampai nanti.”
Aku tak nyenyak tidur malam itu. Pikiranku tidak tertuju kepada seks, walaupun mereka semua melakukan yang terbaik. Apa karena salah cerna? Apa aku kebanyakan makan ikan? Begitulah, aku mengkhawatirkan kesehatanku lagi.
Keesokan paginya aku dapat skor 67 dalam permainan golf. Severiano kacung golfku bereaksi seolah itu permainan terbaikku yang pernah dia lihat, seolah dia tidak tahu aku bisa bermain dengan 20 pukulan lebih baik. Setelah itu aku minta ditunjukan suatu tempat, dan meluncur ke satu-satunya tempat yang terlihat dalam cuaca buruk. Seperti dugaanku, Neraka sangat mengecewakan: taufan badai di tempat parkir mungkin adegan terbaik. Ada aktor-aktor pengangguran yang menyodoki sesama aktor pengangguran dengan garpu panjang, mendorong mereka ke kuali-kuali berlabel “Minyak Mendidih”. Binatang-binatang bohongan berparuh plastik tempelan mematuki mayat-mayat dari karet busa. Kulihat Hitler naik Kereta Hantu sambil merangkul perempuan berambut ekor kuda. Ada kelelawar-kelelawar dan tutup peti mayat yang berderit-derit dan bau lantai kayu yang membusuk. Itukah yang diinginkan orang?
“Ceritakan tentang Surga Lama,” kataku kepada Margaret pada pekan berikutnya.
“Sangat mirip dengan yang kau bayangkan. Maksud saya, itulah prinsip Surga, bahwa kau mendapatkan apa yang kauinginkan, yang kauharapkan. Saya tahu sebagian orang membayangkannya berbeda, bahwa kau mendapatkan apa yang pantas kau dapatkan, tapi sebenarnya tidak begitu. Kami harus menyadarkan mereka.”
“Apa mereka kesal?”
“Kebanyakan tidak. Orang lebih senang mendapatkan apa yang mereka inginkan daripada apa yang pantas mereka dapatkan. Walaupun sebagian dari mereka agak kesal karena orang lain tidak cukup disiksa. Sepertinya mereka berpikir bahwa sebagian kenikmatan Surga adalah melihat orang lain masuk Neraka. Tidak terlalu Kristiani.”
“Dan apakah mereka… arwah? Apa semua itu kehidupan ruh dan seterusnya?”
“Ya memang. Itulah yang mereka inginkan. Atau setidaknya, begitulah pada zaman-zaman tertentu. Ada banyak pasang-surut selama berabad-abad mengenai pemisahan tubuh dan ruh. Saat ini, misalnya, yang sangat ditekankan adalah mempertahankan tubuh dan kepribadianmu sendiri. Ini mungkin hanya fase saja, seperti fase lainnya.”
“Mengapa kau tersenyum?” tanyaku. Aku agak terkejut. Kupikir Margaret ada di sini untuk memberi informasi saja, seperti Brigitta. Tapi dia jelas punya pendapat sendiri, dan tidak keberatan mengungkapkannya.
“Hanya karena kadang sepertinya aneh betapa gigih orang ingin tetap bertahan di tubuh sendiri. Tentu saja, kadang mereka minta dilakukan pembedahan kecil. Tapi itu kesannya seperti, katakanlah, hidung yang beda atau lesung pipit atau segenggam silikon sajalah yang memisahkan mereka dari gagasan mereka tentang kesempurnaan diri.”
“Apa yang terjadi dengan Surga Lama?”
“Oh, Surga Lama bertahan beberapa waktu, setelah dibangun Surga baru. Tapi peminatnya makin sedikit. Orang lebih tertarik kepada Surga yang baru. Itu samasekali tidak mengejutkan. Kami sudah menduganya.”
“Apa yang terjadi dengan warga Surga Lama?”
Margaret mengangkat bahu, agak puas, bagaikan perencana perusahaan yang prediksinya terbukti sampai ke bilangan desimal terkecil. “Mereka mati satu persatu.”
