Penari Izu, Yasunari Kawabata [3/3]

penari izu yasunari kawabata

5

Anak wayang itu masing-masing membawa barang-barang yang mereka bawa ketika melalui Puncak Amagi. Dalam pelukan tangan si ibu anak anjingnya meletakkan kaki depan, nampak seperti sudah biasa bepergian. Setelah melalui Yugano kami memasuki gunung. Matahari pagi di atas laut menghangatkan punggung gunung itu. Kami memandang ke arah matahari pagi itu. Di muara Kawazu terbentang terang pantai Kawazu.

“Itu ‘kan pulau Oshima!”

“Itu kelihatan sebesar itu, bukan? Silakan datang, ya,” kata si penari.

Mungkin langit musim gugur ini terlalu cerah, sehingga laut di bawah matahari kelihatan agak kabur seperti musim bunga. Dari sini kami harus berjalan kaki menempuh kira-kira dua puluh kilometer sampai di Shimoda. Untuk sementara laut kadang-kadang nampak, kadang-kadang terhalang. Chiyoko mulai bernyanyi dengan santainya.

Di tengah jalan ketika ditanyai apakah akan mengambil jalan pintas yang kira-kira dua kilometer lebih pendek menerobos gunung ataukah jalan raya yang lurus dan menyenangkan ditempuh, aku memang memilih jalan pintas.

Jalan itu sangat curam, dirimbuni pohon-pohonan, sehingga kami bisa terpeleset pada tumpukan dedaunan yang membusuk. Karena aku terengah-engah, malahan kupercepat langkah sambil menangkupkan telapak tangan di atas lutut. Dengan segera rombongan itu tertinggal, dan hanya suara mereka saja yang terdengar dari antara pohon-pohonan. Hanya si penari yang  tetap menyusulku dengan langkah-langkah yang pendek dan cepat sambil mengangkat ujung bawah kimononya. Dia berjalan kira-kira dua meter di belakangku dan dia tak mau memperpendek atau memperpanjang jarak itu. Ketika  aku menoleh dan menyapanya, dia rupanya terkejut dan sambil tersenyum menjawab. Ketika ia  menyapaku, kutunggu supaya ia dapat mengejarku, tetapi ia juga berhenti berjalan dan tidak mau melangkah sampai aku berjalan lagi. Ketika jalan kian curam dan berliku-liku, kupercepat lagi langkahku, si penari terus juga mengikutiku dengan jarak yang tetap dua meter di belakangku. Gunung tetap tenang. Anggota rombongan yang lain jauh tertinggal di belakang sehingga suaranya pun tidak kedengaran.

“Rumah Tuan di mana di Tokyo?”

“Ya, aku tinggal di asrama sekolah.”

“Saya juga tahu Tokyo, karena saya pernah menari di sana waktu musim sakura berkembang. Waktu itu saya masih kecil, sehingga tidak ingat apa-apa lagi.”

Lalu si penari bertanya juga antara sebentar:

“Apa ayah Tuan masih ada?”

“Pernahkah Tuan ke Kofu?”

Diceritakannya pula tentang keinginannya melihat film di Shimoda, tentang bayi yang meninggal itu, dan tentang yang lain-lain.

Kami tiba di puncak gunung. Si penari meletakkan taiko di atas bangku di antara rerumputan yang sudah menguning lalu disapunya keringat dengan saputangan. Dan ia mencoba mengibaskan debu di kakinya tapi tiba-tiba berjongkok di dekat kakiku mengibaskan debu pada ujung bawah hakama yang kupakai. Tapi karena aku dengan cepat menarik diri, si penari terjatuh ke tanah di atas lututnya. Ia tetap sambil berjongkok mengitariku mengebas-ngebas debu, lalu ia menurunkan ujung kimono yang tadi diangkatnya itu, dan berkata kepadaku yang berdiri sambil bernafas megap-megap,

“Silakan duduk.”

Tepat di samping  bangku itu hinggap sekawanan burung kecil. Begitu tenang di sekitar itu, sehingga kedengaran suara daun kering gemersik pada ranting yang dihinggapi burung-burung itu.

