Ketika MSG Mendapat Reputasi Buruk

Seperti banyak orang, saya pikir MSG atau monosodium glutamat atau yang akrab disapa micin, senyawa kimia yang digunakan untuk meningkatkan rasa makanan, tak baik bagi saya, dan saya yakin saya merasa tak enak setiap kali memakan beragam masakan atau penganan yang dibumbuinya.

Yang sebenarnya, MSG bukanlah penyedap buatan yang aneh dan mencurigakan. Komponen ini ditemukan di banyak makanan alami, dan diambil darinya. Sang pencipta MSG mendapatkannya dari gandum dan kedelai secara khusus. Satu-satunya bahaya yang datang dari MSG adalah memakannya terlalu banyak, karena komponen natriumnya. Seperti hal lain, jika berlebihan pasti menjadi tak baik. Namun kenapa MSG sampai punya reputasi buruk ini?

Awal Terciptanya MSG

Sejak ditemukan di awal 1900-an, MSG identik dengan kelezatan. Ketika ditambahkan ke makanan, ia meningkatkan umami, yang telah dianggap sebagai rasa kelima sejak awal tahun 2000-an (selain manis, asam, asin dan pahit) dan secara beragam diterjemahkan dari bahasa Jepang sebagai enak, nikmat, lezat atau gurih.

Umami adalah rasa gurih yang ditemukan dalam berbagai jenis makanan, seperti parmesan dan jamur-jamuran, serta di sebagian besar daging. MSG adalah manifestasi kristalisasinya.

Kikunae Ikeda, seorang ahli kimia Jepang, menemukan senyawa tersebut pada tahun 1907 saat menyelidiki kekhasan yang ia temukan dalam makanan seperti asparagus, tomat, dan kaldu sup yang dibuat istrinya dengan rumput laut. Dia menentukan bahwa glutamat, bentuk ion dari asam glutamat, bertanggung jawab atas umami.

Kikunae Ikeda Monosodium Glutamat
Kikunae Ikeda penemu bumbu dapur Monosodium Glutamat.

Dia kemudian menemukan cara mensintesis molekul dengan mengekstraksi glutamat dari rumput laut dan mencampurkannya dengan air dan garam meja untuk menstabilkan senyawa tersebut. Ikeda mematenkan produk jadi, dan kemudian jadi salah satu kesuksesan komersial terbesar ilmu kuliner Jepang.

Saat ini, bumbu kristal ini, yang sering dibuat dari bit dan jagung, dikenal sebagai MSG, tetapi sering disebut dengan nama yang pertama kali diberikan Ikeda: Aji no Moto, yang berarti penyedap rasa.

Di Barat, bubuk putih halus pertama ini kali dijual dalam botol tipis yang dimaksudkan untuk menarik ibu rumah tangga borjuis di dapur karena menawarkan kebersihan dan modernitas, menurut penelitian oleh Jordan Sand, seorang profesor sejarah Jepang di Universitas Georgetown. Di Tiongkok, itu ditawarkan kepada umat Buddha, yang tak makan daging, sebagai cara vegetarian untuk meningkatkan rasa makanannya.

Awal Reputasi Buruk MSG

Pada 1950-an, MSG ditemukan dalam makanan kemasan di seluruh Amerika Serikat, mulai dari camilan hingga makanan bayi. Sand mengatakan dalam makalahnya tahun 2005 bahwa edisi 1953 dari The Joy of Cooking merujuk pada monosodium glutamat sebagai “‘bubuk putih’ misterius dari Timur… ‘msg,’ seperti yang dijuluki oleh para pemujanya.”

Setelah publikasi Rachel Carson “Silent Spring” dan larangan federal atas pemanis yang dianggap karsinogenik oleh Food and Drug Administration, konsumen mulai mengkhawatirkan tiap zat tambahan kimiawi dalam makanan mereka.

Pada tahun 1968, New England Journal of Medicine menerbitkan surat dari seorang dokter yang mengeluh tentang rasa sakit yang menyebar di lengannya, kelemahan dan jantung berdebar setelah makan di restoran Cina. Dia berpikir bahwa masakan dengan anggur, MSG atau garam yang berlebihan mungkin menjadi penyebabnya.

Tanggapan pembaca mengalir dengan keluhan serupa, dan para ilmuwan segera meneliti fenomena tersebut. Awalnya, para peneliti melaporkan hubungan antara mengonsumsi MSG dan gejala yang dikutip dalam New England Journal of Medicine. “Sindrom Restoran Cina” lahir.

Judul-judul buku dan headline muncul: “Makanan Cina membuatmu gila? MSG adalah Tersangka No. 1,” tulis Chicago Tribune, sementara buku berjudul Excitotoxins: The Taste That Kills dan In Bad Taste: The MSG Symptom Complex mendorong tinjauan FDA dan investigasi “60 Minutes”, seperti yang ditulis Alan Levinovitz, seorang profesor filsafat Cina di Universitas James Madison, dalam buku 2015 tentang mitos makanan.

Namun studi awal tersebut memiliki kelemahan penting, termasuk bahwa partisipan mengetahui apakah mereka mengonsumsi MSG atau tidak. Penelitian selanjutnya telah menemukan bahwa sebagian besar orang, bahkan mereka yang mengklaim sensitif terhadap MSG, tak memiliki reaksi apa pun ketika mereka memakannya secara tak tahu.

