80 8th Avenue, New York. Di dalam, ada ruang kerja kecil, sepi, lawas, untuk per orangnya. Ada, dan hanya akan ada, sembilan karyawan. Sebuah pohon ceri tumbuh dalam pot di balkon mungil di luar. Karpet kumal, lorong sempit, sistem pengarsipan yang ketinggalan jaman. Di dinding, tergantung beragam artefak: emblem asli perusahaan itu, bikinan Rockwell Kent; sampul “Nightwood” yang dikerjakan Alvin Lustig; Catatan tulis tangan dari William Carlos Williams; Lukisan dari Henry Miller; Sebuah foto sang pendiri penerbitan ini, yang meninggal pada 1997, dalam pose siluet.
Ada pintu menuju sebuah ruangan kecil, yang kalau dibuka berisi satu salinan dari tiap buku yang pernah diterbitkan di sini sejauh ini, lebih dari seribu tiga ratus buku. Knut Hansum, Jorge Luis Borges, Herman Hesse, Pablo Neruda, Yukio Mishima, Vladimir Nabokov, Osamu Dazai, Jean Paul Sartre, Octavio Paz, Roberto Bolaño, Anne Carson, W. G. Sebald, László Krasznahorkai, Enrique Vila-Matas, daftar para penulis beken ini, pertama kali diterbitkan ke khalayak Amerika Serikat dan pembaca bahasa Inggris oleh penerbit ini.
Berbeda dengan Alfred A. Knopf, New Directions enggak dirancang untuk menjadi firma yang besar dan berpengaruh yang akan jadi properti utama layaknya perusahaan media raksasa. Tetap kecil dan tetap menerbitkan. Jika boleh diibaratkan, New Directions adalah Pustaka Jaya, dengan James Laughlin sebagai Ajip Rosidi sekaligus Ciputra.
“James Laughlin merasa untuk tetap kecil itu penting,” sebut redaktur Declan Spring dalam wawancaranya di Literary Hub. “Kami menjaga staf kami tetap kecil. Kami menahan biaya kami sebanyak mungkin. Pada dasarnya, apa yang ingin kami lakukan adalah menjaga agar perusahaan tetap berjalan. Tujuannya adalah untuk membayar gaji, membayar uang sewa, membayar biaya produksi, membayar penulis, dan memiliki uang di bank sehingga kita dapat terus menerbitkan buku.”
*
Menurut Marcel Proust, satu bukti bahwa kita sedang membaca seorang penulis baru yang hebat adalah bahwa tulisannya langsung mengejutkan kita karena terasa jelek. Hanya penulis ecek-ecek yang menulis dengan indah, karena mereka hanya mencerminkan ulang gagasan praduga kita akan keindahan; kita enggak memiliki masalah untuk memahami apa yang mereka tawarkan, karena kita telah melihatnya berkali-kali sebelumnya.
Bila seorang penulis benar-benar orisinil, kegagalannya untuk tampak indah secara konvensional membuat kita melihatnya, awalnya, sebagai sesuatu yang tak berbentuk, nyeleneh, atau rumit. Setelah kita belajar bagaimana membacanya, kita menyadari bahwa keburukrupaaan tadi benar-benar merupakan keindahan baru yang benar-benar tak terduga dan bahwa apa yang tampak salah dalam tulisannya itulah yang membuatnya hebat.
Sebagai pembaca, saya sering merasakan pengalaman itu ketika membaca buku-buku rilisan New Directions. Karena filosofi New Directions sendiri, yang mengacu pada Laughlin, dalam menerbitkan karya adalah memilih yang berbeda dan baru. Karya avant-garde. Bukan hanya karya yang bakal cepat laris. Lebih menerbitkan karya yang baru akan dibaca dan dihargai duapuluh tahun setelah pertama kali diterbitkannya. Mencari para penulis yang belum ditemukan, enggak dihargai, enggak dikenali.
“Ketika kami pertama kali mempublikasikan [Ezra] Pound, [Tennessee] Williams, Dylan Thomas, Marianne Moore, tidak ada yang tahu siapa mereka,” sebut Spring. “Mereka terlalu aneh dan sulit dimengerti. Sekarang mereka adalah bagian dari kanon sastra.”
*
Pada 1934, setelah tiga semester yang menjemukan di Harvard, James Laughlin mengambil cuti panjang dan melakukan perjalanan di Eropa. Laughlin pergi ke Prancis, bertemu dengan Gertrude Stein dan menemaninya dalam tur otomotif di Prancis selatan dan menulis siaran pers untuk kunjungan Stein yang akan datang ke Amerika Serikat. Stein sendiri merupakan tokoh modernisme terkemuka dalam sastra dan seni, yang menggawangi Lost Generation.
Laughlin lalu melanjutkan ke Italia untuk bertemu dan belajar dengan Ezra Pound. Mondok di “Ezuversity”. Penyair penting dari Lost Generation ini memberi wejangan pada Laughlin, “Kamu tidak akan pernah menjadi seorang penyair yang baik.” Pound menyarankan penerbitan. Lakukan sesuatu yang berguna dengan uangmu, Pound menasihatinya, sehingga meskipun kamu tidak dapat menulis baik, kamu dapat memastikan bahwa karya baik bisa ada di luar sana.
Laughlin sendiri adalah anak konglomerat, pewaris dari perusahaan baja. Namun dia tahu sejak usia dini bahwa dirinya tak berkeinginan masuk ke bisnis keluarga. “Seperti Inferno. . . mengerikan,” komentarnya saat melihat pabrik baja.