“Mengapa Tuan berjalan begitu cepat?”

Rupanya si penari kegerahan. Ketika kuketuk taikonya dengan ujung jariku bem-bem-bem, burung-burung itu lari terbang.

“Aku ingin minum.”

“Saya pergi mencari air.”

Tak lama kemudian si penari kembali dengan tangan hampa dari balik pohon-pohonan.

“Apa yang kaulakukan selama di Oshima?”

Lalu si penari mulai bercerita tentang hal yang tak dapat kuterka sambil menyebut nama dua tiga orang wanita. Rupanya ceritanya bukan tentang Oshima melainkan tentang Kofu. Agaknya tentang teman-temannya di Sekolah Dasar yang sempat diikutinya sampai kelas II saja. Diceritakannya hal-hal dari masa itu sesuai dengan yang muncul dalam ingatannya.

Kami menunggu kira-kira sepuluh menit, barulah tiba tiga orang muda di puncak gunung itu. Si ibu baru sampai sepuluh menit lebih kemudian.

Ketika turun aku bersama Eikichi sengaja berangkat lebih lambat sambil bercakap-cakap. Ketika kami baru berjalan kira-kira dua ratus meter kembalilah si penari berlari dari bawah.

“Ada mataair di bawah. Datanglah cepat-cepat, karena kami tunggu tanpa meminumnya lebih dahulu.”

Demi mendengar ada air, aku pun berlari. Dari celah-celah batu gemercik air jernih mengalir. Di sekitarnya berdiri wanita-wanita itu.

“Silakan Tuan minum dulu. Sekali kami memasukkan tangan ke dalamnya akan menjadi keruh dan kami kira airnya tidak bersih lagi kalau sudah diminum oleh wanita,” kata si ibu.

Aku menyiduk air dingin itu dan minum. Wanita-wanita itu enggan meninggalkan tempat itu. Mereka menyeka keringatnya dengna handuk yang dicelupkan ke dalam air itu yang kemudian diperasnya.

Ketika kami tiba di jalan Shimoda setelah turun dari gunung itu kelihatan tidak sedikit asap orang yang sedang membuat arang. Kami beristirahat sambil duduk di atas balok-balok kayu di tepi jalan. Si penari berjongkok di jalan dan menyisir bulu anak anjing yang panjang dan tebal dengan sisir yang berwarna merah muda.

“Bisa patah gigi sisir itu!” kata si ibu memperingatkan.

“Tidak apa-apa. Nanti saya beli yang baru di Shimoda.”

Karena sejak di Yugano aku hendak diberi sisir yang biasanya ditusukkan di bagian depan rambutnya itu, maka kupikir tidaklah patut sisir itu dipakai menyisir anjing.

Melihat setumpuk bambu yang terletak di seberang jalan aku dan Eikichi berangkat lebih dulu sambil berkata, itu cocok buat tongkat. Si penari berlari menyusul kami. Ia membawa sepotong bambu besar yang lebih tinggi dari badannya.

“Untuk apa itu?” tanya Eikichi. Lalu ia nampak bimbang, dan disodorkannya bambu itu kepadaku.

“Ini saya berikan kepada Tuan sebagai tongkat. Saya ambil yang paling besar.”

“Itu tidak boleh. Yang besar mudah diketahui bahwa dicuri dan tidak baik kalau dilihat orang. Cepat kembalikan.”

Si penari kembali ke tumpukan bambu dan datang lagi berlari. Kali ini diberikannya bambu sebesar jari tengah kepadaku. Lalu ia terjatuh menyandarkan punggungnya pada pematang sawah dengan nafas terengah-engah menunggu kedatangan wanita-wanita yang lain.

Aku dan Eikichi selalu berjalan kira-kira sepuluh meter lebih dahulu.