“Begitu saja? Maksudmu, kalian menutup Surga mereka dan mereka mati?”
“Tidak, samasekali tidak, justru sebaliknya. Bukan begitu. Secara konstitusional, Surga Lama tetap ada selama warga Surga Lama menginginkannya.”
“Apa ada warga Surga Lama yang masih hidup?”
“Kukira masih tersisa beberapa.”
“Boleh kukunjungi?”
Sayangnya mereka tidak menerima kunjungan. Dulu mereka menerima kunjungan. Tapi warga Surga Baru cenderung bersikap seperti nonton pertunjukan orang aneh, terus menuding-nuding dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan konyol. Jadi warga Surga Lama tak mau bertemu mereka lagi. Mereka tidak lagi berbicara kecuali dengan sesama warga Surga Lama. Lalu mereka mulai mati. Sekarang tak banyak yang tersisa. Mereka kami tandai, tentu.”
“Apa mereka arwah?”
“Beberapa ya, beberapa tidak. Tergantung sektenya. Tentu saja mereka yang arwah tidak sulit menghindari warga Surga Baru.”
Yah, masuk akal. Sesungguhnya, semua masuk akal kecuali satu hal pokok. “Dan apa maksudmu, lainnya mati?”
“Setiap orang boleh mati kalau ingin.”
“Aku tak pernah tahu itu.”
“Tidak. Ada beberapa kejutan menanti di sini. Apa kau benar-benar ingin bisa memprediksi semuanya?”
“Dan bagaimana mereka mati? Apa mereka bunuh diri? Apa kaubunuh mereka?”
Margaret tampak sedikit kaget pada kevulgaran pendapatku.
“Ya ampun, tidak. Seperti saya katakan, surga sekarang demokratis. Kalau kau ingin mati, ya mati. Kau tinggal menginginkannya dalam waktu cukup lama, lalu terjadilah. Kematian bukan sesuatu yang celaka atau keniscayaan yang muram, seperti ketika mati pertama kali. Kami sudah membereskan masalah kehendak bebas di sini, seperti yang bisa kaulihat.”
Aku tidak yakin dapat memahami semua ini. Aku harus pergi dan memikirkannya. “Katakan,” kataku, “masalah yang kualami dengan golf dan kekhawatiran. Apa orang lain bereaksi seperti itu?”
“Oh ya. Kami sering dimintai orang untuk membuat cuaca buruk, misalnya, atau membikin sesuatu jadi kacau. Mereka rindu beberapa hal menjadi kacau. Beberapa dari mereka minta rasa sakit.”
“Rasa sakit?”
“Tentu. Yah, tempo hari kau mengeluh bahwa kau tidak merasa lelah sampai-sampai–seingatku kaubilang–ingin mati saja. Kupikir itu frasa yang menarik. Orang minta rasa sakit, itu tidak terlalu istimewa. Kami juga mendapat permintaan operasi dari mereka. Maksud saya, bukan saja operasi kosmetik, tapi operasi betulan.”
“Apa mereka mendapatkannya?”
“Hanya jika mereka benar-benar ngotot. Kami berusaha menyampaikan bahwa keinginan operasi sebenarnya pertanda ada masalah lain. Biasanya mereka sependapat dengan kami.”
“Dan berapa persen orang yang memilih mati?”
Ia memandangku lurus, dan pandangannya memberitahuku agar aku jangan panik. “Oh, seratus persen, tentu saja. Selama ribuan tahun, bila waktu dihitung dengan cara lama, tentunya. Tapi ya, semua orang memilih mati, cepat atau lambat.”
“Jadi seperti kematian yang pertama kali? Kau akhirnya pasti mati?”
“Ya, tapi jangan lupa bahwa kualitas hidup di sini jauh lebih baik. Orang-orang akan mati ketika mereka memutuskan sudah cukup mendapatkan keinginan mereka, bukan sebelumnya. Kematian yang kedua kali ini sekaligus lebih memuaskan karena memang dikehendaki.” Ia berhenti, lalu menambahkan, “Seperti yang saya bilang, kami memenuhi keinginan orang.”
