Dalam beberapa dekade terakhir, kita menyaksikan transformasi dramatis dalam dunia sepak bola yang mengintegrasikan klub-klub dengan kapitalisme global. Persib Bandung tak luput dari perkembangan ini, di mana modernisasi, profesionalisasi, dan komersialisasi mendefinisikan kembali identitas klub di mata para pendukungnya.
Dengan privatisasi yang dilakukan Persib sejak beberapa tahun lalu, kita perlu bertanya: apakah Persib, dalam proses privatisasinya, masih menjadi representasi masyarakat Bandung, atau justru menjadi sekadar komoditas?
Inilah yang saya sebut “fetisisme Persib”: fenomena di mana klub ini dipuja dengan cara yang serupa dengan bagaimana konsumen memuja merek-merek terkenal.
Privatisasi Persib dan Perubahan Identitas Klub
Privatisasi dalam sepak bola adalah langkah untuk mengubah model organisasi klub dari yang dulunya berbasis komunitas atau pemerintah menjadi perusahaan yang didorong oleh keuntungan.
Di era modern, klub sepak bola besar di dunia tak hanya berfungsi sebagai tim olahraga, melainkan juga korporasi dengan kepentingan finansial yang kompleks. Hal ini diadopsi pula oleh Persib Bandung, yang perlahan-lahan bertransformasi dari klub yang didanai APBD menjadi institusi yang dikelola oleh korporasi.
Apa yang dilakukan oleh privatisasi ini adalah menjadikan klub sebagai bagian dari “industri hiburan.” Pemilik dan sponsor menginvestasikan dana besar dengan harapan keuntungan finansial. Infrastruktur klub dibangun, stadion direnovasi, merchandise dijual, dan hak siar diperebutkan.
Namun, di balik segala kemegahan ini, ada pengorbanan yang nyata: identitas dan keterikatan emosional yang dahulu begitu kental antara klub dan masyarakat lokalnya mulai melemah. Di sinilah ironi dari privatisasi muncul: klub yang didukung oleh massa akar rumput justru teralienasi dari komunitasnya, menjadi lebih berorientasi pada kebutuhan pasar ketimbang melayani basis pendukungnya.
Fetisisme dalam Dukungan: Dari Identitas Lokal Menjadi Identitas Konsumen
Fetisisme dalam konteks Persib merujuk pada fenomena di mana para pendukung memuja klub bukan sekadar sebagai simbol lokal, melainkan sebagai komoditas yang memiliki nilai dan daya tarik dalam pasar hiburan.
Penggemar tak lagi sekadar menjadi penonton, tetapi konsumen yang dibombardir dengan atribut-atribut Persib: jersey terbaru, produk sponsor, dan pengalaman premium di stadion. Ini adalah transformasi dari fans loyal menjadi konsumen loyal.
Namun, fetisisme ini bukan hanya soal barang. Lebih dari itu, fetisisme Persib adalah tentang bagaimana simbol klub digunakan untuk merepresentasikan gaya hidup modern yang dibangun di atas kapitalisme konsumtif.
Persib bukan lagi sekadar klub sepak bola bagi banyak orang, melainkan bagian dari identitas diri yang dikonstruksi oleh konsumsi barang-barang berlabel Persib. Privatisasi telah mengubah pengalaman mendukung Persib menjadi pengalaman membeli dan memamerkan atribut-atributnya.
Ambivalensi Penggemar: Antara Loyalitas dan Konsumerisme
Fetisisme Persib menciptakan ambivalensi yang membingungkan di antara para pendukungnya. Di satu sisi, mereka menikmati keuntungan dari komersialisasi, seperti fasilitas modern dan pengalaman menonton yang lebih menarik. Idealnya begini.
Di sisi lain, mereka sering merasa kecewa dan alienasi, menyaksikan klub mereka dikuasai oleh kepentingan-kepentingan kapitalis. Pertanyaannya: di manakah batas antara “mendukung Persib” dengan “mengonsumsi Persib”?
Dalam paradigma kapitalisme kontemporer, para penggemar pada dasarnya terjebak dalam apa yang saya sebut sebagai “fantasi konsumeris.”
Mereka mungkin sadar akan aspek kapitalis dari klub, tetapi pada saat yang sama, mereka memilih untuk mengabaikannya atau bahkan merayakannya. Misalnya, kehadiran logo sponsor di jersey atau mungkin nantinya ada nama stadion yang berafiliasi dengan perusahaan dianggap wajar sebagai tuntutan zaman.
Dengan kata lain, penggemar secara paradoksal merasa “memiliki” Persib, sementara klub tersebut secara struktural semakin lepas dari kendali mereka.
Persib sebagai Ideologi: Agama Baru di Era Kapitalisme
Sepak bola, terutama di wilayah-wilayah seperti Bandung, telah lama menjadi agama sekuler, memberikan ruang bagi komunitas untuk membentuk identitas kolektif. Namun, ketika klub telah diubah menjadi entitas korporasi, apa yang tersisa dari “agama” ini adalah sekumpulan ritual konsumeris.
Penggemar datang ke stadion, mengenakan jersey, bernyanyi, dan bersorak – tetapi semua ini, dalam konteks kapitalisme, memiliki dimensi baru yang berorientasi pada keuntungan.
Dalam hal ini, fetisisme Persib serupa dengan fetisisme komoditas dalam pemikiran Karl Marx: nilai emosional yang dilekatkan pada klub mengaburkan fakta bahwa klub ini adalah produk kapitalis.
Seperti seorang yang membeli iPhone bukan karena kualitas teknisnya melainkan karena citra dan status yang dibawanya, seorang penggemar Persib mungkin mendukung klub bukan lagi karena cinta tulus pada sepak bola, tetapi karena Persib sebagai “merek” memberi mereka identitas dan status dalam masyarakat.
Apakah Ada Jalan Keluar dari Paradoks Ini?
Tentu saja, tidak mudah keluar dari jebakan kapitalisme ini. Persib, seperti halnya klub-klub modern lainnya, telah menjadi bagian dari mesin ekonomi global yang sulit dihindari.
Sebagai penggemar, kita dapat memilih untuk terus mendukung dengan kesadaran penuh akan aspek kapitalis yang mengelilinginya, atau, dalam cara yang lebih radikal, mendorong kembali identitas komunitas yang lebih otentik di sekitar klub.
Bagi banyak penggemar, Persib tetaplah simbol penting dari identitas budaya dan lokalitas. Namun, fetishisme Persib yang terbentuk oleh privatisasi adalah pengingat bahwa kita tidak bisa menutup mata terhadap transformasi korporasi yang tengah terjadi.
Tantangannya adalah bagaimana menjaga agar klub ini tetap relevan bagi masyarakat, sambil menyadari bahwa apa yang kita dukung tidak semata-mata klub sepak bola, tetapi juga sebuah entitas kapitalis yang memainkan peran dalam sistem ekonomi.
Kita harus bertanya: Apakah kita mendukung Persib sebagai bagian dari kebanggaan lokal, atau sebagai salah satu komoditas dalam budaya konsumerisme? Persib mungkin adalah klub sepak bola, tetapi dalam konteks kapitalisme modern, ia juga adalah cermin dari masyarakat kita sendiri, sebuah masyarakat yang tak dapat lepas dari fetisisme komoditas dan ilusi korporasi.