Pada sebuah Minggu pagi di Bandung, saya bergabung dengan Komunitas Aleut dalam sebuah tur sejarah. Titik kumpul di dekat Gedung Merdeka—bangunan dengan tiang-tiang klasik dan kisah yang seakan mengendap dalam setiap sudutnya. Dari sinilah, perjalanan menyusuri perjuangan Raden Dewi Sartika dimulai.



Bertajuk “Ngaleut Sakola Istri”, kami berjalan kaki menuju Alun-alun Bandung, melintasi trotoar yang penuh hiruk-pikuk kota. Di sana, cerita mengenai Dewi Sartika mulai meresap dalam obrolan.
Sosok Dewi Sartika, perempuan pemberani, hadir dalam imajinasi kami seolah masih berjalan di sepanjang jalan yang sama, menenteng buku-buku, dengan tekad mendobrak batas bagi kaum perempuan di tanah Sunda.



Setibanya di Pendopo, bangunan lama yang pernah menjadi saksi perubahan dan perebutan kuasa, ada yang membisiki bahwa di sinilah Dewi Sartika sering berinteraksi dengan kaum elite, meyakinkan mereka bahwa pendidikan perempuan bukanlah hal yang bisa dikesampingkan.
Di sekeliling Pendopo, suasana terasa berbeda—seakan setiap daun dan batu mengisahkan sedikit tentang perjuangan itu.


Sakola Istri, Warisan Perjuangan Dewi Sartika
Langkah kaki kami terus berlanjut ke Sakola Kautamaan Istri, tempat mimpi Dewi Sartika diwujudkan. Pada 16 Januari 1904, sekolah perempuan pertama di Indonesia ini berdiri, tempat para gadis kampung belajar mengenal angka, huruf, keterampilan tangan, hingga ilmu hidup yang lebih dalam.
Saya mencoba membayangkan riuh suara para siswa belajar di ruang kelas sederhana. Di tempat ini, Dewi Sartika mengajarkan pentingnya pengetahuan, seolah mengukir cita-cita ke dalam pikiran setiap muridnya. Dalam bayangan itu, wajah-wajah para siswi tampak bersinar—penuh harap, sama cerahnya dengan mimpi Dewi Sartika.



Perjalanan kami berakhir di Makam Para Bupati Bandung. Di sini, keheningan mengambil alih. Tanah peristirahatan ini menyimpan banyak cerita para pendahulu. Kami berdiri menghadap deretan makam, mengulas kisah Dewi Sartika dan tokoh-tokoh lainnya yang telah mendahului. Dalam hening itu, rasa kagum dan hormat pada perjuangan beliau terasa semakin mendalam.


Tur ini bukan sekadar napak tilas, melainkan pengingat akan pentingnya sebuah cita-cita yang diperjuangkan hingga akhir hayat. Rasa lelah berjalan hilang dalam benak yang dipenuhi rasa bangga dan inspirasi.