Aku tidak menyalahkan dia. Aku bukan jenis orang seperti itu. Aku hanya ingin mengetahui bagaimana sistemnya bekerja. “Jadi… bahkan orang-orang, orang-orang religius, yang datang ke sini untuk memuja Tuhan selamanya… mereka akhirnya menyerah setelah bertahun-tahun, ratusan tahun, ribuan tahun?”
“Tentu. Seperti saya katakan, masih ada segelintir warga Surga Lama, tapi jumlah mereka terus berkurang.”
“Dan siapa yang paling cepat minta mati?”
“Saya pikir minta adalah kata yang salah. Kematian adalah sesuatu yang diinginkan. Tidak ada kesalahan di sini. Kalau kau cukup kuat menginginkan mati, kau mati, itulah prinsip yang berlaku di sini.”
“Jadi?”
“Begitulah. Yah, saya khawatir–untuk menjawab pertanyaanmu–bahwa yang ingin cepat mati adalah orang sepertimu. Orng yang menginginkan keabadian seks, bir, narkoba, balap mobil–hal-hal semacam itu. Awalnya mereka tidak dapat mempercayai nasib baik mereka, lalu beberap ratus tahun kemudian, mereka tidak dapat mempercayai nasib buruk mereka. Jenis orang seperti itulah mereka, mereka menyadari. Mereka terjebak menjadi diri sendiri. Mereka cenderung paling cepat mati.”
“Aku tak pernah memakai narkoba,” kataku tegas. Aku agak jengkel. “Dan aku cuma punya tujuh mobil. Itu bukan jumlah yang terlalu banyak di sini. Dan aku bahkan tidak ngebut.”
“Tidak, tentu tidak. Saya hanya berpikir dalam kategori umum kepuasan, tentu kau mengerti.”
“Dan siapa yang hidup paling lama?”
“Ya, sejumlah warga Surga Lama adalah pelanggan yang cukup ulet. Sembahyang membuat mereka bertahan dari masa ke masa. Dewasa ini… pengacara bertahan sangat lama. Mereka senang sekali meninjau kasus-kasus lama mereka, lalu meninjau kasus semua orang lain. Itu dapat memakan waktu selamanya. Ibaratnya,” tambahnya cepat. “Dan cendekiawan, mereka cenderung bertahan hidup selama yang bisa diharapkan. Mereka suka duduk membaca semua buku. Dan kemudian senang sekali memperdebatkan buku-buku itu. Beberapa perdebatan itu”–ia memandang ke langit–“berlangsung bermilenium-milenium. Memperdebatkan buku sepertinya bikin mereka awet muda, entah mengapa.”
“Bagaiman dengan orang yang menulis buku?”
“Oh, mereka tidak bertahan separuh saja dari panjangnya hidup orang-orang yang memperdebatkan buku. Begitu pula dengan pelukis dan komponis. Mereka sepertinya tahu jika telah menghasilkan karya terbaik, kemudian mereka seperti berangsur sirna.”
Kupikir mestinya aku merasa tertekan, tapi ternyata tidak. “Tidakkah aku mestinya merasa tertekan?”
“Tentu saja tidak. Kau berada di sini untuk bersenang-senang. Kaudapatkan semua keinginanmu.”
“Ya, kukira demikian. Mungkin aku belum terbiasa dengan ide bahwa suatu saat aku pasti ingin mati.”
“Sabarlah,” katanya, cepat tapi bersahabat. “Tunggu saja.”
“Omong-omong, satu pertanyaan terakhir,”–kulihat dia memain-mainkan pensil-pensilnya, membariskannya–“Siapa sebenarnya kalian?”
“Kami? Oh, kami benar-benar sepertimu. Kami mungkin kamu, sesungguhnya. Mungkin kami ialah kamu.”
“Aku akan datang kembali, kalau boleh,” kataku.
