Sebagai blogger, pernah terlintas impian untuk bisa bikin buku berformat personal literature komedi – genre yang marak dan melejit berkat Raditya Dika, Alitt Susanto, Benazio Putra, dan seleblog lainnya. Namun, kelihatannya ini jenis buku yang nggak mungkin saya lahirkan. Pertama, saya bukan blogger populer, siapa pula yang pengen baca kehidupan orang yang membosankan? Kedua, saya nggak jago melucu. Ketiga, ternyata pelit komedi menjadi bacaan yang selalu bikin saya kecewa, nggak menarik hati, orgasmenya nggak dapet. Pengecualian mungkin buat Tetralogi Drunken-nya Pidi Baiq.
Ketika membaca belum saya jadikan hobi, saya nekat bikin blog, mulai mencoba menulis dan langsung bercita-cita ingin jadi seorang penulis populer, terinspirasi Radith. Saat itu 2008, pas masih imut-amit berseragam SMA, dan saya hanya mengenal namanya tanpa pernah coba baca karya penulis metropop itu.
Cita-cita jadi penulis tadi sesungguhnya hanya bual besar doang. Menulis tanpa dibarengi banyak membaca adalah ketololan. Belakangan saya baru menyadari bahwa menulis justru adalah perpanjangan dari membaca. Jadilah pembaca, maka kau pun akan jadi penulis.
Dengan setengah depresi, seorang novelis favorit saya pernah curhat, “I can never read all the books I want.” Seperti lakon ‘Aku’ dalam novel pertamanya Murakami, maka yang tadi berkata adalah Sylvia Plath, penulis yang kemudian mati bunuh diri, penulis kesukaan saya. Ya, saya merasa telat jadi pembaca, maka bakal telat pula jadi penulis.
Saya tengah menggilai beragam karya dari penulis-pemikir Barat, baru sebatas jatuh cinta sih. Belum sampai bercinta dengan Plato, Homer, Voltaire, Victor Hugo, Dickens, Dostoyevsky, Kafka, Tolstoy, Herman Hesse, Camus, Sartre, Milan Kundera, dan lainnya. Kemudian saya ingin pula berpetualang bersama Salman Rushdie, Kawabata, Murakami, Pamuk, Mo Yan, Jorge Luis Borges, Gabriel Garcia Marquez, dan lainnya. Tapi tentu saja, saya ingin pula lebih mengenal kampung halaman, kalau perlu dari era Pujangga Lama sampai Pujangga Kontemporer-Kekinian, dan nggak lupa karya sastra Sunda pun ingin saya lahap. Tapi pada akhirnya, seperti sang penulis The Bell Jar tadi, “I can never read all the books I want.”
Saya ingin menjadi ‘Tuhan’, menjadi minimal ‘Yang Banyak Tahu’, agar selanjutnya bisa membuat suatu ciptaan yang bernama novel. Sebuah philosophical fiction. “The book to read is not the one that thinks for you but the one which makes you think,” ungkap Harper Lee. Ya, saya ingin bikin novel yang memprovokasi pikiran. Rilis entah kapan, tapi yang pasti ini sudah ada dalam dunia gagasan saya, dan semoga si pemalas ini bisa mengerjakannya.
Seperti ‘Aku’ dalam novel pertamanya Murakami, yang di usia awal 20an punya impian bisa bikin novel, namun bingung mau nulis apa. Ya, inilah saya, sedang dalam fase kebingungan akan beragam hal. Kemudian datang inspirasi yang memotivasi sekaligus memprovokasi dari ucapan Heartfield, “Lantas apa artinya menulis novel yang isinya sudah diketahui semua orang?”
Buku yang disukainya keren-keren. Tipe bacaan yang aku gak sanggup bacanya hoho
Dan sejauh ini yang paling keren sih tetep Al-Quran. Paling memprovokasi pikiran. 😀
I can never read all the books i want. Iya sih rip, saking banyaknya yang ingin dibaca jadi bingung mana yang akan didahulukan, belum kendala sama waktu kuliah hehe
Ayo rip bikin buku, nanti aku beli.
Yes, I can never read all the books I want, but I’ll try to read anything till die. 😀
Janji ya bakal beli, alhamdulillah novelnya udah laku sama satu orang, meski belum rilis.
Wah wah masih muda bgt kamu, hahaha. Thn 2008 masih SMA. Aku pertama kali ngeblog juga pas baru masuk SMA, maksudnya: baru masuk jd guru di salah satu SMA 😆 itu pas 2005. dan lumayan terinspirasi juga oleh Raditya Dika.
Asyik dipuji masih muda, tapi ga muda-muda amat sih.
Saya nyampe beli Draft 1-nya Winna Efendi, saking kebelet bikin buku 😀
Tapi masih aja jalan ditempat.
Hihi, saya ge udah khatam baca buku eta mah. Tapi bener, masih sama-sama macet euy. 😆
Wah.. bacaannya berat2 yak. Keren dah..
Ga sampe 1 kwintal kok berat bukunya.
mungkin apa sekitar 99 kg? hehehe.
kamu aja merasa telat apalagi aku…pake bangeeeet kali…tapi gue masih hidup masih diberi Tuhan waktu untuk berkarya
“Menulis tanpa dibarengi banyak membaca adalah ketololan.” statement yang paling aku suka. Bahasan mas arip dewa lah 😀
Segala jijik bagi Arip.
aje gile bukunya tingkat tinggi ahhaha
memang terlalu membingungkann. . .kalau ingin sukses di dunia penulisan kayaknya musti bikin genre baru, kayak rditya dika dulu kan bikin genre baru tapi sekarang genre itu sudah terlalu mainstream. sudah terlalu banyak dimana mana
Saya salut sama pengarang buku. Sesuatu yang saya inginkan juga: ngarang buku.
Buku bacaannya keren euy. Saya juga mau baca nanti buku itu.
wah mas arip keren bangettt bacaannya…. ayo saya dukung nih klo mas mau jd penulis Semangattt…
Aduh gatau kenapa ya setiap kamu bahas soal buku, nafsu membacaku jadi liar. Jadi kepengen deh bisa baca banyak buku, menjadi ‘Tuhan’, seperti kata kamu. Mana referensi buku kamu tuh seksi-seksi semua. Hahahahaha. Semangat arip, ditunggu karyanya!
novelnya agak bikin mikir ya
keren bro, semoga jadi penulis novel hebat nantinya, semangat 🙂
wah. keren, bung. salam kenal.
Makasih bung!
wah kalau tipikal buku2 bacaanya seperti ini …. tinggal tunggu waktu saja menjadi penulis yang hebat … aamiin
Amin.
membaca sekumpulan pena arip, membuat orgasmeku bertahan lama… hahayy, bisa juga gua pake bahasa arip ini.. salam kenal bung arip. keren kali.. 😀
Sial, blog ini sudah jadi situs porno rupanya.
memang sial ripppppp
Bacaannya berat. Nanti tulisannya juga berat alias mendalam tuh.
Memang kadang punya idealisme menuliskan apa yang belum diketahui orang lain dan mebuat semacam gebrakan dalam dunia literasi gitu. Tapi, yang perlu diingat dalam setiap amal berkelanjutan adalah konsistensi dan kesabaran. Semangat saja lah 😀