“Tidak apa-apa kalau dicabut dan diganti dengan gigi emas.” Suara si penari kebetulan saja tertangkap oleh telingaku lalu aku menoleh dan melihat si penari berjalan berdampingan dengan Chiyoko, sedang si ibu dan Yuriko berjalan sedikit di belakang. Rupanya Chiyoko tidak tahu bahwa aku melihat kepadanya dan berkata:

“Ya betul. Bagaimana memberitahu dia, ya.”

Rupanya mereka bercerita tentang aku. Barangkali Chiyoko berbicara tentang gigiku yang tidak rapi teratur, maka si penari sampai membicarakan gigi emas itu. Rupanya mereka berbicara tentang wajahku tapi karena aku merasa begitu akrab dengan mereka, aku tidak merasa tersinggung ataupun ingin memasang telinga. Untuk beberapa lama mereka berbicara dengan suara rendah dan kemudian terdengar si penari berkata:

“Dia orang baik.”

“Ya betul. Rupanya dia orang baik.”

“Betul dia orang baik. Orang baik betul-betul baik, ya.”

Ucapannya itu bernada sederhana dan terus terang. Suara polos seorang anak-anak yang melontarkan pikirannya. Aku sendiri secara terus terang bisa mengatakan bahwa aku orang baik. Aku mengangkat mata dengan perasaan senang dan memandang gunung-gunung di sekitarku. Samar-samar ada rasa sakit di belakang kelopak mataku. Aku yang sudah berumur dua puluh tahun, setelah merenung dalam-dalam kalau-kalau tabiatku menjadi tidak lurus lagi terpengaruh kemurungan yang menekan, melakukan perjalanan ke Izu. Karena itu aku sangat berterima kasih kalau dipandang sebagai orang baik dalam arti yang umum berlaku di masyarakat. Gunung-gunung mulai kelihatan terang, artinya kami sudah dekat ke laut Shimoda. Aku menebas ujung-ujung rumput musim rontok dengan mengayunkan tongkat bambu.

Di tengah jalan kami lihat di tempat masuk dusun-dusun ada terpancang papan pengumuman:

Dilarang Masuk Kampung Ini Pengemis dan Anak Wayang

6

Rumah penginapan sederhana Koshuya segera kami dapati setelah masuk ke Shimoda dari arah utara. Aku masuk ke bilik tingkat dua serupa loteng mengikuti rombongan anak wayang itu. Tak ada langit-langit. Kalau duduk di samping jendela yang menghadapi jalan, kepala kami menyundul bagian bawah atap.

“Apa bahumu tidak sakit?” begitu si ibu berkali-kali bertanya kepada si penari. “Apa tanganmu tidak sakit?”

Si penari dengan indahnya meniru dengan indahnya cara memukul taiko.

“Tidak. Saya bisa main. Saya bisa main.”

“Wah, mujur sekali.”

Aku mencoba menjinjing taiko itu.

“Ini cukup berat, ya.”

“Itu lebih berat daripada yang Tuan duga. Lebih berat daripada tas Tuan,” kata si penari sambil tertawa.

Anak-anak wayang itu bersalaman dengan riuhnya dengan para tamu yang lain di rumah penginapan itu. Para tamu itu semuanya juga orang seperti anak-anak wayang atau pedagang keliling. Rupanya pelabuhan Shimoda itu sarang gelandangan. Si penari memberikan mata uang tembaga kepada anak-anak rumah penginapan itu yang berlari-lari anjing masuk ke biliknya. Ketika aku mau meninggalkan Koshuya, si penari lebih dahulu ke genkan, dan sambil mengatur getaku, dia bergumam seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri:

“Harap Tuan membawa saya menonton filem.”

Diantar sampai di tengah jalan oleh seorang laki-laki yang mukanya seperti bajingan, aku dan Eikichi masuk rumah penginapan yang konon dimiliki oleh bekas walikota. Setelah mandi aku bersama Eikichi makan siang dengan lauk ikan segar.

“Dengan ini belilah bunga dan sajikan pada selamatan besok,” kataku dan memberikan bungkusan uang sedikit kepada Eikichi sebelum kembali. Aku mesti pulang ke Tokyo dengan kapal besok pagi. Sudah tipis uang perjalananku. Karena aku mengatakan bahwa sebabnya urusan sekolah, mereka pun tidak memaksaku menunda kepulanganku.