Selama berabad-abad berikutnya–mungkin lebih lama, aku berhenti menghitung waktu dengan cara lama–aku menggeluti permainan golfku secara serius. Setelah beberapa lama, aku selalu menyelesaikan permainan dengan 18 pukulan, dan ketakjuban kacung golfku menjadi rutin. Aku berhenti main golf dan ganti main tenis. Tak lama kemudian aku mengalahkan semua petenis hebat yang namanya tercatat dengan Tinta Emas, di lapangan granit, tanah liat, rumput, kayu, beton, karpet–permukaan apapun yang mereka pilih. Aku berhenti main tenis. Aku bermain kesebelasan Leicester City dalam pertandingan Final Piala dan menggondol medali juara (gol ketigaku, sundulan kencang dari jarak sebelas meter, menutup pertandingan). Aku menganvaskan Rocky Marciano pada ronde keempat di Madison Square Garden (dan aku sedikit mempermainkannya pada satu-dua ronde terakhir), memecahkan rekor lari maraton hingga 28 menit, memenangi kejuaraan dunia panahan; skor 750 yang kucetak dalam pertandingan bisbol internasional sehari melawan Australia di kota Lords takkan tertandingi sampai lama. Sesudah beberapa lama, medali emas Olympiade mulai terasa seperti recehan. Aku berhenti melakukan pertandingan olahraga.
Aku serius pergi belanja. Aku makan lebih banyak makhluk daripada yang pernah berlayar dengan Bahtera Nuh. Aku minum semua jenis bir di dunia, lalu menjadi semacam ahli minuman anggur dan mencicipi anggur terbaik yang pernah dipanen; semua itu terlalu cepat habis. Aku bertemu berjibun orang terkenal. Aku bersetubuh dengan partner yang makin beragam dan dengan cara makin beragam, tapi yang ada cuma begitu banyak partner dan begitu banyak cara. Jangan salah sangka, lho, aku tidak mengeluh. Kunikmati tiap menitnya. Yang kumaksud hanyalah, aku tahu yang kulakukan saat sedang melakukannya. Aku mencari jalan keluar.
Kucoba menggabungkan kesenangan dan mulai bersetubuh dengan orang-orang terkenal (tidak, aku takkan memberitahumu siapa orangnya–mereka memintaku menghormati privasi mereka). Aku bahkan mulai membaca. Aku ingat yang dikatakan Margaret dan mencoba–oh, selama beberapa abad–memperdebatkan buku dengan orang lain yang sudah membaca buku yang sama. Tapi sepertinya itu kehidupan yang sangat kering, setidaknya dibandingkan kehidupan itu sendiri, dan tidak layak diperpanjang. Aku bahkan mencoba bergabung dengan orang-orang yang bernyanyi dan berdoa di gereja, tapi itu samasekali bukan hobiku. Aku hanya melakukannya karena ingin merambah semua sudut, sebelum aku sampai pada apa yang kutahu akan menjadi pembicaraan terakhirku dengan Margaret. Dia masih tampak seperti beberapa abad sebelumnya saat kami bertemu pertama kali; tapi begitu pula aku.
“Aku punya ide,” kataku. Yah, kau harus menghasilkan sesuatu setelah sedemikian lama, bukan? “Dengar, kalau di Surga kau mendapatkan apa yang kauinginkan, bagaimana jika ingin menjadi seorang yang tak pernah capek dengan keabadian?” Aku duduk menyandar, merasa sedikit angkuh. Aku terkejut bukan main ketika dia mengangguk, hampir seperti memberi semangat.
“Silakan saja,” katanya. “Saya bisa mengusahakan transfer untukmu.”
“Tapi…?” tanyaku, tahu bahwa akan ada tapi.
“Saya bisa mengusahakan transfer untukmu,” ulangnya. “Untuk formalitas saja.”
“Terangkan dulu tentang tapinya.” Aku tak ingin terdengar kasar. Di sisi lain, aku ingin mengetahui risikonya sekarang juga daripada nantinya mendongkol beberapa milenia.
“Orang lain sudah pernah mencobanya,” kata Margaret, dengan nada penuh simpati, seakan dia benar-benar tak ingin melukaiku.
“Dan apa masalahnya? Apa tapinya?”
