Penari Izu, Yasunari Kawabata [2/3]

penari izu yasunari kawabata

3

Keesokan paginya lewat jam sembilan si laki-laki mengunjungiku di rumah penginapanku. Aku yang ketika itu baru bangun mengajaknya pergi mandi. Hari itu cerah dan agak hangat seperti patutnya di Izu Selatan. Anak sungai yang airnya naik di bawah tempat mandi tertimpa sinar matahari yang hangat. Terasa olehku rasa risau tadi malam bagaikan mimpi belaka. Dan aku menyapa si laki-laki itu,

“Rupanya sangat ramai sampai larut tadi malam, ya.”

“O, biasa saja. Kedengaran?”

“Memang kedengaran.”

“Mereka orang sini. Orang setempat biasanya terlalu ribut, jadi tidak menyenangkan.”

Karena caranya berkata seolah-olah tak mempedulikan hal seperti itu, aku pun terdiam.

“Di tempat mandi seberang sana ada perempuan-perempuan rombongan saya, lihat, mereka tertawa-tawa, mungkin kepada kita.”

Mengikuti arah telunjuknya aku pun melihat ke tempat mandi umum di seberang sungai. Dan di balik uap samar-samar kelihatan tujuh atau delapan sosok tubuh telanjang.

Dari dalam tempat mandi yang agak gelap tiba-tiba seorang wanita keluar lari bertelanjang dan berdiri di tempat membuka pakaian seakan-akan mau terjun ke tepi sungai dan berteriak-teriak sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Ia telanjang bulat. Handuk pun tidak dipakainya. Itulah si penari. Waktu aku memandang tubuhnya yang telanjang yang putih dengan kaki yang ruasnya panjang seperti pohon kiri, aku merasa dalam hatiku mengalir mataair yang jernih, dan menghembuskan nafas panjang dan tertawa lembut. Ternyata ia masih anak-anak. Begitu masih anak-anak, sehingga berani melompat ke luar ke sinar matahari dan berdiri atas ujung kaki memanjangkan tubuhnya karena gembira melihat kami. Karena aku segar dan gembira, aku terus tertawa lembut. Otakku menjadi jernih. Aku terus tersenyum.

Karena rambutnya sangat lebat, aku semula mengira si penari berusia tujuh belas atau delapan belas tahun. Apalagi ia berpakaian serupa gadis remaja, aku ternyata salah duga sama sekali.

Setelah aku kembali ke bilik bersama si laki-laki, tak lama kemudian gadis yang paling tua datang ke halaman rumah penginapanku dan melihat-lihat kebun bunga seruni. Si penari datang meniti jembatan sampai di tengah.

Perempuan empat puluhan keluar dari tempat mandi umum dan memandang ke arah dua gadis itu. Si penari mengangkat bahu seolah-olah berkata ia mau pulang karena mungkin dimarahi dan tersenyum, kemudian kembali dengan langkah cepat. Perempuan empat puluhan tiba di jembatan dan berseru kepadaku,

“Silakan datang main-main.”

“Silakan datang main-main.”

Gadis yang paling tua juga berkata begitu dan kesemua perempuan itu kembali ke rumah penginapannya. Si laki-laki terus berbicara denganku sampai petang hari.

Pada malam itu pada waktu aku bermain go dengan seorang pedagang kertas borongan, tiba-tiba saja kedengaran bunyi taiko dari halam rumah penginapanku. Aku mencoba berdiri.

“Ah, itu datang rombongan anak wayang.”

“Oh, yang begitu sama sekali tak menarik hati. Nah, sekarang giliran Tuan. Tadi saya menaruh di sini,” katanya. Ia asyik bermain go sambil mengetuk-ngetuk papan go itu. Sementara aku merasa tidak tenteram, rupanya rombongan penari itu hendak pulang. Si laki-laki meneriakkan salam dari halaman,

“Selamat malam!”

Aku keluar ke lorong dalam penginapan dan mengajak mereka masuk. Sebentar mereka berbisik-bisik, lalu masuk ke pintu depan. Di belakang si laki-laki ketiga gadis itu seorang demi seorang memberi hormat sambil duduk bersimpuh membungkukkan kepala seperti geisha.

“Selamat malam.”

Di atas papan go, aku mulai keteter.

“Kalau begini, apa boleh buat, saya tak bisa apa-apa lagi. Menyerah.”

“Masa begitu, saya yang terdesak. Bagaimanapun ini pertandingan yang sangat seru.”

Pedagang itu melihat kepada rombongan itu pun tidak. Dan setelah menghitung mata papan go satu demi satu, ia lebih hati-hati lagi menaruh batunya. Perempuan-perempuan itu setelah menaruh shamisen dan taiko di sudut, lalu mulai bermain gomoku narabe di atas papan catur. Sementara itu aku kalah dalam pertandingan go yang sebetulnya dapat kumenangkan. Tapi pedagang itu berkali-kali mendesakku.

“Bagaimana sekali lagi? Saya minta Tuan bermain sekali lagi.”

Tapi aku tersenyum saja, yang tak mengandung arti apa-apa. Akhirnya ia pun kehilangan semangatnya dan berdiri.

Gadis-gadis itu datang mendekati papan go.

“Malam ini masih mau mengadakan pertunjukan?”

“Mau juga,” kata laki-laki itu dan melihat kepada gadis-gadis itu, “Bagaimana ya, malam ini kita berhenti saja dan duduk-duduk di sini.”

“Setuju! Senang sekali!”

“Apa tidak akan dimarahi?”

“Tidak apa. Kalaupun berkeliling, pasti takkan ada lagi orang yang akan menanggap.”

Lalu mereka bermain gomoku narabe dan lain-lain sampai lewat jam dua belas, baru pulang.

Setelah mereka pergi, aku sama sekali tak bisa tidur, lalu keluar ke lorong dan memanggil si pedagang kertas,

“Pak! Pak!”

“Yaaa!” sahutan penuh semangat si pedagang yang usianya hampir enam puluh tahun itu sambil melompat dari biliknya.

“Malam ini kita bermain semalam suntuk! Sampai pagi!”

Aku juga merasa sangat bersemangat untuk bertanding.

4

Kami berjanji akan berangkat meninggalkan Yugano jam delapan pagi keesokan harinya. Aku mengenakan topi pemburu yang kubeli di toko di samping tempat mandi umum, dan kusembunyikan topi seragam sekolahku dalam tas. Aku menuju ke rumah penginapan mereka yang letaknya di pinggir jalan besar. Shoji di tingkat dua semuanya terbuka, jadi tanpa berpikir panjang aku naik ke sana; tapi kudapati anggota rombongan itu masih dalam futon. Aku merasa kikuk dan-terpaku berdiri di lorong.

Dalam futon dekat kakiku si penari merah padam menutupi mukanya dengan kedua belah tangan. Ia tidur bersama dengan gadis yang pertengahan dalam satu futon. Masih tinggal bedaknya yang tebal semalam. Dan warna merah pada bibir dan ekor matanya meleleh sedikit. Rupa si penari itu tidur yang sangat memilukan menyayat hatiku. Ia membalik seakan-akan tersilau. Dan sambil menutupi muka dengan kedua belah tangannya ia menyelinap keluar dari futon dan duduk di lorong.

“Banyak terima kasih atas kebaikan Tuan tadi malam,” demikian ucapan salamnya yang lembut sehingga aku yang masih berdiri tergugup.

Si laki-laki tidur bersama dengan gadis yang paling tua di dalam sebuah futon. Sebelumnya aku tak pernah tahu bahwa mereka suami-isteri.

“Saya minta beribu-ribu maaf. Sebetulnya kami merencanakan untuk berangkat hari ini, tapi rupanya malam ini akan ditanggap, jadi kami menunda keberangkatan sehari lagi. Kalau Tuan ingin benar berangkat hari ini, kita nanti bisa bertemu lagi di Shimoda. Karena kami rencananya mau menginap di rumah penginapan Koshuya, maka Tuan akan mudah menemui kami,” demikian kata perempuan empat puluh tahunan itu sambil bangkit dari tidurnya. Aku merasa seolah-olah ditolak oleh mereka.

“Bagaimana kalau Tuan juga berangkat besok? Ibu ini tetap mau menunda keberangkatan sampai besok. Lebih baik melanjutkan perjalanan dengan berkawan. Mari kita berangkat bersama besok saja,” kata si laki-laki dan ditambah oleh perempuan empat puluhan itu.

“Ya begitu saja, Tuan, berangkat besok, ya. Kami minta maaf karena kami berbuat sesuka hait walaupun Tuan sangat baik hati menyertai kami. Walau bagaimana juga besok pasti kami berangkat. Lusa adalah hari yang keempat puluh sembilan untuk memperingati bayi kami yang mati dalam perjalanan. Pada hari itu kami bermaksud hendak mengadakan selamatan ala kadarnya di Shimoda, dan supaya bisa tiba di Shimoda sebelum itu, kami selama ini berjalan bergegas. Sebetulnya saya minta maaf karena memberanikan diri meminta sudi apalah kiranya Tuan datang pada selamatan itu. Saya berani berkata begitu karena kita dapat bergaul seperti ini adalah berkat suatu keajaiban.”

Aku setuju menunda keberangkatanku satu hari dan turun ke bawah.

Sambil menunggu mereka semua bangun, aku bercakap-cakap dengan pelayan rumah penginapan itu di tempat penerimaan tamu. Si laki-laki datang mengajakku berjalan-jalan. Berjalan beberapa lama di jalan raya ke arah Selatan, kami temui sebuah jembatan yang indah. Sambil bersandar pada langkan jembatan itu, ia mulai lagi menceritakan hidupnya. Dikatakannya bahwa ia pernah ikut sebuah kelompok drama modern di Tokyo untuk beberapa lama. Sekarang pun ia sekali-sekali mengadakan pertunjukan drama di pulau Oshima. Pernah kulihat dari bungkusan furoshiki mereka sarung pedang menonjol keluar. Dia berkata bahwa kadang-kadang ia pun meniru-niru main sandiwara di ruang tamu. Di dalam yanagigori ada tersimpan pakaian sandiwara atau alat-alat dapur seperti cawan atau kuali.

“Saya akhirnya jatuh begini karena menyalahgunakan hidupku sendiri, tapi abang saya di Kofu tetap meneruskan usaha keluarga. Jadi boleh dibilang, saya di dunia ini tak ada gunanya lagi.”

“Aku kira Bung ini orang Nagaoka.”

“Oh, begitu. Gadis yang paling tua itu isteri saya. Umurnya satu tahun lebih muda daripada Tuan, jadi sekarang ia sembilan belas dan dalam perjalanan ia melahirkan bayi yang kedua sebelum genap bulannya. Dan bayinya hanya hidup satu minggu saja. Dan isteriku masih belum sembuh benar. Perempuan tua itu ibu kandung isteri saya. Penari itu adik saya.”

“Oh begitu. Saya ingat Bung pernah bilang bahwa punya adik yang berumur empat belas tahun….”

“Dialah maksud saya. Saya tidak ingin adik saya hidup seperti ini, tetapi sayang ada berbagai hal yang memaksa kami hidup begini.”

Lalu ia meneruskan ceritanya bahwa ia bernama Eikichi dan isterinya bernama Chiyoko dan adiknya bernama Kaoru. Dikatakannya pula gadis yang satu lagi bernama Yuriko dan tujuh belas tahun umurnya, dialah yang lahir di pulau Oshima dan mereka mempekerjakannya. Eikichi menjadi sangat sentimental sehingga wajahnya nampak seperti mau menangis dan tetap menatap air sungai yang mengalir.

Sekembali dari berjalan-jalan itu, kudapati si penari yang sudah mencuci bersih bedak dari mukanya, berjongkok di tepi jalan sambil mengelus-elus kepala seekor anjing. Aku mau kembali ke rumah penginapanku sendiri dan berkata kepadanya:

“Silakan datang main-main!”

“Ya, tapi kalau sendirian, bagaimana, ya….”

“Bersama dengan abangmu.”

“Ya, segera kami datang.”

Tak lama kemudian Eikichi datang ke penginapanku.

“Yang lain?”

“Mereka suka dimarahi ibu.”

Tapi sementara kami berdua bermain gomoku narabe, gadis-gadis itu menyeberangi jembatan dan terus naik ke tingkat dua. Seperti biasa mereka duduk di lorong memberi salam dengan hormatnya. Mereka duduk dengan ragu. Yang pertama kali berdiri adalah Chiyoko, yang berkata:

“Ini kamarku, kalian jangan segan-segan, silakan masuk!”

Setelah duduk-duduk kira-kira satu jam, mereka pergi ke tempat pemandian dalam rumah penginapan. Aku berulang kali diajak mereka untuk mandi bersama, tapi karena di antara mereka ada tiga orang perempuan muda aku berbohong dengan berkata bahwa aku mandi nanti saja. Si penari sehabis mandi segera datang kepadaku.

“Saya ingin menggosok bahu Tuan, karena itu silakan mandi sama-sama kami, kata kakak saya,” begitu disampaikannya pesan Chiyoko.

Aku tidak pergi mandi, tapi bermain gomoku narabe dengan si penari. Di luar dugaanku, dia pandai bermain. Kalau bertanding, Eikichi atau perempuan-perempuan yang lain dengan mudah saja kukalahkan. Dalam pertandingan gomoku aku biasanya dapat mengalahkan hampir semua orang. Tapi dengan si penari aku mesti berusaha sekuat tenaga. Aku senang juga karena tak usah berpura-pura salah langkah. Karena kami hanya berdua saja, mula-mula ia harus mengulurkan tangannya jauh-jauh untuk menggerakan batu, tetapi karena semakin asyik bermain, sedikit demi sedikit ia menjadi seakan menutupi papan permainan. Rambutnya yang luar biasa indah itu hampir mengenai dadaku. Tiba-tiba mukanya merah padam dan melompat ke luar membiarkan batunya begitu saja sambil berkata:

“Maafkan, saya akan dimarahi.”

Kelihatan si ibu berdiri di tempat pemandian umum. Chiyoko dan Yuriko juga tergesa-gesa sehabis mandi lari pulang tanpa singgah di kamar tingkat dua.

Hari itu juga Eikichi duduk-duduk di bilik penginapanku dari pagi sampai petang. Induk semang rumah penginapan yang rupanya polos dan lemah-lembut memberi nasihat padaku dengan menyatakan bahwa sangatlah sayang memberi makan kepada makhluk serupa itu.

Pada malam hari  ketika aku mengunjungi rumah penginapan mereka yang sederhana, gadis penari itu sedang berlatih bermain shamisen, diajari oleh si ibu. Ketika melihat aku ia berhenti berlatih, tapi segera mengambil shamisennya kembali karena diperintah oleh si ibu. Setiap kali nada suaranya meninggi, si ibu berkata:

“Bukankah aku bilang supaya jangan mengeluarkan suara?”

Eikichi dipanggil ke ruang tamu tingkat dua ryoriya di sebelah dan kelihatan ia seperti berkecumik.

“Apa itu?”

“Itu utai.”

“Utai? Ganjil juga.”

“Karena dia seorang serba bisa, yaoya, kita tak bisa tahu apa yang akan dipertunjukannya.”

Ketika itu fusuma dibuka oleh seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun yang disebut tukang burung yang menginap juga di situ. Dia memanggil anak-anak gadis dari rombongan penari itu, mau mengajak mereka makan. Gadis penari dan Yuriko sama-sama pergi ke bilik sebelah sambil membawa sunpit. Mereka  mulai makan torinabe sisa tukang burung itu. Ketika mereka kembali ke biliknya, tukang burung itu menepuk bahu si penari perlahan. Wajah si ibu tampak seram menakutkan.

“Hai, jangan sentuh gadis itu, ia masih perawan!”

Si gadis penari berkata kepada si tukang burung, “Paman! Paman!” dan meminta supaya dibacakan cerita Mito Komon Manyuki. Tetapi tukang burung itu berdiri dan pergi. Mungkin karena si  penari tak  berani langsung memintaku untuk membacakannya, maka dia  membujuk si ibu supaya memintaku membacakan buku  itu. Kuambil buku itu dengan sesuatu harapan. Sebagaimana kuharapkan, si penari segera  mendekatiku. Waktu aku mulai membaca, mukanya hampir menyentuh bahuku, dengan wajah bersungguh-sungguh matanya berkilauan menatap dahiku, tidak mengedip. Agaknya begitulah sikapnya kalau dibacakan  buku. Tadi juga mukanya seperti bersatu dengan tukang burung itu. Itu juga tadi kulihat. Hitam matanya yang besar dan berkilau begitu jernih, itulah miliknya yang paling indah. Garis yang berlipat di bawah alisnya begitu jelita, sehingga tak  terkatakan. Dan tawanya seperti bunga. Perumpamaan tawanya seperti bunga, betul-betul tepat untuk melukiskannya.

Tidak lama kemudian datanglah pelayan ryoriya menjemput si  penari. Setelah si penari mengenakan pakaian, ia berkata kepadaku:

“Saya segera akan kembali, harap tunggu  di sini untuk membacakan  sambungan cerita itu.”

Lalu dia keluar ke gang dan menekankan  kedua telapak tangannya ke  lantai memberi hormat.

“Mari!”

“Jangan sekali-kali menyanyi!” kata si ibu dan si penari mengangguk sedikit sambil menjingjing taiko. Si ibu menoleh kepadaku.

“Sekarang saatnya ia berubah suara.”

Si penari duduk di bilik tingkat kedua ryoriya dan memukul taiko. Sosok tubuhnya dari belakang nampak seakan-akan dia berada di ruang tamu  sebelah saja. Bunyi taiko terasa menyegarkan dan membuat hatiku gembira menari.

“Kalau ada taiko, ruang tamu menjadi riang gembira.” Si ibu pun memandang ke arah sana.

Chiyoko dan Yuriko juga pergi ke sana.

Kira-kira satu jam kemudian, mereka berempat kembali bersama-sama.

“Ini saja….” sipenari membiarkan jatuh beberapa keping uang loamperakke telapak tangan siibu. Setelah itu untuk beberapa lama saya membacakan  Mito Komon Manyuki. Lalu mereka berbicara  lagi tentang bayi yang mati dalam perjalanan. Mereka bilang bayi itu  begitu bening seperti air saja. Menangis pun ia tak mampu, tapi masih bernafas selama  seminggu.

Simpatiku yang biasa saja rupanya sudah meresap ke dalam diri mereka karena aku  tidak punya rasa penasaran ataupun  keinginan mengejek mereka, dan aku lupa bahwa mereka adalah jenis makhluk anak wayang keliling. Tanpa setahuku, aku pun sudah mereka tetapkan untuk ikut terus sampaike mereka di Oshima.

“Baik sekali kalau Tuan tinggal di rumah yang sekarang dihuni oleh si kakek. Rumah itu luas  dan kalau si kakek disuruh pergi dari sana, suasananya tenang sekali. Tuan boleh tinggal  sesuka Tuan dan bisa belajar.” Demikian mereka berbicara satu sama lain dan juga kepadaku.

“Kami punya dua buah rumah kecil dan rumah yang ada di gunung boleh dikatakan kosong.”

Sudah mereka tetapkan juga bahwa mereka akan mempertunjukan sandiwara di pelabuhan Habu dengan bantuanku pada tahun baru yang akan  datang.

Ternyata kepadaku perjalanan mereka tidak terburu-buru seperti yang kukira semula, melainkan santai tanpa melewatkan bau ladang. Terasa juga kepadaku mereka semua diikat oleh kasih sayang kekeluargaan karena mereka anak beranak sesaudara. Hanya Yuriko yang mendapat upah, sekarang pada usia mulai tahu malu dan segan, selalu diam-diam saja di depanku.

Lewat tengah malam aku meninggalkan rumah penginapan mereka. Gadis-gadis itu keluar mengantarkan. Si penari mengatur letak getaku. Ia melongokkan kepalanya dari pintu memandang langit yang terang.

“Itu bulan. Besok kita akan berada di Shimoda. Alangkah senangnya! Kita mengadakan selamatan empat puluh sembilan hari kematian bayi itu dan ibu membelikan saya sisir, dan hal-hal lain. Harap Tuan mengajak saya menonton  film.”

Pelabuhan Shimoda itu kota yang diliputi suasana yang dikenang oleh anak-anak wayang yang berkeliling di sekitar Izu dan Sagami sebagai kampung halamannya dalam perjalanan mereka.

*****

yasunari kawabata

Yasunari Kawabata (川端 康成, lahir di Osaka, 14 Juni 1899 – meninggal di Zushi, Kanagawa, 16 April 1972) adalah seorang pengarang Jepang pertama yang memperoleh Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1968. Karya-karyanya hingga kini masih dibaca bahkan di dunia internasional.

Kawabata menjadi terkenal lewat cerpen Penari Izu yang ditulis pada 1926, karena kisahnya yang mengeksplorasi erotisisme cinta anak muda ini disenangi pembaca. Kawabata memakai tokoh yang melankolis dengan menyelipkan kepahitan dalam kemanisan ceritanya. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema seperti ini.

Cerita Penari Izu ini merupakan terjemahan langsung dari Bahasa Jepang oleh Ajip Rosidi dan Matsuoka Kunio yang diterbitkan dalam kumcer Penari-Penari Jepang.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *