Pertanyaan yang sering bikin saya tersenyum adalah ini: “Perawat perempuan kan dipanggil suster, lalu perawat laki-laki dipanggil apa?”
Bagi seseorang yang pernah kuliah di Keperawatan, pertanyaan ini bukan hanya sekadar soal panggilan, tapi sebuah pintu masuk menuju refleksi yang lebih dalam tentang identitas dan pengakuan profesi perawat.
Kenapa Perawat disebut Suster?
Panggilan “suster” begitu lekat dengan citra seorang perawat. Dari masa kecil, kita terbiasa mendengar orang menyebut perawat perempuan sebagai suster. Tapi, tahukah kita asal-usul istilah ini?
Suster sebenarnya merupakan warisan zaman kolonial Belanda, diambil dari panggilan untuk biarawati yang bekerja di bidang kesehatan. Mereka merawat para pasien dengan penuh kasih, membawa tugas suci dari gereja ke dalam dunia medis.
Lalu, bagaimana dengan perawat laki-laki? Dalam beberapa konteks, mereka dipanggil “brudder,” yang, seperti halnya suster, terinspirasi dari biara dan komunitas keagamaan.
Namun, istilah-istilah ini sebenarnya mengaburkan esensi profesi keperawatan. Suster dan brudder membawa nuansa relijius yang kurang tepat untuk menggambarkan kompleksitas keahlian seorang perawat modern.
Profesi Perawat Modern
Profesi ini, seperti yang saya pelajari, membutuhkan lebih dari sekadar sentuhan kasih; ini adalah keterampilan, pengetahuan, dan dedikasi ilmiah. Pada Januari 1983, dalam Lokakarya Nasional di Jakarta, pengakuan ini resmi disahkan.
Sejak saat itu, kita mulai bergerak ke arah yang lebih jelas, dengan lahirnya Undang-Undang Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 sebagai tonggak utama.
Namun, di balik istilah “suster” dan “brudder,” ada istilah lain yang lebih akrab di telinga masyarakat: mantri.
Mantri lebih mengarah pada praktisi kesehatan tradisional, semacam tabib yang bekerja di desa-desa. Meski peran mereka penting, mantri bukanlah perawat dalam pengertian modern. Mereka lebih dekat dengan dukun atau pengobatan alternatif daripada tenaga medis yang dididik di universitas.
Sosialisasi Panggilan Ners
Kini, kita melihat munculnya kampanye untuk menyosialisasikan istilah “Ners.” Beberapa teman seprofesi dengan semangat mempromosikan panggilan ini, yang diserap dari bahasa Inggris, “nurse.”
Dalam konteks akademik, “Ners” bahkan telah menjadi gelar resmi bagi mereka yang menyelesaikan pendidikan profesi setelah menempuh S1 Keperawatan. Panggilan ini mencerminkan profesionalisme, pengakuan akademik, dan keterampilan ilmiah yang lebih sesuai dengan dunia kesehatan modern.
Namun, panggilan “Ners” belum begitu populer di masyarakat luas. Kita masih lebih sering mendengar “suster” di rumah sakit, atau “mantri” di puskesmas.
Mungkin sudah saatnya “Ners” disosialisasikan lebih sering, bukan hanya oleh para perawat, tapi juga oleh institusi kesehatan. Konsensus sosial, dan bahkan legitimasi melalui peraturan, bisa menjadi langkah awal yang baik untuk memperkenalkan panggilan ini ke tengah-tengah masyarakat.
Sebagai seorang yang pernah berkecimpung di dunia keperawatan, saya melihat perubahan ini tidak sekadar soal nama, tapi pengakuan.
Karena pada akhirnya, perawat adalah profesi yang tidak hanya merawat, tetapi juga memastikan keselamatan dan kesejahteraan hidup banyak orang. Dan dengan nama yang tepat, pengakuan itu semakin nyata terasa.