Usia dua puluh dua, bagi Orhan Pamuk, bisa disebut sebagai fase revolusionernya. Sebelum usia tersebut Pamuk berada dalam ambiguitas pilihan kreativitas ihwal dunia seni, mau jadi pelukis atau penyair? Kemudian, dimulai di usia 22 ini, Pamuk memilih untuk mengisolasi dirinya dalam kesunyian kamar dan buku-buku koleksi ayahnya dengan tekad menjadi penulis. Pamuk ‘memenjarakan diri’ dalam timbunan buku selama 8 tahun sebelum bisa menerbitkan novel perdananya! Dan kita tahu, Orhan Pamuk adalah seorang peraih Nobel.
Sebenarnya apa yang menarik dengan usia 22? Mungkin tak ada, ini cuma angka, tak ada yang spesial. Tapi bagi saya, berhubung sedang berada di usia ini, tentu saja sangat tertarik akan hal ini.
In the spring of her twenty-second year, Sumire fell in love for the first time in her life.
Entahlah. Saya sering membayangkan diri ini ada sebagai protagonis dalam karya-karyanya Haruki Murakami. Dan dalam Sputnik Sweetheart ini, sejak kalimat pertama, saya langsung menemukan diri dalam seorang Sumire. Saya terjerat. Dan karena Sumire seorang perempuan, maka seperti kepada tokoh-tokoh Murakami lainnya (Naoko, Midori, Nona Saeki, Aomame, dll), saya pun jatuh cinta padanya. Senasib dengan “Aku” yang jadi narator di novel ini.
Sumire, perempuan berusia 22 tahun, menaruh hati pada ‘ibu-ibu’ yang umurnya lebih tua tujuh belas tahun darinya, dan ‘ibu-ibu’ yang bernama Miu ini sudah berkeluarga. Di samping itu, Sumire sedang dalam pergulatan untuk menggapai cita-citanya sebagai novelis. Memutuskan berhenti kuliah, merokok berlebihan, dan sebagian harinya dipakai untuk mengurung diri di kamarnya. Sumire, rupanya seperti saya, dia juga merasa sebagai protagonis dalam novel favoritnya. Sumire ingin seperti tokoh dalam novel karangan penulis Amerika, John Kerouac – tokoh yang liar, dingin, juga amoral.
Tokoh-tokoh Murakami umumnya masih muda. Jika bukan lajang, biasanya baru menikah atau menikah dan tidak punya anak. Sumire dan sang narator yang berinisial “K” sama-sama sedang dalam usian 20an. Istilah “quarter-life crisis” nampaknya pas dilekatkan pada mereka, kondisi ketika harus menapak ke ‘dunia sesungguhnya’. Gejala umum dari quarter-life crisis ini adalah perasaan kehilangan, ketakutan, kesepian juga kebingungan dalam transisi menjadi dewasa.
“Sometimes I feel so- I don’t know – lonely. The kind of helpless feeling when everything you’re used to has been ripped away. Like there’s no more gravity, and I’m left to drift in outer space with no idea where I’m going”
“Like a little lost Sputnik?”
“I guess so.”
Premis cerita Sputnik Sweetheart ini sebenarnya ada dalam cerpen Haruki Murakami berjudul Man-Eating Cats dalam Blind Willow, Sleeping Woman. Tentunya dengan tambahan formula Murakami yang seperti biasa: wanita yang penuh misteri, kucing, musik, dering telepon, persetubuhan yang aneh, juga ‘sisi lain’.
Memang ini novel dengan tema utama cinta, bisa dibilang juga, lebih khususnya tentang cinta segitiga. Tentu cinta yang dimaksud di sini bukan seperti yang disajikan dalam novel kacangan, cinta di sini lebih luas: persahabatan, cinta platonis, birahi seksual, pernikahan. Sputnik Sweetheart berputar antar tiga karakter: 1) K, sang narator yang super pasif, seorang guru sekolah dasar dan pembaca rakus yang jatuh cinta pada 2) Sumire, yang sedang bergulat jadi seorang penulis dan jatuh cinta pada 3) Miu (yang Sumire panggil “Sputnik Sweetheart”), wanita yang sudah menikah, memiliki masa lalu yang tersembunyi, dan tidak punya gairah seksual karenanya. Ketiganya disiksa oleh kehidupan mereka sendiri. Dan tak seperti novel percintaan, kita tak bakalan mendapat akhir semacam “si ini akan mendapat si itu”. Jangan harapkan hal semacam ini pada karya Murakami.
Juga, Haruki Murakami, seperti halnya Christopher Nolan dalam perfilman, selalu membawa tema utama dalam karya-karyanya: realita, mimpi, dan memori.
Understanding is but the sum of misunderstandings.
Pssst.. http://jnynita.com/2013/03/10/sputnik-sweetheart/ hahaa.. Tp udah lupa gmn jalan ceritanya.. 😀
Haha, waktu 2013 saya juga komen di sana ternyata, dan baru sekarang baca novel ini.
Di usia saya yang ke-22 saya dulu ingin memahami kehidupan. Tapi sampai sekarang saya tidak mampu memahaminya dan tambah bingung ha ha ha….
Pada bingung ya, mungkin hidup memang tak perlu dipahami, hanya perlu dijalani. Ah saya pun makin bingung.
Asik juga ya reviewnya. Anyway itu foto kayak gitu, unik! :3
Kebetulan aja cover bukunya asyik. Sama faktor yg jadi modelnya juga sih. 😎
Belum pernah baca novelnya Haruki Murakami. Hmm. Jadi semakin penasaran. Sepertinya menarik..
Ini didasarkan Man-Eating Cats? Menarik. Coba baca deh nanti.
Hm, usia 22 memang usia revolusioner #halah. Di usia itu saya memutuskan menjadi penulis blog dan syukurlah masih bisa bertahan sampai sekarang. Mungkin karena di sana saya mulai bisa menerima kenyataan hidup terus berpikir buat menjadi lebih baik :haha. Mudah-mudahan bisa jadi penulis novel yang meraih Nobel juga ya :amin.
Ini novel yang sampe sekarng belom aku baca, Riiiip!! Ketinggalan di Medan. Eyalah.. 🙁
Kalau dianggurin, mending sumbangin ke saya lah.
nggak pernah baca Haruki Murakami jadi sedikit banyak tau lewat review ini, thanks..
Boleh kok coba baca cerpen-cerpen Murakami terjemahan saya di blog ini kalau mau gratis mah. 😀
wah, makasih kalau boleh 🙂
Diingat-ingat, usia 22 bagi saya juga merupakan titik balik ._. #berasakolot
Asyik, akhirnya dibaca juga bukunya 😀 Terjemahin dong, satu bab aja … (lebih juga enggak apa-apa sih) hehehe.
Berarti bener ya, di usia segini tuh semacam masa pergolakan. Iya, saya tertarik nih buat nerjemahin, atau mungkin saya kepikirannya buat nyadur novel ini jadi semacam novela. Setelah Kafka on the Shore, mungkin ini novel Murakami urutan kedua yg saya sukai – untuk sejauh ini.
Orang hebat di umur masih mudah sudah memutuskan untuk jadi apa. Mantap.
Jadi mari tetapkan tujuan selagi muda.
Kelebihan anak muda: banyak energi, banyak maunya, banyak mimpinya.
Masalah anak muda: bingung kebanyakan energi, bingung harus ngejar mimpi yg mana, gundah dan galau selalu.
Hadeuuuu
asli
jadi kepengen punya buku juga di umur 22 tahun ini
nanti malam mau tidur dalam timbunan buku-buku ah…
*salah pengertian*
Orhan Pamuk sama Haruki Murakami nerbitin novel pertama di usia mendekat 30an. Sabar aja.
Halo, salam kenal. Resensinya sangat menarik. Saya sendiri masih sangat payah dalam membaca dan memahami Murakami.
Mungkin, tak perlu dipahami, cukup dengan dinikmati. Semakin banyak pembacaan, bertahap pasti bakal paham. Dibawa asyik aja sih. 😀
Masih 21 mah belom wajib baca buku ini yaa rip? haha
Jadi penasaran, di cikapundung ada yang jual bekas gak yaa
Ya terserah sih. Jarang nemu novel Inggris Murakami di sana, ini mah pinjem dari Kineruku.
Mendadak teringat si ‘itu’ yang ga jelas nasibnya selama 2 tahun. Nasib, oh nasib. Digantungin ga enak ya, Rip? :p
penasaran kan si ‘itu’ tuh siapa, haha
Digantungin emang ga enak, tapi yg menggantung (biasanya) enak-enak aja.
Eh, siapakah si ‘itu’? Saya pemecah kode-kodean yg buruk.