Belum lagi tiga jam sehabis makan siang, aku makan malam. Dan aku seorang diri menyeberang jembatan ke sebelah utara Shimoda. Aku naik gunung Shimoda Fuji dan memandang ke arah pelabuhan. Di tengah perjalanan kembali aku singgah di Koshuya dan kudapati mereka sedang makan dengan torinabe.

“Bagaimana kalau Tuan makan walau hanya sesuap? Walaupun tidak bersih karena telah dijamah oleh sumpit wanita. Barangkali akan dapat menjadi buah pembicaraan yang akan ditertawakan kemudian hari,” si ibu berkata sambil mengeluarkan cawan dan sumpit dari dalam yanagigori dan disuruhnya Yuriko pergi mencucinya.

Sekali lagi aku diminta supaya menunda keberangkatanku sehari lagi karena keesokan harinya hari keempat puluh sembilan kematian bayi itu, tapi aku tidak menerima usul itu, dengan alasan ada urusan sekolah. Si ibu berkata berulang kali:

“Kalau begitu nanti pada musim dingin kami semua pergi menjemput Tuan sampai kapal. Silakan beritahu tanggal kedatangan Tuan. Kami menanti-nanti Tuan. Kami tak mau Tuan menginap di rumah penginapan, kami pasti menjemput Tuan sampai kapal.”

Ketika dalam bilik hanya ada Chiyoko dan Yuriko saja, aku mengajak mereka menonton filem. Tapi Chiyoko menekan perutnya.

“Saya kurang enak badan, saya lemah karena berjalan begitu jauh,” katanya dan merumukkan tubuhnya dengan wajah yang pucat-lesi. Yuriko kaku menundukkan kepala. Si penari bermain-main dengan anak-anak rumah penginapan di ruang bawah. Ketika dilihatnya aku ia merengek sambil memeluk tubuh si ibu supaya diizinkan pergi menonton filem, tapi seolah-olah kehilangan muka ia kemudian dengan lengah datang kepadaku, mengatur getaku.

“Bagaimana ini? Apa salahnya kalau sendiri saja dibawa menonton?” kata Eikichi, tapi rupanya si ibu tidak mengabulkan juga. Aku sungguh merasa heran, mengapa ia tidak boleh seorang diri. Ketika aku keluar dari genkan, si penari sedang mengelus-elus kepala anak anjing. Sikapnya betul-betul pura-pura tidak mempedulikan aku sehingga aku tidak berani menyapanya. Rupanya ia tak berdaya lagi untuk menengadahkan mukanya dan melihat padaku.

Aku menonton filem seorang diri. Seorang wanita membacakan keterangan tentang filem di bawah lampu kecil. Segera aku keluar dan pulang ke rumah penginapan. Sambil bertopang dagu di ambang jendela, lama juga aku memandang kota malam. Kota yang gelap. Terasa selalu terdengar samar-samar bunyi pukulan taiko di kejauhan. Entah apa sebabnya, air mataku bercucuran.

7

Pada pagi keberangkatanku, ketika jam tujuh aku sedang makan, Eikichi memanggilku dari jalan. Ia mengenakan haori hitam yang memakai tanda silsilah keluarga. Rupanya ia berpakaian resmi untuk melepasku. Tidak nampak para wanita. Seketika itu juga aku merasa lengang. Eikichi masuk ke bilik dan berkata:

“Semuanya juga ingin melepas Tuan, tetapi tadi malam mereka tidur larut sekali dan tidak bisa bangun pagi-pagi. Maafkan mereka tidak bisa mengantar. Ada pesan dari mereka, jangan lupa Tuan datang berkunjung pada musim dingin karena mereka tetap menunggu Tuan.”

Sudah dingin angin pagi musim gugur dalam kota. Di tengah jalan Eikichi berbaik hati membelikan aku empat bungkus rokok Shikishima, kesemak dan obat penyegar mulut Kaoru.

“Nama adik saya juga Kaoru,” kata Eikichi sambil tersenyum samar. “Di dalam kapal, jeruk kurang baik dimakan, tapi kesemak bisa dimakan sebanyak-banyaknya. Itu bisa juga mengobati mabuk laut.”

“Aku berikan ini padamu.”

Aku membuka topi pemburuku dan kukenakan di atas kepalanya. Lalu kukeluarkan dari dalam tasku, topi seragam sekolahku dan sambil meratakan kerut-likunya kami berdua tertawa-tawa.

Ketika kami mendekati tempat naik kapal, sosok tubuh si penari yang berjongkok di tepi laut menyerbu ke dalam hatiku. Ia tetap tidak bergerak sampai kami tiba di dekatnya. Lalu dia menundukkan kepala diam-diam. Melihat ia masih bersolek seperti ketika ia mengadakan pertunjukan tadi malam, hatiku lebih tersentuh. Warna merah di ekor matanya menimbulkan kesan lebih gagah kekanak-kanakan pada wajahnya yang seolah-olah marah. Lalu Eikichi berkata:

“Yang lain juga datang?”

Si penari menggelengkan kepala.

“Semuanya masih tidur?”

Si penari mengangguk.

Selama Eikichi pergi untuk membeli karcis kapal dan karcis bargas aku berkali-kali mencoba menyapa si penari, tapi ia tidak mengeluarkan sepatah kata juga sambil tetap memandangi tempat pertemuan terusan kecil bergabung dengan laut. Sebelum perkataanku selesai, ia sering hanya mengangguk-angguk.

Justru ketika itu datang mendekati seorang laki-laki yang rupanya seperti pekerja kasar dan berkata:

“Nenek, Tuan ini mungkin baik. Tuan mahasiswa mau pergi ke Tokyo, bukan? Saya kira saya mempercayai Tuan. Kalau Tuan tak keberatan, dapatkah saya menitipkan nenek ini kepada Tuan? Kasihan nenek ini. Anak laki-lakinya dulu bekerja di tambang perak di Rendaiji, tapi karena terjangkit flu baru-baru ini, dia beserta istrinya meninggal. Hanya tinggal cucunya sebesar-besar ini tiga orang. Apa boleh buat, kami sama-sama berunding untuk mengembalikan nenek ini ke kampung halamannya. Itu di Mito. Tapi nenek ini tak tahu apa-apa jadi kalau nanti sampai di Reiganjima, harap Tuan menaikkan mereka ke dalam kereta listrik yang menuju ke Ueno. Kami kuatir ini akan sangat menyusahkan Tuan, tapi kami dengan sungguh-sungguh meminta Tuan dengan sepenuh hati. Kalau Tuan melihat keadaan mereka seperti itu, tentu Tuan juga akan merasa kasihan kepada mereka.”

Pada punggung si nenek yang berdiri terbengong itu, terikat seorang bayi yang masih menyusu. Dua orang anak perempuan yang masing-masing memegang tangan si nenek sebelah kiri dan kanan, yang sulung kira-kira berumur lima tahun, yang kedua kira-kira tiga tahun. Dari bungkusan furoshiki yang kotor itu kelihatan nigirimeshi dan umeboshi. Lima-enam orang pekerja tambang  sedang membujuk si nenek. Aku dengna segala senang hati menerima permintaan mereka.

“Kami betul-betul minta tolong.”

“Kami sangat berterima kasih. Sebetulnya kami yang mesti mengantar nenek ini sampai Mito, tapi maklumlah, itu tidak bisa,” begitulah para pekerja tambang itu memberi salam kepadaku.

Bargas itu keras terayun-ayun. Si penari tetap mengatupkan mulut dan tetap memandang satu arah. Ketika aku mau memegang tangga tali dan menoleh kepadanya, si penari rupanya mau mengucapkan selamat jalan tapi itupun tak jadi dan sekali lagi ia hanya mengangguk saja. Bargas itu berangkat kembali. Eikichi melambai-lambaikan topi pemburu yang kuberikan padanya tadi. Setelah bargas itu agak jauh, barulah si penari melambai-lambaikan sesuatu yang berwarna putih.

Kapal api keluar dari laut Shimoda, sampai waktu itu aku tetap menatap ke arah pulau Oshima di tengah laut sambil bersandar pada langkan kapal. Terasa padaku perpisahanku dengan si penari seolah terjadi jauh di masa silam. Ketika aku mengintip bilik kapal ingin mengetahui bagaimana keadaan si nenek, kulihat di sekitarnya duduk orang-orang yang membujuknya. Baru aku merasa tenteram dan masuk ke dalam bilik di sebelahnya. Tinggi sekali ombak di Sagaminada. Bila aku duduk kadang-kadang oleng ke kiri atau ke kanan. Anak kapal berkeliling membawa kanadarai. Aku berbaring dengan tasku sebagai bantal. Kepalaku kosong dan waktu berlalu tak kurasa. Air mata bercucuran di atas tasku. Karena pipiku terasa dingin, aku membalikkan tas itu. Si sampingku tidur seorang anak laki-laki. Ia anak pemilik pabrik di Kawazu dan mau ke Tokyo bersiap-siap untuk mengikuti ujian masuk sekolah, karena itulah agaknya ia menyukaiku yang mengenakan topi seragam SMA Daiichi. Setelah kami bercakap-cakap sebentar, ia berkata:

“Apakah Tuan mendapat kemalangan?”

“Oh tidak. Saya baru saja berpisah dengan seseorang.”

Aku berkata begitu terus terang, tak peduli apapun juga, walau dilihat orang aku menangis. Aku tidak berpikir apa-apa. Hanya terasa seperti tidur tenteram dalam kepuasan yang menyegarkan.

Tanpa setahuku laut sudah gelap dan kelihatan cahaya lampu kota Ajiro dan Atami. Kulitku terasa dingin, dan perutku lapar. Anak laki-laki itu membuka bungkusan takenokawa. Aku makan sushi yang dibungkus dengan rumput laut seakan aku lupa bahwa makanan itu milik orang lain. Lalu aku menyerbu masuk ke dalam mantel anak itu. Aku merasakan kehampaan yang indah, sehingga dapat begitu saja menerima kebaikan orang lain. Aku merasa sewajarnya saja bahwa keesokan paginya aku mengantar nenek itu sampai ke stasiun Ueno dan membelikannya karcis ke Mito. Terasa olehku segala sesuatu berpadu menjadi satu.

Lampu bilik kapal dimatikan. Semakin kuat bau laut dan ikan mentah yang termuat dalam kapal. Dalam kegelapan aku merasakan hangatnya tubuh anak itu dan kubiarkan air mataku bercucuran. Aku merasa kenikmatan yang manis seolah-olah otakku menjadi air jernih yang terus merembes keluar sehingga tidak meninggalkan apa-apa lagi.

1926

*****

yasunari kawabata

Yasunari Kawabata (川端 康成, lahir di Osaka, 14 Juni 1899 – meninggal di Zushi, Kanagawa, 16 April 1972) adalah seorang pengarang Jepang pertama yang memperoleh Penghargaan Nobel dalam Sastra pada 1968. Karya-karyanya hingga kini masih dibaca bahkan di dunia internasional.

Kawabata menjadi terkenal lewat cerpen Penari Izu yang ditulis pada 1926, karena kisahnya yang mengeksplorasi erotisisme cinta anak muda ini disenangi pembaca. Kawabata memakai tokoh yang melankolis dengan menyelipkan kepahitan dalam kemanisan ceritanya. Kebanyakan karyanya di kemudian hari menjelajahi tema-tema seperti ini.

Cerita Penari Izu ini merupakan terjemahan langsung dari Bahasa Jepang oleh Ajip Rosidi dan Matsuoka Kunio yang diterbitkan dalam kumcer Penari-Penari Jepang.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1786

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *