oleh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pendamping buku ‘Nietzsche’ dari St. Sunardi.
“Saya harus hanya mempercayai seorang Tuhan yang mengerti bagaimana menari.” – Also Sprach Zarathustra
Nietzsche hadir tak hanya dengan niat mengejutkan, ketika ia mengatakan bahwa “Tuhan sudah mati”. Ia lebih radikal ketimbang seorang atheis biasa. Beberapa pernyataannya yang termashur bahkan menyebabkan ia bisa ditafsirkan sebagai seorang filosof yang bukan saja menampik filosofi (yang pernah ia cemooh sebagai kegiatan yang mirip vampir; menghisap darah dari kehidupan) dan menentang meta-fisika, tetapi juga seorang pemikir yang menampik adanya kebenaran. Baginya kebenaran adalah ilusi. “Kebenaran”, begitu ia pernah katakan, “adalah sejenis kesalahan yang bila tanpa itu sejenis mahkluk tak dapat hidup”. Bahkan kehendak untuk mendapatkan kebenaran pernah dianggapnya sebagai ekspresi dari ideal yang tidak disukainya, yakni ideal zahid, atau “asketik”, yang menampik kehidupan.
Memperkenalkan Nietzsche ke kalangan yang lebih luas di Indonesia, seperti yang dengan bagus dilakukan oleh penulis dan penerbit buku ini, berarti menyediakan satu kesempatan – kepada mereka yang tertarik akan soal ide-ide – untuk ikut serta dalam suatu penjelajahan yang mengguncang-guncang, menjebol batas, menemui malam, memasuki sebuah gelora yang merangsang karena kita senantiasa dikejutkan oleh tendensinya, yakni bahaya. Nietszche sendiri mengatakan apa yang akan kita alami dalam arung itu dalam satu aforismenya yang terkenal, sebagaimana dikutip oleh St. Sunardi dalam buku ini:
“Kita telah meninggalkan daratan dan sudah menuju kapal! Kita sudah membakar jembatan di belakang kita! Dan kini, hati-hatilah, kau kapal mungil! Samudera raya mengelilingimu: memang benar, dia tidak senantiasa mengaum, dan kadang-kadang dia tampak lembut bagaikan sutera, emas dan mimpi yang indah. Namun akan tiba waktunya, bila kau ingin tahu, bahwa dia itu tidak terbatas. Oh, burung yang malang yang merasa bebas dan kini menabrak dinding-dinding sarangnya! Ya, bila kau merasa rindu akan daratanmu… yang seolah-olah menawarkan kebebasan lebih banyak – dan tak ada ‘daratan lagi'”.
Ini pasti bukan suara seorang yang putus asa setelah mengatakan bahwa “kebenaran adalah ilusi”. Yang terbersit dari kata-kata itu justru sebuah isbat kepada hidup, dengan segala rindu yang tak sampai, rumah yang tak pernah tegak, petaka yang tak putus, di dalam kancah kelezatan tubuh dan angan-angan. Amor fati: kita menerima nasib dengan semacam rasa cinta. Tanpa miris, bahkan dengan gairah. Di dalam masa ketika aman dan tertib merupakan nilai yang diunggulkan – tidak hanya dalam kehidupan sosial, tetapi juga dalam pemikiran dan keyakinan – di masa ketika banyak orang ingin berlindung di bawah otoritas negara (“monster yang paling dingin”, kata Nietzsche), atau di bawah iman atau ilmu, pemikiran Nietzsche memang bisa dianggap semacam ekstasi: yang didapat dari sana adalah pembelotan, kegilaan, khaos, keasyikan dan niat untuk kembali terus-menerus, dengan berahi. Bedanya dengan sebuah obat perangsang biasa ialah bahwa dari Nietzsche kita bisa, kalau kita terbuka untuk itu, memperoleh keberanian yang tertuntas. Dengan Nietzsche kita ibarat mendaki Mahameru untuk mencapai puncak dalam panggilan sang hero yang tragik.