“Yah, sepertinya ada kesulitan logis. Untuk menjadi orang lain, kau harus berhenti menjadi dirimu sendiri. Tak ada yan gkuat menanggung itu. Begitulah yang kami lihat, ya,” tambahnya, setengah menyiratkan bahwa aku mungkin orang pertama yang memecahkan masalah ini. “Seseorang–seseorang yang menggandrungi olahraga seperti kau, mengatakan bahwa itu mengubah seorang pelari menjadi mesin yang bergerak selamanya. Setelah beberapa lama, kau hanya ingin berlari lagi. Apa itu masuk akal?”
Aku mengangguk. “Dan tiap orang yang telah mencoba itu akhirnya minta ditransfer balik?”
“Ya.”
“Dan setelah itu mereka semua memilih mati?”
“Mereka memilih mati. Dan mati lebih cepat, bukan lebih lambat. Mungkin masih ada beberapa dari mereka yang tersisa. Aku bisa memanggil mereka kalau kau ingin bertanya tentang itu.”
“Aku percaya ucapanmu saja. Kupikir pasti ada cacat dalam ideku.”
“Maaf.”
“Tidak, tolong jangan minta maaf.” Aku jelas tidak dapat mengeluhkan bagaimana aku diperlakukan di sini. Semua orang memperlakukanku dengan baik sejak awal. Aku menarik napas panjang. “Kurasa,” lanjutku, “Surga adalah ide yang sangat bagus, bisa dibilang ide yang sempurna, tapi bukan untuk kami. Tidak cocok dengan kami.”
“Kami tidak suka memengaruhi kesimpulanmu,” katanya. “Tapi saya tentu dapat melihat sudut pandangmu.”
“Jadi untuk apa semua ini? Kenapa kami punya Surga? Kenapa kami punya mimpi-mimpi tentang Surga?” Tampaknya dia tidak ingin menjawab, mungkin dia bersikap profesional; tapi aku mendesaknya. “Ayo, beri aku usul.”
“Mungkin karena kalian butuh mimpi-mimpi itu,” usulnya. “Karena kalian tidak dapat hidup tanpa mimpi itu. Itu bukan hal yang memalukan. Tampak normal saja bagiku. Meski kukira kalau sebelumnya kautahu tentang Surga, mungkin kau takkan memintanya.”
“Oh, aku tak tahu itu.” Semuanya begitu menyenangkan: belanja, golf, seks, bertemu orang terkenal, tidak murung, tidak mati.
“Setelah beberapa lama, selalu mendapatkan apa yang kauinginkan hampir sama dengan tidak pernah mendapatkan apa yang kauinginkan.”
Keesokan harinya, untuk menghormati masa lampau, aku bermain golf. Aku tidak karatan samasekali: delapan belas lubang, delapan belas pukulan. Aku belum kehilangan kemampuanku. Lalu aku sarapan untuk makan siang, dan sarapan untuk makan malam. Aku nonton videoku yang berisi rekaman pertandingan sepakbola ketika Leicester City menang 5-4 dalam Final Piala FA, meski rasanya tak sama lagi, karena aku sudah tahu apa yang terjadi. Aku minum secangkir cokelat panas dengan Brigitta, yang berbaik hati mengunjungiku; belakangan aku bersetubuh, meski dengan satu perempuan saja. Setelah itu aku mendesah dan berguling-guling, karena tahu esok pagi aku mulai menentukan keputusanku.
Aku bermimpi terbangun dari tidur. Mimpi tertua dari segala mimpi, dan aku baru saja mengalaminya.
*
Cerita di bab terakhir A History of the World in 10½ Chapters karya Julian Barnes. Ditulis ulang dari Sejarah Dunia dalam 10 1/2 Bab (Bentang Pustaka) terjemahan Arif Bagus Prasetyo.
Ohh.. ini tulisan yg fans Leicester City itu. Lucu tulisannya. +Keren
Ini pemenang Man Booker juga
Uwalaaa.. pantes mantap.
Suka sama ceritanya soalnya saya juga sering mikir, kalau di surga bisa dapat apa yang kita mau dengan mudah apa nggak bosan ya?