Sindrom Restoran Cina dan Sentimen Rasial

Bahwa MSG menyebabkan masalah kesehatan mungkin telah berkembang pesat pada bias rasial sejak awal. Ian Mosby, seorang sejarawan makanan, menulis dalam makalah tahun 2009 berjudul ‘That Won-Ton Soup Headache’: The Chinese Restaurant Syndrome, MSG and the Making of American Food, 1968-1980 bahwa ketakutan akan MSG dalam makanan Cina adalah bagian dari sejarah panjang AS dalam memandang masakan “eksotis” Asia sebagai berbahaya atau kotor.

Seperti yang dikatakan Sand: “Sungguh malang bagi para juru masak Tiongkok untuk tertangkap basah dengan bubuk putih di kompor mereka ketika penambah rasa yang pernah dipuji tiba-tiba menjadi bahan kimia tambahan.”

Namun, kekhawatiran tidak hanya di kalangan publik. Dari akhir 1960-an hingga awal 1980-an, “Sindrom Restoran Cina” dianggap sebagai penyakit yang sah oleh banyak kalangan medis, menurut penelitian Mosby. Hal yang sama tidak dapat dikatakan hari ini. Meski hampir semua penelitian Amerika Serikat yang menyatakan bahwa MSG aman didanai oleh perusahaan yang memiliki andil dalam kesuksesan MSG, para peneliti berpendapat bahwa MSG terbilang aman.

Tentu saja, sebagian kecil orang memang memiliki reaksi negatif yang secara langsung disebabkan oleh glutamat, tetapi sains hingga saat ini menunjukkan bahwa hal itu kemungkinan besar merupakan fenomena langka. MSG masih, dan selalu, dalam daftar makanan yang “secara umum diakui aman” oleh FDA.

Efek Nocebo Karena Reputasi Buruk MSG

Hanya karena tidak ada hubungan ilmiah antara makanan tertentu dan efek negatif kesehatannya, bukan berarti rasa sakit atau ketidaknyamanan yang dialami pengunjung hanyalah khayalan. Orang yang menderita setelah makan MSG mungkin mengalami efek nocebo, sepupu yang kurang dikenal dan kurang dipahami dari efek placebo.

Fenomena inilah yang terjadi ketika menyatakan bahwa sesuatu dapat menyebabkan reaksi negatif justru menimbulkan gejala fisik tersebut. Ketika sebuah restoran Cina menempatkan “tidak ada MSG” pada menunya untuk meyakinkan pelanggan, hal itu menambah stigma, kemungkinan akan meningkatkan efek nocebo dalam prosesnya. Seperti halnya efek plasebo, efek nocebo dapat memiliki reaksi yang sangat nyata.

Seperti yang ditunjukkan oleh Brendan Nyhan, seorang profesor Dartmouth yang telah meneliti cara memengaruhi sikap tentang vaksin, sulit bagi orang untuk mengubah pikiran mereka tentang masalah kesehatan pribadi karena itu bertentangan dengan apa yang mereka anggap alami di masa lalu.

“Orang yang merasa tidak enak setelah makan makanan China di masa lalu mungkin menyalahkan MSG … dan dengan demikian menolak informasi yang mereka temui kemudian tentang efek sebenarnya,” katanya. Ini mungkin hasil dari heuristik ketersediaan, ketika orang membuat penilaian menggunakan informasi termudah yang tersedia, ketimbang mencari penjelasan alternatif.

Seperti yang dijelaskan oleh Christie Aschwanden, begitu kita mencapai kesimpulan yang salah, otak kita mencegah kita menerima informasi baru yang dapat mengoreksi asumsi yang salah tersebut. Dalam kasus MSG ini, koneksi palsu cukup berbahaya bagi kebanyakan orang tetapi mungkin masih menyebabkan ketidaknyamanan bagi beberapa orang, baik karena mereka mengalami efek nocebo atau menghilangkan kelezatannya.

Kita semua membuat pilihan tentang bagaimana kita makan; Bagi sebagian orang, keputusan tersebut didasarkan pada dukungan ekonomi lokal, menghindari daging untuk perlakuan manusiawi terhadap hewan, atau sekadar ingin tahu apa yang masuk ke dalam tubuh mereka.

Tidak ada yang benar atau salah, tetapi perlu dipahami asal mula pilihan tersebut. Dalam kasus MSG, ini tampaknya bukan soal sains dan lebih banyak tentang budaya dan politik saat ini.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

5 Comments

  1. Ternyata begitu ya sejarahnya mengapa micin dapat reputasi buruk, sampai ada sentimen rasial juga, padahal FDA sudah menyatakan micin aman dikonsumsi asal sesaui aturan ya. Apapun yang berlebihan memang tidak baik termasuk micin.

    • Micin sama kayak bumbu dapur lain. Gula dan garam juga kalau dipake berlebihan bakal ada efek negatif ke tubuh. Iya gara2 Chinese Restaurant Syndrome, sebenarnya udah lama juga teori ini dibantah, meski si micin ini masih dianggap jahat.

  2. memang benar rip tomat itu salah satu penyumbang rasa umami setiap masakan, aku sering mengakali bumbu dasar tumisan dengan tomat yang dihaluskan ya supaya menciptakan sensasi umaminya itu, walaupun selain tomat ternyata dari jamur jamuran juga bisa ya 😀

    oiya aku jadi baru tahu perihal awal mula msg Di Tiongkok, itu ditawarkan kepada umat Buddha, yang tak makan daging, sebagai cara vegetarian untuk meningkatkan rasa makanannya, nice sharing rip seperti biasa 🙂

    • Iya dari tomat, meski ketutup sama rasa manisnya, tapi emang gurih2 juga. Micin sekarang biasanya diekstrak dari bit sama jagung.

      Saya juga jadi tahu soal vegan Buddha ngakalin rasa makanannya pake micin ini, berkat nulis ini.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *