Jangan bayangkan pecinan yang ada di Bandung merupakan satu kompleks dengan dominansi nuansa merah dan kuning yang menjajakan jajanan suvenir dan kuliner berbau Negara Tirai Bambu. Yang bakal kita temui kebanyakan justru gedung-gedung tuwir bergaya kolonial.
Komunitas Tionghoa di Bandung memang cukup sporadis, ga terpusat dalam satu wilayah saja. Namun di kawasan pusat kota, seperti Alun-Alun dan Pasar Baru, akan banyak kita dapati orang-orang bermata sipit, para etnis Tionghoa keturunan tadi. Yang uniknya mereka fasih berbahasa Sunda.
Bandung Utara untuk Belanda serta kronco-kronconya, Bandung Selatan untuk pribumi, dan tengah-tengahnya bagi komunitas etnis lain non-kedua-duanya, salah satunya yang terbesar ya etnis Tionghoa. Aturan kolonial ini punya fungsi agar etnis Tionghoa bisa mudah dikontrol pengawasannya.
Sehingga rute ngaleut untuk menelusuri pecinan di Bandung minggu ini dari Masjid Rong He di Jalan Banceuy, melintasi kawasan Pasar Baru dan berakhir di Vihara Satya Budhi di Jalan Kelenteng. Meeting point sendiri bermula di Kantor BJB Braga.
Baca: Catatan Ngaleut Imlek – Part 3: Sejarah Singkat Orang Tionghoa di Bandung
Orang Tionghoa adalah manusia paling adaptif. Buktinya di tiap kota di negara manapun bakal kita temui komunitas etnis ini. Begitu pun Bandung. Sejak dari dibangunnya kota ini, khususnya ketika jalur pos dan jalur kereta api dibuka, mereka yang kebanyakan berasal dari Guangdo dan Fujian datang ke sini untuk mengadu nasib.
Satu proses adaptasi terhadap lingkungan baru adalah dengan berbaur dengan masyarakat sekitar, mengadopsi budaya daerah yang ada. Seperti kaum Tionghoa yang belajar bahasa Sunda, utamanya digunakan untuk bahasa perdagangan. Dan ga sedikit yang tertarik dengan agama mayoritas yang ada di Bandung, yakni Islam. Maka Masjid Rong He ini didirikan sebagai wadah bagi saudara Tionghoa yang muslim, khususnya bentuk dukungan bagi yang mualaf. Pendirian masjid ini berawal dari gagasan Gubernur Jawa Barat, HR Nuriana.
Masjid Al-Imtizaj, atau dalam bahasa Tionghoa-nya Rong He ini memiliki arti “pembauran”. Ya, pembauran khazanah Tionghoa dan Muslim. Sudah sering saya sholat di sini, namun suasana ruang masjid yang ga biasa bagi kita yang bukan berdarah Tionghoa, selalu memberi perasaan sedikit aneh. Yang pasti suasana damai dan nyaman bakal kita rasakan. Meski kemarin lagi rame-ramenya perayaan kemenangan Persib di jalanan, tapi alhamdulillah saya bisa khusuk. 😀
Daerah Jalan Banceuy, Jalan ABC, Pecinan Lama dan sekitaran Pasar Baru dipenuhi dengan toko-toko yang kebanyakan barang elektronik, yang rata-rata dimiliki etnis Tionghoa. Ada salah satu toko legendaris di sini. Siapa yang ga kenal Koffie Fabrik Aroma?
Jujur, saya mah cuma penikmat kopi sachet, dan belum pernah icip-icip Kopi Aroma yang kabarnya maknyus ini. Dan karena ini hari Minggu, toko ini tutup.
Pamor toko kopi Aroma memang ga hanya dikenal di Bandung, tapi juga di kalangan wisatawan lokal, asing. Sehingga jangan heran, jika saban hari, pelanggan selalu mengantre di toko kecil yang dibangun oleh Tan Houw Sian sejak 1930 silam itu. Kopi Aroma kini menjadi buah tangan para wisatawan yang datang ke Kota Kembang ini.
Banyak kuliner asal China yang mungkin sudah jadi santapan lumrah, ga jarang kita pikir itu makanan asli Indonesia. Salah satunya cakue. Nah kalau mau icip-icip cakue paling maknyos, silahkan datang ke kios yang terletak di belakang Pasar Baru ini.
Kelenteng Satya Budhi menjadi destinasi akhir ngaleut minggu ini. Tempat peribadatan yang diresmikan pada tanggal 15 Juni 1855 ini bernama asli Hiap Thian Kiong yang artinya adalah ‘Istana Para Dewa’. Merupakan tempat peribadatan kaum Tionghoa yang beragama Budha, Thao dan Konghucu.
Ngomong-ngomong soal China. Kamera yang saya pakai buat foto-foto dan video dokumentasi ngaleut minggu ini pake “GoPro KW Super Made in China”, SJCAM SJ4000. Asyik juga buat street photography, ya meski kualitasnya ga terlalu mumpuni.
Seri ngaleut ini seru-seru deh. Jadi inget jaman ngebolang keliling sampe pasar baru dulu. Karena ga ada satupun yang dari Bandung jadi gak tahu spot-spot kulinernya.
Sekarang udah jarang ngebolang berarti ya bang.
Bener bingit, ditempat tinggalku ugak banyak keteurunan tionghoanya. Selain mereka adaptif, mereka juga jago dalam urusan bisnis lho..
Wah emang kalau urusan bisnis mah mereka jagonya.
Orang Tionghoa memang paling adaptif… Di Bandung pada bisa bahasa Sunda, di Surabaya bisa bahasa Jawa (plus pake medhok). Di Samarinda juga gitu, pada bisa bahasa banjar… 😀
Ya begitulah proses bertahan hidup, mau ga mau harus berakulturasi.
Aku jadi penasaran ke sana, Rif. Paling seneng kalok keluyuran. 😀
Kan kalau Beby mah keluyurannya sambil travelling.
jadi penasaran sama masjid Al-imtizaj 😀 bandung kota kembang yang keren euy!
Kalau penasaran sama Masjid Al-Imtizaj, pasti penasaran juga sama Masjid Lautze.
[…] Tautan asli: http://arifabdurahman.com/2014/11/10/ngaleut-eps-chinatown-in-bandung/ […]
chinatown itu ada dimana-mana ya, di amando juga ada, tapi blm sempet mampir sih
Orang Tionghoa emang perantau ulung.
Broh, itu fotonya bagus broh! Buat blog udah cukup lah. Sony Experia E gue kalah deh. Jadi mau beli. Cuma sejuta ya? 🙁
Ini gue Nugi yg kemarin ikutan Ngaleut kalau masih inget 😀
Kalau mau actioncam mending langsung pilih GoPro aja, jangan yg kw supernya ini. 😀
Iya kapan nih ngaleut lagi?
Tapi yg kw super aja udah bagus kok. SJcam kan? Lagi rame juga di kalangan travel blogger.
Iya nih. Beberapa minggu ini ada acara terus. Nanti deh kalau free lagi 😀
mau dong diajak trip budaya di bandung, dr pada kuliner dan belanja yang itu-itu aja
biar adaptif mereka tidak pernah melupakan kebudayaannya… 🙂
salam
/kayka