Juga sebuah hidup yang kreatif. Juga pandangan yang riang dan ringan hati. Ketika Zarathustra, dalam Also Sprach Zarathustra mengatakan bahwa ia “harus hanya mempercayai seorang Tuhan yang mengerti bagaimana menari”, ia agaknya meringkaskan suatu leitmotif dalam pandangan hidup Nietzsche: bahwa seandainya pun ada satu sumber yang esa, kalaupun ada satu fondasi dari segala hal ihwal, maka sumber atau fondasi itu sesuatu yang bergerak senantiasa, mencipta senantiasa, berubah senantiasa, seperti penari di dalam satu koreografi yang membersit dari dalam diri sendiri, tanpa mengikuti pakem dan bentuk, tanpa telos atau tujuan yang dipatok. Suasananya bukanlah semangat memberat, sebab semangat macam itulah yang justru musuh. “Akulah musuh Semangat Memberat,” ujar Zarathustra, yang merasa diri ibarat burung, selalu siap dan tak sabar untuk terbang. Menjadi burung yang terbang bukanlah menjadi burung onta yang berlari lebih cepat ketimbang kuda tetapi sementara itu suka membenamkan kepalanya sarat ke dalam tanah – dan menyebut bahwa bumi dan hidup itu berat.
Bagi Nietzsche: tarian dalam nasib yang dahsyat ini adalah tarian yang ringan, terbang, bermain, bahkan ketawa….
Meraka yang tak terbiasa dengan semua ini mungkin akan bertanya (dengan sedikit “semangat memberat”): jika demikian, dimana tanggung jawab, disiplin, hidup yang tahu apa yang dituju? Bagaimana kau akan menghadapi orang-orang yang malang, dan bagaimana kau menghadapi Maut, yaitu akhir, yang bisa membuat eksistensi sebagai suatu alur, atau suatu tema? Dan mengapa harus ringan, terbang, bermain, bahkan tertawa?
Mereka yang tak terbiasa dengan semua ini mungkin akan bertanya (dengan sedikit “semangat memberat”): jika demikian, dimana tanggung jawab, disiplin, hidup yang tahu apa dituju? Bagaimana kau akan menghadapi orang-orang yang malang, dan bagaimana kau menghadapi maut, yaitu hari akhir, yang bisa membuat eksistensi sebagai alur, atau suatu tema? Dan mengapa harus ringan, terbang, bermain bahkan tertawa?
Seorang penulis pernah mengatakan bahwa Nietzsche adalah “tokoh sentral dalam pemikiran postmodern di Barat”, suatu pemikiran yang sering kali diasosisikan dengan sensibilitas terhadap apa yang disebut Derrida sebagai konsep “permainan”. Yang kita arungi, dengan keberanian dan kegembiraan, bukanlah suatu proyek penaklukan dunia. Yang menonjol dari Nietzsche pertama-tama adalah sebagai sebuah suara kritis terhadap agenda modernitas yang dimulai dengan Descartes, yang praktis menempatkan ego dalam posisi Tuhan—sebagai awal, malah sumber, dari perpikir dan dari “meng-ada”—dan dengan demikian membuat pemikiran diskursif menjadi pembangunan dunia. Bagi Nietzsche, ego yang seperti itu hanya fiktif. Baginya, tidak ada seonggok subjek. Yang ada hanyalah pluralitas. “Kita adalah pluralitas yang membayangkan diri sebagai satu kesatuan,” kata Nietzsche. Yang ada (seperti yang kemudian bergema dalam pemikiran Julia Kristeva) adalah subjek-dalam-proses. Semua mengalir, semua menjadi. Makhluk, seperti kata orang Jawa, segala hal yang kita temui karena ada, adalahdumadi, suatu yang “dijadikan dan menjadi”.
Hanya saja banyak orang melihat air yang dibendung tidak percaya, bahwa air itu mengalir, begitulah sebagaimana yang di ibaratkan dalam Zaratustra. Mereka hanya melihat tambak, bendungan, tebing—mungkin karena itu lebih memudahkan mereka untuk berurusan praktis dengan dunia. Orang yang bertumpu pada identitas benda-benda, kepada konsep dan kepada kategori, yang konstan, utuh, beku, tak bergerak dalam perbedaan, sebab dengan itu orang bisa mengaturnya, mengontrolnya, dan menjalankan pengetahuan dengan dunia serta kekuasaan atas hidup dan hal-ihwal. Negara, modal, uang, ilmu dan teknologi bermula dari sini. Dan Nietzsche—setidaknya dalam interpretasi posstrukturalis—adalah sebuah suara alternatif dari kesibukan modernitas itu.
Tentu, tidak persis demikian. Heidegger, misalnya, mengatakan bahwa pada dasarnya tidak banyak beda antara Nietzsche dan Descartes. Dengan memastikan cogito ergo sum, Descartes telah merubah manusia menjadi sang subjek, yakni substansi atau penopang yang berperan sebagai fondasi segala yang ada (beings). Dengan demikian, keputusan tentang apa saja yang dapat dianggap sebagai “sesuatu yang ada” terletak pada manusia, dan manusia pun hadir dalam posisi dominan. Bagi Heidegger, Nietzsche pun melakukan hal yang sama. Bedanya, dalam pemikiran Nietzsche, sang subjek bukanlah ego yang spiritual, melainkan tubuh, yang ditafsirkan satu pusat hasrat dan rasa, sebagai “penubuhan” dari“der Wille zur Macht”, kehendak-untuk-kuasa. Subjek itulah yang oleh Nietzsche, menurut Heidegger, jadi ukuran keber-ada-an? Dari tiap hal yang ada: terhadap suatu benda, satu barang, satu hal yang bukan-saya yang “ber-ada” di hadapan saya, sayalah yang menetukan keber-ada-annya. Memang itu tak pernah terjadi dengan proses pemikiran diskursif seperti pada renungan Descartes. Tapi bila Nietzsche menganggap kebenaran sebagai ilusi—dan itu berarti ada yang “benar” dan ada yang “ilusi”—maka sang subjeklah yang dihadirkan sebagai suatu “kekuasaan mutlak untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang palsu.”
Agaknya bagi pandangan Heidegger, Nietzsche masih belum beringsut dari baying-bayang humanisme. Ia belum manusia dari pusat hal-ihwal. Agaknya bagi Heidegger, yang cenderung menggambarkan manusia, atau Dasein, sebagai yang selamanya “terpikat” oleh wujud dan makhluk lain, dan mahkluk lain, dan yang kodratnya dibentuk seluruhnya oleh hubungan yang bersifat“gumati” dengan mereka, Nietzsche masih meneruskan pemikiran adanya subjek yang bukan saja berbeda, tapi juga lebih utama dari objek. Daripadanya kita memperoleh ideal sang kelana yang gagah berani, yang menuju ke kualitas Ubermens, menghadang resiko, memilih arung yang tak lazim, menjadi “tuan” dan bukan “budak”, mirip dengan sang jagoan dalam kisah perjalanan Odysseus. Tapi bukankah itu juga gambaran seorang entrepreneur, orang bisnis yang hendak merengkuh sesuatu yang besar, membentuk satu imperium, menaklukkan, dengan menempuh badai dan melawan arus? Dan bukankah Odysseus bisa dianggap (oleh Adorno, misalnya) sebagai “prototype individu borjuis”?
Heidegger, yang berbicara nuram tentang teknologi, dalam perkembangan pemikiran kemudian bahkan mengemukakan bahwa di dunia ini manusia sekadar berperan sebagai “penggembala” yang memelihara misteri dari sang Ada (Sein atau Being)—satu pernyataan yang seakan-akan memberi warna mistis bagi pandangan hidupnya, satu hal yang memang umumnya dianggap tak ada indikasinya dalam pandangan Nietzsche. Dalam hubungan inilah agaknya bagi Heidegger, Nietzsche—yang menentang metafisika, yang menyatakan tak ada dunia yang trasenden—telah melakukan apa yang oleh metafisika umumnya: mengabaikan Ada. Metafisika, bagi Heidegger, adalah sejarah surutnya Ada. Dan itu pula yang terjadi ketika Nietsche mengemukakan “kehendak-untuk-kuasa” sebagai “esensi dunia”, “esensi hidup”, bahkan “esensi segala hal yang ada”. Heidegger menganggap Nietzsche telah meletakkan Ada pada status nilai: sekadar suatu kondisi untuk mempertahankan dan meningkatkan kehendak-untuk-kuasa. Maka, apa bedanya dia dengan Descartes dan agenda modernitas dan himanisme yang bertolak dari sana?
Tetapi Heidegger telah salah membaca Nietzsche, menurut Derrida dan kaum posstrukturalis. Bagi Derrida, pemikiran Heidegger mengukuhkan kembali kedudukan logos dan kebenaran sebagaipremium signatum: sebagai tanda yang dalam arti tertentu bersifat trasendental. Bagi Derrida dan kaum posstrukturalis, Heidegger benar jika ia, dalam membaca Nietzsche, bisa membiarkan bahasa Nietzsche tidak bekerja sebagai metafora. Bagi Derrida, hanya dengan menelaah bahasa Nietzsche secara demikian, Nietzsche justru akan tampak telah mampu membebaskan penanda dari sifat ketergantungannya dan derivasinya, sehingga penanda pun tidak akan ditentukan oleh dan tidak akan pula berasal usul dari logosatau konsep tentang kebenaran yang terkait.
