“Bukan cuma sepakbola, Islam pun sangat patriarkis,” komentar admin Simamaung yang duduk di sebelah. Selain menyimak pemaparan panelis, kami berdua membuat diskusi mungil tersendiri: cara menjadi moderator yang baik, buruh perkerataapian tahun 1930an, sumbangan syair-syair jahiliyah dalam Al-Quran, beberapa yang lain, termasuk soal agama yang begitu maskulin (dia mencontohkan beberapa ayat Al-Quran yang secara bahasa tertuju cuma buat lelaki).
Apalagi si moderator gempal, tanpa babibu, di awal langsung menyudutkan seorang panelis untuk membahas represi pada perempuan, khususnya urusan (menikmati) sepakbola, yang terjadi di sebagian besar dunia Arab. Mungkin ini dikarenakan sang panelis, Pradewi Tri Chatami, yang sekarang menjadi salah seorang editor Marjin Kiri, pernah menerjemahkan buku Laila Khaled: Kisah Pejuang Perempuan Palestina, sehingga menganggap dirinya pakar soal isu Timur Tengah. TC mengelaborasi dengan isu yang terjadi di negera kita, yang menurutnya tak beda jauh dengan dunia Arab, dalam hal merepresi. Dia mencontohkan fasilitas stadion yang tak begitu ramah buat perempuan, serta kekerasan verbal yang masih menghantui.
“Kitu weh si Cau mah, lain pengantar basa-basi heula, kalah langsung contoh kasus,” kritik saya pada admin Simamaung. Dia mengiyakan, dan tertawa, dan tak bakal ada yang tersinggung. Memang, antara saya, admin Simamaung, dan si moderator gempal adalah kawan dekat. Obrolan Om Bandung, acara bincang-bincang soal persepakbolaan, yang sekarang menghadirkan tajuk perempuan, diselenggarakan di markas BCCF, di Jalan Taman Cibeunying Selatan No. 5.
Bahasan berlanjut ke panelis berikutnya, Ahmadiawati Sejati, penyuka Persib yang berafiliasi dengan organ Viking. Tumbuh di keluarga yang enggak terlalu doyan bola, Jati mengisahkan pengalaman jatuh cintanya pada Persib yang mulai tumbuh sejak tim ini memenangkan titel jawara pada musim 1993-1994. Diajak bergabung masuk Viking oleh seorang teman, sementara si teman tadi tak ikut-ikutan lagi, Jati terus lanjut. Menonton langsung di stadion punya candu tersendiri. Jika boleh membahasakan pandangan Jati, dia mengaku kondisi stadion memang maskulin banget, dan perempuanlah yang dituntut menjaga sikapnya.
Rina Fakhri, magister ilmu komunikasi, membahas soal media sosial. Tapi yang menarik buat saya adalah pengalamannya soal menjadi ibu rumah tangga. Dia menceritakan kalau dirinya tak bisa menonton langsung ke stadion karena dituntut mengurus anak. Di rumah pun dia tak bisa leluasa menonton Persib, karena si anak bakal merengek agar tayangan dipindahkan ke saluran lain. Ujungnya, dia cuma bisa jadi “bobotoh timeline”, istilah yang dialamatkan sendiri buatnya, yang artinya cuma melihat pertandingan lewat live tweet dari akun-akun bola, salahsatunya Simamaung. Saya melihat, justru inilah masalah yang sebenarnya harus didiskusikan. Artinya, ketika kebebasan untuk menonton Persib direbut, ketika menikmati sepakbola hanya jadi privelase kaum lelaki, ketika perempuan jadi seorang ibu dia kalah lewat pembebanan fungsi domestik.
Bahasan berlanjut ke soal konflik dalam sepakbola, Amalia U. Sandra sang panelis dalam tesisnya meneliti soal konflik antara pendukung Persib dan Persija. Konflik suporter ini sama seperti konflik berdarah di Maluku, ujarnya. Kemudian dia menjelentrehkan soal teori konflik, yang bagi saya terkesan seperti dosen dan penjelasannya agak normatif. “Konflik dengan pihak luar harus tetap dipupuk, agar tak terjadi konflik internal. Kalau sama The Jak enggak musuhan, nanti Bobotoh yang konfliknya sama diri sendiri. Harus selalu ada musuh,” komentar saya agak totalitarian pada admin Simamaung. “Konfliknya aja yang harus dikontrol, musuh ya harus tetap ada,” tegas saya. Saya kayak cowok yang lagi mansplaining.
Secara garis besar, itu yang terbahas, meski sebenarnya banyak selintingan atau fragmen-fragmen yang bakal menarik kalau dibahas lebih lanjut (dan saya terlewat mengingat dan mencatatnya). Sepakbola, sebut Terry Eagleton, menawarkan para pengikutnya keindahan, drama, konflik, liturgi, karnaval dan keadaan aneh tragedi. Tapi keasyikannya sebagian besar cuma buat lelaki. Di sinilah bagaimana caranya agar sepakbola sebagai tontonan itu bisa dinikmati lintas gender, terlebih bagaimana kesetaraan gender bisa hadir dalam stadion.
Obrolan Om Bandung telah membahas persepakbolaan soal budaya tribun, media daring, musik, dan sekarang perempuan. Untuk ke depannya, saya pikir di tiap bahasan apapun harusnya ditampilkan pula pemateri perempuan, untuk lebih membuka dialog dan perspektif. Dengan konsekuensi, judulnya jadi Obrolan Om dan Tante Bandung.
Sepakbola sexy…
Wkwkkwk..