Di tengah hamparan sastra Sunda yang kian jarang disorot, novel Baruang Kanu Ngarora karya D.K. Ardiwinata muncul sebagai sebuah entitas yang mengendap dalam ingatan, melahirkan keberanian dalam keheningan.
Terbit pertama kali pada tahun 1934, novel Sunda ini bukan hanya karya sastra, melainkan dokumentasi, sebuah cermin dari realitas masyarakat kolonial yang resah dan bergulat dalam kesunyian.
Di balik derap kuda sejarah, ada kehidupan yang tak selalu terlihat—kehidupan yang diam-diam meletup dalam jiwa, yang diselimuti adat, kelas sosial, dan tatapan masyarakat. Inilah yang tertuang dalam novel Baruang Kanu Ngarora, sebuah karya sastra Sunda klasik yang mencerminkan ketegangan antara kehendak pribadi dan batasan sosial.
Baruang Kanu Ngarora, Racun Bagi Kaum Muda
Novel ini memusatkan kisahnya pada Nyi Rapiah, seorang wanita yang cantik jelita, sosok yang mengundang kekaguman di lingkungan sekitarnya. Nyi Rapiah menikah dengan Ujang Kusen, seorang pria desa yang penuh ketulusan. Meski pernikahan mereka berangkat dari norma dan harapan masyarakat, kebahagiaan mereka bukanlah dongeng yang sempurna. Kebahagiaan rumah tangga mereka mulai terusik oleh kehadiran Aom Usman, seorang bangsawan muda yang terpesona oleh kecantikan Nyi Rapiah.
Di tangan D.K. Ardiwinata, kisah ini tak hanya menjadi cerita cinta segitiga biasa, melainkan sebuah studi sosial yang memperlihatkan lapisan-lapisan halus dari masyarakat Sunda pada zamannya. Perasaan Nyi Rapiah terhadap Aom Usman bukan hanya ketertarikan pribadi, melainkan cermin dari aspirasi yang membeludak, kerinduan pada kehidupan yang tampak lebih bergengsi dan bebas dari batasan-batasan yang membelenggu.
Baruang Kanu Ngarora menghadirkan konflik dalam keheningan. Ardiwinata, dengan bahasa Sunda yang anggun, menggambarkan pergulatan batin Nyi Rapiah yang dihadapkan pada godaan status dan kekayaan, yang tak pernah hadir dalam kehidupannya bersama Ujang Kusen. Cinta dan loyalitas diuji di tengah benturan antara adat yang menuntut kesetiaan dan godaan hidup yang lebih gemerlap.
Aom Usman hadir sebagai simbol kelas bangsawan yang memiliki kebebasan lebih, seorang pria yang dapat merayu Nyi Rapiah tanpa rasa khawatir akan tata sosial yang membatasi. Bagi Nyi Rapiah, Aom Usman adalah manifestasi dari impian yang tak pernah dijamah, sebuah kemungkinan kehidupan yang lebih leluasa, lebih penuh kemewahan. Di balik rayuannya, ada ketimpangan kekuasaan yang tak terucap, di mana bangsawan seolah memiliki hak tak tertulis atas perempuan-perempuan jelata yang terpesona oleh keanggunannya.
Namun, di sinilah letak kekuatan novel ini: D.K. Ardiwinata tidak menyajikan kisah ini sebagai kisah cinta semata. Di dalamnya, terselip sebuah pertanyaan eksistensial tentang pilihan dan kebebasan dalam masyarakat yang diatur ketat oleh adat.
Konflik antara Nyi Rapiah, Ujang Kusen, dan Aom Usman adalah perwujudan dari ketegangan kelas sosial yang tak terhindarkan. Bahwa bagi Nyi Rapiah, pilihan antara Ujang Kusen dan Aom Usman bukan hanya pilihan antara dua pria, melainkan pilihan antara dua dunia yang berbeda, antara stabilitas dan gairah, antara adat dan pemberontakan.
Pada akhirnya, Baruang Kanu Ngarora adalah sebuah elegi bagi mereka yang terperangkap dalam cinta yang tak sampai. Ia mengangkat kisah manusia biasa yang terjerat oleh pilihan-pilihan yang tak pernah sepenuhnya bebas, tertekan oleh norma-norma yang lebih besar daripada diri mereka sendiri. Dalam keheningan itulah, suara novel ini bergema—menunjukkan bagaimana masyarakat Sunda pada masanya memandang cinta, kelas sosial, dan kehormatan.
Membaca Baruang Kanu Ngarora adalah merasakan pergulatan batin yang sunyi namun menggetarkan. Dalam gaya yang lirih namun penuh makna, Ardiwinata membangun sebuah dunia yang terasa nyata, di mana manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang harus dihadapi dalam sunyi.
Novel Sunda ini bisa dianalogikan sebagai sebuah tangisan yang tertahan, sebuah potret keinginan manusia yang merindu kebebasan, namun terperangkap dalam balutan adat yang mengikat erat.