Bayangkan adegan What We Talk About When We Talk About Love-nya Raymond Carver, tapi dilakukan di saung ronda, dan yang mereka bacotkan adalah cara-cara klenik mengakumulasi kapital. Memang, mendapat tugas jaga malam dan menanti Godot sama-sama kondisi ideal untuk produksi bualan. Diawali curhatan soal kesusahan hidup, Munjung kemudian menjadi semacam panduan wikiHow yang disusun antara Borges dan Abdullah Harahap.
Munjung adalah novel Sunda yang diterbitkan pertama pada 1932, ditulis oleh Mohamad Ambri (8 September 1892 – 5 April 1938). Penulis yang menjalani Kweekschool atau Sakola Guru di Bandung, untuk kemudian jadi guru dan kepala sekolah, dan pada 1930 pindah ke Jakarta untuk bekerja sebagai Redaktur Bahasa Sunda di Balai Pustaka. Selama bekerja di sana, ada setidaknya 20 judul bukunya yang terbit, baik karya asli, terjemahan atau saduran.
Meski mengangkat tema mistik, Munjung hadir dalam gaya realis. Dalam artian, berbeda dengan sastrawan sezamannya yang masih bergaya romantis dan tokohnya masih berpusat di kalangan menak. Utuy Tatang Sontani yang pertama kali menyebutnya pengarang realis Sunda di dalam pengantarnya untuk Urang Desa (1949) – kumpulan dua roman Moh Ambri yaitu Burak Siluman dan Munjung. Popo Iskandar malah menggelari Moh Ambri sebagai Bapak Realisme Sunda. Hal tersebut tampak dalam tulisannya Moh Ambri Bapa Realisme dina Sastra Sunda yang dimuat dalam majalah Sunda No. 58, tahun II. Moh. Ambri adalah pengarang Sunda yang lebih banyak melukiskan keadaan sosial masyarakat Sunda di setiap zaman. Umumnya mengenai zaman-zaman yang secara pribadi ia alami, khususnya mengenai realitas masyarakat Sunda, yang sampai sekarang pun masih percaya klenik.
Moh Ambri menggunakan teknik penceritaan bertingkat, dengan menampilkan seorang tokoh sebagai juru kisah layaknya Syahrazad dalam Kisah Seribu Satu Malam. Penulis kelahiran Sumedang ini memang pernah menerjemahkan beberapa seri dalam Kisah Seribu Satu Malam. Salah satunya Palika Jeung Jin, terjemahan dari kisah tentang sang nelayan dan jin, yang sangat beririsan dengan novel Munjung: bahwa setiap pemufakatan dengan makhluk gaib akan mendatangkan derita.
Ragam Pesugihan dalam Munjung
Marhapi, “Lamun enya kitu, milik saurang-saurang geus dipasti, naha bet siga nu pilih kasih, sawareh sina senang, sina beunghar, sina pinter, naha ari urang sina susah, sina malarat, sina bodo. Siga duum tinggi ngatur teh.”
Mang Uham, “Teu nyaho, da teu ngaji.”
Salhiam, “Duka teuing atuh, da kitu cek Kitab cenah.”
Berawal dari Salhiam dan Marhapi yang saling adu kemeralatan, muncul pertanyaan dari mereka soal takdir dan asal usul kekayaan: Apa sebenarnya takdir itu? Kenapa takdir tiap manusia berbeda-beda? Kenapa harus ada yang kaya, dan yang lain miskin? Bagaimana caranya agar bisa kaya? Tentu, tak terjadi obrolan ngalor-ngidul sok intelektual layaknya di kedai kopi kiwari. Alih-alih timbul diskusi dialektis, Mang Uham malah mendongengi mereka soal beragam jalan klenik untuk meraih kekayaan.
Secara bahasa, munjung berarti mendatangi seseorang yang dianggap punya derajat lebih tinggi. Namun, maknanya berubah, karena istilah munjung sering diasosiasikan sebagai kegiatan mendatangi makhluk gaib. Robert Wessing dalam jurnal Spirits of the Earth and Spirits of the Water: Chtonic Forces in the Mountains of West Java meneliti soal kaitan antara kosmologi lokal suatu masyarakat dan bagaimana mereka mempersepsikan lingkungan sekitarnya, dengan lingkup penelitian di Gunung Lalakon. Wessing mengumpulkan beragam kisah yang terdapat di sana, mungkin yang dijadikan narasumbernya adalah orang semodel Mang Uham. Menurut tesis Wessing, biasanya orang menziarahi makam leluhur untuk meminta nasihat dan perlindungan, sementara ke tempat yang dihuni siluman untuk meminta kekayaan. Membuat kesepakatan dengan siluman memerlukan beragam syarat nyeleneh, bahkan taruhan nyawa.
Dalam novel mungil ini, disebutkan beragam tempat nyata, yang dijadikan lokasi pesugihan. Ternyata Moh Ambri seorang mistikus, menganut ilmu kebatinan yang disebut Ajian Kasumedangan. Ajip Rosidi mengungkapkannya dari sisi lain kehidupan Moh Ambri yang ditulisnya di dalam Surat-surat Moh Ambri yang dimuat dalam Pancakaki: Kumpulan Esey.
Ada lima praktek pesugihan yang ditawarkan novel ini: ngipri, ngopet, nyupang atawa ngetek, muhit bagong, dan ngingu kecit. Mang Uham tidak selamanya jadi Syahrazad, meski dialah sang tukang cerita utama, tokoh lain kadang muncul untuk menceritakan kisah atau pengalaman langsungnya. Karena sedang jaga ronda, yang berada di saung harus bergiliran patroli, Salhiam dan Marhapi digantikan Arta dan Wirja. Dari kawin dengan siluman ular, menggadaikan nyawa agar cepat kaya, bertransaksi dengan siluman kera, jadi babi ngepet, sampai memelihara tuyul, beragam cerita yang disampaikan bikin geleng-geleng kepala, bagi pendengar di pos ronda, dan bagi kita yang membacanya.