Ketika Laughlin kembali ke Harvard, dia menggunakan uang dari ayahnya untuk mendirikan penerbitan yang dia jalankan pertama kali di kamar asramanya. Mengambil nama New Directions, dari perumusan Pound, “Nude Erections”. Kantor kemudian pindah ke sebuah gudang di tanah milik bibinya Leila Laughlin Carlisle di Norfolk, Connecticut. Sampai akhirnya, membuka kantor di New York, pertama di 333 Sixth Avenue untuk kemudian menempati 80 Eighth Avenue, tempatnya sampai sekarang.
Publikasi pertamanya, pada tahun 1936, adalah New Directions in Prose & Poetry, sebuah antologi puisi dan tulisan dari William Carlos Williams, Ezra Pound, Elizabeth Bishop, Henry Miller, Marianne Moore, Wallace Stevens, dan EE. Cummings, serta Laughlin sendiri dengan nama samaran. Sebuah daftar yang menggembar-gemborkan bahwa visi New Directions yang baru berojol ini sebagai penerbit sastra modernis yang terkemuka.
Laughlin punya karisma yang membuat orang mempercayainya. Tentu saja, dia punya uang dan selera hidup yang membuat orang ingin bergaul dengannya. Bisa ditebak, dia juga seorang perayu, menikah tiga kali dan punya banyak kekasih, bahkan operasi prostat tak menghentikannya. Dia memancarkan kepercayaan diri dan antusiasme sejati untuk mencicipi pengalaman baru. Sesuatu yang membuat New Directions mengarah di jalan yang sesuai.
Keputusan Laughlin selalu tepat di setiap perkembangan sastra di Amerika Serikat antara tahun 1940 sampai 1980an. Dia menolak untuk mengambil bagian dalam korporatisasi dan konglomeratisasi penerbitan Amerika, bahkan saat dia melihat temannya Alfred Knopf dan saingannya Roger Straus menyerah. Laughlin selalu menjadi pemilik langsung New Directions dan sahamnya dialihkan ke orang kepercayaannya setelah kematiannya pada 1997.
*
“Tim kami luar biasa,” puji Spring. “Ada Barbara dan Laurie Callahan, yang mengedit Cesar Aira, juga merawat kebun balkon kami, dan menangani begitu banyak masalah keuangan penting kami. Dan kami punya Direktur Perizinan baru yang juga merupakan editor kami yang bernama Chris Wait, dan dua direktur publisitas kami Georgia Phillips-Amos dan Mieke Chew, yang bertemu dengan para pengulas, menyiapkan acara, yang melakukan kerja di toko buku.
“Jeff Clapper melakukan akuntansi kami. Jeffrey Yang adalah seorang editor. Art Director dan Production Manager kami, Erik Rieselbach, sangat hebat dalam berhubungan dengan printer namun juga berfungsi sebagai editor dan perancang buku digital. Dia selalu membikin buku terlihat lebih bagus. Kami juga punya Tynan Kogane. Dia bergabung dengan kami beberapa tahun yang lalu dan sekarang kami sangat bergantung padanya untuk mengedit lebih dari sepertiga buku kami. Dia juga membantu kami mengumpulkan katalog dan memastikan bahwa hak cipta terdaftar. Dengan kata lain, semua orang berkontribusi. Semua orang di sini selalu bersedia membantu yang lain. Kami semua adalah teman.”
New Directions beroperasi sesuai dengan keinginan Laughlin, seperti hanya ada sembilan karyawan dan pembatasan jumlah buku yang diterbitkan tiap tahunnya. Meski ini bukan aturan ketat. “Intinya adalah memastikan bahwa jika New Directions berlanjut, maka akan terus berlanjut sebagai New Directions,” tegas Spring. “Anak-anak James Laughlin memperhatikan dengan seksama apa yang kami lakukan. Kami memiliki banyak aturan bebas dan untungnya semua orang berkomitmen dan mengabdikan diri untuk hal-hal baru dan membuatnya berhasil.”
*
“Itu pembukaan yang hebat. Jika Anda tidak dapat melihatnya dan Anda seorang editor sastra, sebaiknya Anda menembak diri sendiri. Atau maksudku, lakukan yang lain,” bela Barbara Epler ketika ditanya mengapa berani menerbitkan Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan yang tebal, padahal sang presiden New Directions itu baru baca secuil. Keputusan, yang secara hitung-hitungan bisnis, kurang meyakinkan.
Meskipun sambutannya hangat di Indonesia, menawarkan novel ini pada pembaca Amerika adalah usaha yang sulit. Penulisnya enggak punya gelar M.F.A., enggak punya agen New York, enggak punya karya dalam jurnal atau majalah sastra terkemuka. Intinya, engak punya nilai tawar, seperti yang sering dikatakan di kalangan bisnis.
Hubungan antara seni dan profit sering kali menjengkelkan. Dibanding penulis komersil semacam J. K. Rowling atau George R. R. Martin, yang enggak mungkin diorbitkan New Directions, penulis sastra adalah komoditas esoterik, yang dihargai kecil. ” Tapi apa yang akan bertahan?” tegas Epler seperti dilansir dalam artikel The New Yorker, How Staying Small Helps New Directions Publish Great Book. “Pada akhirnya hanya buku-buku seperti karya Eka, atau László, atau Sebald. Itulah yang akan diingat orang; Itulah yang akan ditulis sejarah.”
Mengutip Roberto Bolano dalam Between Parentheses, yang juga dipacak di laman situs New Directions: Pengecut tak menerbitkan pemberani.
Bagus nih artikelnya, menggugah…
Salam…