Novel Terjemahan Pustaka Jaya

“Kita perlu karya sastra dari negara-negara lain untuk mengembangkan wawasan dan merangsang gagasan kita. Tanpanya, kita bukan cuma mengerdil, namun kelaparan,” tulis kritikus Magnus Linklater, yang saya kutip dari pengantar novel Piramid terjemahan Marjin Kiri–satu penerbit keren yang merasa prihatin karena hari ini kita nyaris tak lagi mengenal perkembangan sastra dunia kontemporer, berbeda dengan masa awal dan pertengahan abad ke-20.

Abdul Moeis menerjemahkan karya klasik Don Quixote. Setelah diumumkan sebagai peraih Hadiah Nobel Sastra 1913, novel Rabindrath Tagore segera ada terjemahannya oleh Muhammad Yamin. Soekarno membaca kemudian mengutip Dante di sana-sini. Bahkan kaum Seniman Gelanggang Merdeka di awal 50an dengan songongnya memproklamasikan diri sebagai “ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia.” Sampai kini pun, kegiatan penerjemahan buku memang enggak pupus di Indonesia, namun porsinya makin lama makin diserbu novel remaja dan populer. Idealnya, penerbit-penerbit besar dengan dana melimpah semestinya memberi perhatian pada sastra bermutu, bukan melulu tunduk pada pasar. Perlu hadir penerbit yang “menerbitkan buku baik” seperti Pustaka Jaya.

Siapa enggak kenal Pustaka Jaya? Menyebut namanya, paling tidak ada dua hal yang paling kita ingat. Pertama, dia adalah penerbit buku sastra bermutu. Kedua, nama besar sastrawan Ajip Rosidi yang membesarkannya. Pustaka Jaya bisa dibilang sebagai tonggak baru pasca Balai Pustaka, Gunung Agung, Djambatan, dan penerbit-penerbit tua lainnya yang mulai kehabisan nafas. Penulis luar beserta karya-karyanya macam Nikolai Gogol, Fyodor Dostoyevski, Jean-Paul Sartre, John Steinbeck, Emile Zola, Ernest Hemingway, Kahlil Gibran, Yasunari Kawabata, dan pengarang lainnya diperkenalkan dengan begitu masif. Dengan penerjemah yang enggak main-main, beberapa merupakan penulis kenamaan seperti Sapardi Djoko Damono, NH Dini, Asrul Sani. “Saya punya hutang pada Pustaka Jaya. Tanpanya, saya pasti akan sangat terlambat berkenalan dengan kesusastraan dunia,” sebut esais kondang Zen RS. Belakangan, Kepustakaan Populer Gramedia kembali menerbitkan beragam seri sastra dunia hasil terjemahan Pustaka Jaya (mungkin karena pertimbangan ekonomis, entahlah).

cp4ge8sueaaew0_

Sejak digagas, buku-buku Pustaka Jaya sudah sering dibahas dalam Kelas Literasi Komunitas Aleut! Maka, pada Sabtu 6 Agustus 2016, menginjak pekan ke-54, diusunglah tema “Literasi Pustaka Jaya” yang digelar di Taman Cibeunying. Kebanyakan yang diresensi adalah novel-novel terjemahan.

Saya enggak ikut meresensi, sehingga (sengaja) datang telat. Saat tiba, si mungil Hamdan telah membahas hasil pembacaannya akan novel Notsume Soseki berjudul seperti lagu lawas Element, Rahasia Hati, kemudian diskusi melebar soal penulis Jepang dan fenomena bunuh diri-meski Soseki bukan salah salah satunya. Hamdan sendiri adalah kawan yang sering memanggil saya Murakami, saya jadi bertanya-tanya apakah Ajip Rosidi dipanggil Kawabata juga karena mengagumi dan menerjemahkan karya penulis Jepang ini.

Dataran Tortilla-nya John Steinbeck yang diterjemahkan Djokolelono memang bajingan. Kegokilan Steinbeck dialihbahasakan dengan apik oleh orang yang mencipta beragam slogan asyik; Terus Terang Philips Terang Terus, Susu Saya Susu Bendera, Pria Punya Selera. Pengarang Ahmad Tohari mengakui bahwa lahirnya trilogi Ronggeng Dukuh Paruk sangat dipengaruhi dari hasil pembacaannya pada novel Dataran Tortilla ini. Mbak Nurul yang kebagian merensensi novel ini juga mengiyakan karena menikmati pembacaannya. Kalau saja bukan karena untuk diresensi, saya bacanya bakal dilama-lamain, ungkap wong Bantul itu.

