Di tengah siang yang terik dan kuno, terlihat Socrates dengan pakaian gembelnya sedang keluyuran, gudag-gidig di seputaran pasar Athena. Edan, sang filsuf ini ujug-ujug berdiskusi soal Tuhan dengan seorang penjual ikan: menjelaskan kalau dewa-dewi nggak ada. Ini bukan satu dua kali, tapi gurunya Plato ini sudah kelewat sering. Karena dianggap subversif, maka hukum minum racun menghadapinya. Ya, hukuman memang selalu menimpa kepada mereka yang serba ingin tahu dan banyak tahu.
Berabad-abad kemudian, tindakan sokratik ini, khususnya di kegiataan jalan-jalan nggak jelas di pusat perkotaan, diamalkan oleh para kaum borjuis Prancis. Dari cendekia, filsuf, penulis, pelukis, atau seniman yang ingin mencari inspirasi ya keluyuran sendirian di jalanan Paris. Sebuah aktivitas filosofis dengan berjalan kaki ini selanjutnya beken dengan istilah flâneur, yang kemudian diperagakan nggak hanya di kota mode ini saja. Mungkin pada kenal Chairil Anwar kan? Nah, sastrawan ini adalah contoh flâneur dari Indonesia.
“All great thoughts are conceived by walking,” sebut Nietzsche. Memang, pada mulanya belajar filosofi kehidupan adalah soal pekerjaan kaki. Suatu kegiatan membaca juga, tapi lebih ke arah membaca ‘ayat kauniah’, beragam teks dalam wujud benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam alam ini. “Berjalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan dari permulaannya…,” kata-Nya.
Lain di Athena sebelum Masehi, lain juga di Paris saat memasuki abad modern, maka di Bandung kekinian – di abad pertama milenia ketiga – muncul gerakan subkultur berbasis platform sejarah yang gelisah akan kondisi kotanya: Komunitas Aleut!
Aleut, with intermission, one by one said of people walking, like all natives do, in a row, one by one after each other.
Rigg, Jonathan. 1862. A Dictionary of The Sunda Languange of Java. Batavia: Lange & Co.
Sisa dari suatu kebudayaan masyarakat agraris. Sebagaimana para petani beramai-ramai melintasi jalan setapak, ‘Aleut’ dalam bahasa Sunda memiliki arti berjalan berbanjar atau beriringan yang dilakukan sekelompok orang. Inilah yang kerap dilakukan Komunitas Aleut! Beriringan keliling kota, untuk lebih mengenal kotanya, mengenal sesamanya, dan mungkin mengenal dirinya. Dalam upaya membaca ayat kauniyah tadi.
Secara historis, kegiatan ngaleut tentunya bukan hanya milik masyarakat Sunda. Sejak manusia hidup di muka bumi, sebagai zoon politikon, pastinya dalam bepergian seringnya dalam kawanan. Kisah hijrahnya Bani Israil yang dipimpin Nabi Musa menuju tanah harapan dengan melewati Laut Merah tentunya bisa disebut sebagai “ngaleut paling akbar di dunia”. Maka, tindakan ngaleut bisa diartikan sebagai sifat alamiah manusia; bergerak bersama kelompok, bepergian beriringan untuk memetik kebaikan.
Seperti Socrates, membantu orang-orang melahirkan pengetahuan dari dalam dirinya sendiri melalui dialog-dialog. Rupanya para jamaah Aleut pun banyak menemukan data menarik dari warga sekitar yang justru nggak ada di dalam buku sejarah. Karena memang, metode sokratik sendiri menitikberatkan kekuatannya bukan pada jawaban, melainkan pada pertanyaan. Sehingga bikin kita terus merasa haus untuk bertanya dan mempertanyakan. Untuk apa sebenarnya? Pastinya agar semakin arif.
Post-scriptum:
Dalam perjalan selama setahun berkecimpung di Komunitas Aleut!, maka saya ingin mencoba meredefinisi istilah ‘ngaleut’ secara filosofis dan spiritual, kalau boleh dibilang mungkin rada sufistik lah.
berterbaranlah di muka bumi, mungkin maksudnya untuk menjelajah bumi seluas-luasnya. jalan-jalan adalah salah satunya, kelihatannya bersenang-senang, namun sebenarnya banyak hal yang kita temui dijalan yang bisa dijadikan pelajaran tanpa kita rasa manfaatnya secara tersurat 🙂
Bener banget kak. Dijalani secara rekreatif, namun setelahnya diproses secara kontemplatif. Minimal setelah jalan-jalan ada hasilnya berupa tulisan, kalau enggak pun paling minimalnya ya dapat hikmah.
Berjalan untuk mencari tahu apa cerita dari setiap benda yang tampak, bahkan dari apa yang tidak terlihat, memang kegiatan yang sangat menarik dan sangat memperkaya :)). Dan seperti para filsuf, dari bahan yang kita lihat, kita bisa olah pikir, sehingga menghasilkan kesimpulan yang merupakan jawaban dari tanya yang ada dalam benak :)).
Karena tanpa jalan-jalan, mana mungkin seorang travel blogger kayak Om Gara bisa bikin catatan perjalanan yg aduhai. 😀
Syukurlah saya bisa diberi kesempatan untuk berjalan dan melihat-lihat isi dunia :hehe.
sama kayak namamu dng rip
Karena malu belum mampu jadi Arif, maka lebih suka dipanggil Arip; yg kalau dalam bahasa Ngapak (Jawa-Banyumasan) artinya ngantuk.
Senang juga ya kang punya kelompok yang punya kegiatan begini.
Gue kadang juga bingung, komunitas “Aleut” tuh ngapain? keuntungannya apa? *dan banyak cewenya gak?* :p
tapi ya lumayan paham lama kelamaan. Sukses ya buat komunitasnya..
Btw, link baru nih blog?
Pos ini cuma menjelaskan dalam sudut pandang filosofisnya aja, bukan teknisnya. Kalau mau lebih tau ya langsung cus gabung ngaleut. Kalau cewek sih ada, tapi ga sebanyak pegiat cowok. 😀
Iya kak, domain baru, yg lama namanya kebagusan.
Wow, bacanya kudu ngulang-ngulang ini takut salah tangkep 😐
Jadi aleut ini apa secara khusus cuman punyanya org sunda? gimana sama yg daerah lain?
Kalo bolang gimana? Haha, ini mah jalan2 tok
Ya istilah ‘aleut’ pastinya cuma punya orang Sunda, sementara prakteknya semua peradaban di dunia ini pasti ada, cuma sebutannya beda-beda.
Penjelasan saya terlalu berbelit-belit ya? Sampe kudu diulang segala.
Salam kenal.
Komunitas yang apik. Sukses selalu ya dengan komunitasnya. Berjalan beriringan mengenali lebih dalam kota masing-masing. Sudah di berapa kota?
Fokusnya ya di Bandung, tapi sesekali pernah pelisir juga ke luar.
[…] Tautan asli: http://yeaharip.com/2015/08/04/ngaleut-sebagai-piknik-sokratik/ […]
Wah, jadi kangen Aleut. Terakhir saya ngaleut bareng komunitas ini tahun 2009. Untuk Arip, bagus juga nih kajian Filsafat nya :). Semoga kita bisa ngaleut bareng.
Padahal cuma kajian filsafat ngawur deh.
Seperti biasa. Arif yang seperti biasa.
Iya dong, kenapa juga harus jadi orang lain?
[…] […]
[…] […]