Derrida pun mengajukan argumennya tentang “main”. “Main” adalah “tidak hadirnya petanda yang trasendental sebagai ketidakterbatasan main.”
Karena Nietzsche percaya bahwa kebenaran adalah ilusi, karena ia tidak mengasumsikan bahwa akan mungkin penanda yang cocok dengan petanda yang ditandainya, karena realitas adalah dumadi, yang terus dalam prosen menjadi, berubah, mengalir, dan tiap titik dalam air tidak pernah kembali, bahkan yang ada dalam suatu khaos, Derrida tampaknya ingin menampilkan Nietzsche sebagai isbat, suatu afirmasi, kepada gerak penanda yang putus-putusnya menandai, suatu signifiant yang menari-nari terus tanpa tempat menambatkan diri, tanpa suatu signifie, tanpa rumah asal tanpa tujuan akhir, tanpa nostalgia: yang ada sebuah tanah air pikiran yang telah hilang. Sang Ubermens, kata Derrida, membakar teks nya dan menghapus jejak langkahna sendiri, tertawa ke arah jalan kembali, dan ia akan menari, di luar kebenaran dan “rumah Ada”, lupa secara aktif …
Mari menari, mari tertawa, mari berlupa…
Derrida, seperti ditunjukkan oleh Michael Haar dalam satu esai yang cemerlang yang menggambarkan bagaimana Derrida “memainkan” Nietzsche, sebenarnya menjalani suatu startegi HyperNietzshean. Dengan mengatakan “menulis adalah permainan dalam bahasa”, di mana penanda bergerak dengan tidak lagi memiliki petanda, suatu proses main intra-linguistik yang tanpa henti, suatu proses permainan dari segala yang ada yang berlangsung di atas “papan catur tanpa dasar” yang tanpa penahan dan tanpa kedalaman—semuanya itu agaknya melebih-lebihkan apa yang disebut Nietzsche sebagai dorongan untuk bermain sebagai suatu bagian dari kehendak-untuk-kuasa.
Sebab, seperti yang dikatakan Michael Haar, bagi Nietzsche, dunia bukanlah sebuah “papan catur tanpa dasar”. Pelbagai daya yang hadir dalam khaos berlangsung dengan menopang dan mempertahankan manusia. Bagi Nietzsche, bahasa bukanlah cakrawala tanpa batas yang terus menerus tertunda garis batasnya. Menulis adalah suatu imitasi dari bicara. Memang, menulis bisa menyembuhkan bahasa dari cakap yang tanpa intensitas yang biasa disenangi orang banyak. Tapi pada dasarnya menulis hanya sebuah salinan pucat, dan sebab itu Nietzsche mengatakan: “Aku hanya suka apa yang ditulis dengan darah.”
Tidak selamanya bisa pas menang. Terutama karena “kata dibuat untuk gaya berat”, seperti yang dikatakan Zaratustra, dan hanya nyanyi, music, yang tidak berbohong pada dia yang “ringan”. Kata akan selalu dibebani makna, lagu bisa tak mengacuhkan hal itu.
Derrida bisa mengatakan bisa mengatakan bahwa justru dengan mengatakan hal itu, Nietzsche mengutamakan yang tanpa-beban-makna, yang tanpa harus terkait dengan petanda, yang mengingatkan, bahwa kebenaran adalah ilusi. Tapi bisakah sebenarnya kita mengatakan bahwa kebenaran adalah ilusi? Bukankah dengan mengutarakan kalimat itu, Nietzsche sebenarnya mengutarakan kebenaran?
Dalam bukunya, St. Sunardi cenderung mengatakan “ya”. Bagi Nietzsche, kata Sunardi, kriterium kebenaran berbeda dari yang dirumuskan Descartes. Kriterium kebenaran adalah “semakin tingginya kesadaran orang akan adanya kekuatan.” Ada yang memberi kesan dekatnya Nietzsche dengan pragmatisme disini. Pun ada yang, seperti yang dikemukan oleh Sunardi, bahkan bisa dibandingkan dengan Karl R Popper: bahwa suatu ucapan atau hipotesis bersifat ilmiah, kalau secara prinsipil terdapat kemungkinan untuk menyangkalnya. Bukankah, menurut Nietzsche, kebenaran bukanlah antithesis kekeliruan, melainkan, dalam hal-hal yang paling fundamental, hanya merupakan bentuk hubungan antara berbagai macam kekeliruan? Dengan kata lain, menurut kesimpulan Sunardi, baik Popper maupun Nietzsche memperingatkan “bahaya dogmatisme kebenaran”?
Dogmatisme: kemandegan. Maka barangkali tidak ada jeleknya kita teringat kembali bahwa Zaratustra adalah seorang penari, yang hanya mau percaya kepada Tuhan yang mengerti bagaimana menari. Kepada hidup, Zaratustra berkata: “Aku menari mengikutimu, kuturutkan kau bahkan ketika kulihat jejakmu yang paling lamat. ”Kebenaran adalah Sesuatu yang didapat dari proses kreatif, tanpa dibebani pamrih, atau tanpa tujuan samping apapun; suatu proses kreatif yang menguntit hidup: itu juga sejenis “arah”, dan bisa jadi semacam “kepatuhan”, dan jangan-jangan “tanggung jawab” –setidaknya kepadasang Hidup. Saya kira, disini tampak bahwa Nietzsche memang hadir tidak untuk mengejutkan, tidak usah mengejutkan.
+
Catatan:
* Berbeda dengan St. Sunardi, saya menerjemahkan kata der Wille zur Macht dengan “kehendak-untuk-kuasa” (atau lebih tepat mungkin: “kehendak-menuju-kuasa”. Kata Macht (Jerman) atau power (Inggris) tidak sekadar berarti “kekuasaan”, yang berarti “dominasi”. Juga kata “kuasa”: kata ini mengandung baik arti “kekuasaan” maupun arti “daya”.
** “The Play of Nierzsche in Derrida”, dalam Derrida: A Critical Reader, dengan editor David Wood, diterbitkan oleh Blackwell Publishers, 1992.
Wuaduh, berat… baik topik dan bahasanya. Mesti baca pelan-pelan sih, dan setelah dibaca saya jadi bertanya-tanya sendiri, jadi kebenaran itu apa? Sesuatu yang disepakati oleh semua orang sampai kita semua membuktikan bahwa itu salah? Dengan kata lain, kebenaran bersifat relatif? Bahkan pada kebenaran yang kita anggap sebagai “hakiki”?
Kalau kata Nietzsche sih, “What are man’s truths ultimately? Merely his irrefutable errors.” Pada akhirnya kebenaran manusia hanya kesalahan tak terbantahkannya.
Iya juga sih, malah jadi relatif. Sesuatu yang salah, tapi tetap bertahan, hampir pasti akan jadi suatu kebenaran yak.
GM tulisannya selalu bikin pencerahan (kalo menegerti) hehe…
Iya ini lagi suka sama tulisan-tulisan GM, biar intelek.
Tapi setiap tulisannya ini, mengambil istilahnya Saut Situmorang sih disebut ‘hukum rokok’. Cuma enak buat dihisap, tapi ga terlalu esensi, dan kayak rokok, cuma buat gaya-gayaan. Dan saya tetap menikmatinya.
Kalau ngomong soal Nietzsche, kalimat yang saya ingat cuma “God is dead.”
Jadi ingat meme yang lucu ini
http://www.lifeposters.org/wp-content/uploads/2012/05/842751002731.jpg
“God is dead.” (Nietzsche, 1883)
“Nietzsche is dead.” (God, 1900)
Iya emang meme ini paling sering dipake buat nyerang argumen ‘God is dead’-nya Nietzsche. Padahal sebenernya kalau dipelajari, justru Nietzsche ini lebih spiritualis ketimbang yg kita bayangkan.
Sebenarnya maksud Tuhan telah mati itu ya kita sendiri yg telah mematikan-Nya, malah terjerumus pada materialisme.
Wow itu dalam sekali. Nuhun buat pencerahannya kang arip.
Yg aneh sih orang atheis sendiri malah mendewakan si Nietzsche ini. Tapi emang salahnya si filsuf ini sih, yang bilang maunya disalahpahami.
Mungkin mereka langsung menangkap kalimat Nietzsche (sumpah saya perlu beberapa detik mengeja nama ini) sebagai dukungan terhadap ateisme, padahal artinya malah sebaliknya. Kedalaman pikiran filsuf itu seringkali nggak mampu dicapai orang biasa. Saya mah juga cetek2 hehe.