Berbeda dengan Tintin yang mendapat Cinta Pertama-nya Ivan Turgenev, dan mengaku menyerah di tengah jalan karena enggak terlalu paham konteks latarnya. Memang, seringnya saya pun bakal menikmati cerita dalam novel klasik justru setelah membaca di seperempat akhirnya, harus memaksakan diri beradaptasi dengan semesta cerita. Novel klasik Rusia sendiri terkenal berkat kehebatannya dalam menyampaikan beragam konsep psikologi dan hubungan manusia yang kompleks lewat jalan kisah.

kelas literasi taman cibeunying
kelas literasi taman cibeunying
kelas literasi taman cibeunying
kelas literasi taman cibeunying

Tahun 1980-an Ajip Rosidi pergi ke Jepang dan mendelegasikan Pustaka Jaya kepada orang lain. Sayang beribu sayang, sejak saat itu Pustaka Jaya terpuruk. Pustaka Jaya yang tadinya memiliki standar buku-buku baik yang hendak dicetak, mulai bergeser ke memenuhi selera pasar. Karena semakin merugi, Ir. Ciputra berniat menyarankan Pustaka Jaya ditutup saja. Lalu sekembali dari Jepang, ia menahan keinginan Ir. Ciputra dan lalu membeli saham Pustaka Jaya yang ada di tangan Ir. Ciputra dan berupaya mengembalikan kejayaan Pustaka Jaya. Tapi waktu demi waktu, Pustaka Jaya semakin meredup. Untuk menghidupi Pustaka Jaya, cukup sering Ajip Rosidi menjual hartanya, seperti lukisan untuk menyambung umur Pustaka Jaya. “Saya ingin Pustaka Jaya bisa hidup, sehat, agar buku-bukunya dibeli oleh umum. Dan buku-buku itu penting dilihat dari segi kebudayaan,” tegas Ajip Rosidi.

Kondisi perbukuan banyak merugi dengan kompetisi yang makin berat, lebih-lebih di negara bernama Indonesia. Rezim bestsellerism telah banyak menimbulkan krisis keuangan penerbit-penerbit lama, seperti Djambatan, Balai Pustaka, dan sekarang Pustaka Jaya. “Menulis adalah sebuah bisnis mengerikan, dan menyedihkan,” sebut pengarang Amerika, Ann Patchett, “Tetap bertahan. Itu lebih baik daripada apa pun di dunia.” Haruskah saya berganti nama jadi Ajip dan mengakuisisi Pustaka Jaya?

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1767

11 Comments

    • Sebelum ada NET, komunitasnya sih udah kece sejak 2006, buat kelas literasinya emang baru jalan setahunan

  1. Nah, betul. Hingga kini saya belum kesampaian beli buku terjemahan itu. Kayaknya akan sy koleksi satu per satu…

  2. Pustaka Jaya meredup? Salah siapa? Yang salah adalah prinsipnya. Penerbit adalah bisnis. Coba Pustaka Jaya mau longgar melebur dengan pasar, buku bermutunya akan terus terbit karena pasar ikut menyokong. Ah, sudahlah, kadang masalahnya lebih dari soal prinsip.

    • Ini kasusnya mirip band indie yg dipaksa harus masuk label lalu bikin musik yg sesuai selera pasar biar bisa disebut sukses. Enggak mau dikatrol pasar kok dianggap salah prinsip? Entahlah, para idealis memang kumpulan orang-orang dungu yg tak mengerti bisnis mengeruk untung.

  3. Yang mau berubah sesuai tuntutan zaman akan bertahan. Yang mempertahankan prinsip akan tergerus dan tenggelam, lalu tinggal cerita yang tentu tak lama.
    Penerbitan adalah bisnis.

  4. Nah, ini yang dulu sempat saya pikirkan. Selera pasar sebenarnya bukan hal yang bisa kita jadikan patokan baca. Tapi selera pasar adalah tempat yang bisa kita gunakan untuk menilai selera kebanyakan orang, apakah sesuai dengan selera kita atau tidak. Hm.

    • Ikuti aja @komunitasaleut di Twitter atau Instagram buat info mah, atau bisa maen ke Kedai Preanger di Solontongan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *