Tendangan penalti menawarkan studi kasus yang menarik tentang bagaimana tekanan mental memengaruhi kinerja fisik.
Dalam tendangan penalti, ada banyak hal yang dipertaruhkan, bukan hanya karena bisa menentukan menang atau kalah, tapi juga ada jutaan orang yang dengan cemas menonton, beberapa di antaranya mungkin punya kepentingan finansial pada hasil yang akan tercipta.
Tekanan itu bukan lelucon. Misalnya, penelitian tentang adu penalti dalam Piala Dunia telah menunjukkan bahwa ketika skor sama dan sebuah gol akan memastikan kemenangan, pemain mencetak gol dengan kemungkinan 92 persen. Namun ketika tim menghadapi eliminasi dalam adu penalti, dan tendangan menentukan imbang atau kalah, pemain hanya mencetak gol dengan probabilitas 60 persen.
“Bagaimana mungkin para pemain sepak bola dengan kontrol yang hampir sempurna atas bola (mereka bisa dengan sangat tepat menendang bola lebih dari 50 meter) gagal mencetak tendangan penalti yang hanya berjarak 11 meter?” tanya Max Slutter, peneliti dari University of Twente di Belanda.
“Jelas, tekanan psikologis yang sangat besar berperan, tetapi mengapa tekanan ini menyebabkan penalti gagal? Kami mencoba menjawabnya dengan mengukur aktivitas otak pemain sepak bola selama eksekusi fisik tendangan penalti.”
Dalam studi terbaru dari Frontiers in Computer Science menggunakan teknologi functional near-infrared spectroscopy (fNIRS), para peneliti bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan kunci tentang kekikukan di bawah tekanan di antara pemain berpengalaman dan yang tidak berpengalaman:
- Apa perbedaan aktivitas otak antara yang sukses (mencetak gol) dan yang gagal saat melakukan tendangan penalti?
- Aktivitas otak apa saja yang terkait dengan kondisi di bawah tekanan selama tendangan penalti?
Untuk mengetahuinya, para peneliti meminta sepuluh pemain sepak bola profesional dan dua belas pemain tidak berpengalaman untuk berpartisipasi dalam tugas menendang penalti. Tugas dibagi menjadi tiga putaran, yang masing-masing dirancang agar semakin menegangkan:
- Babak 1 tidak memiliki penjaga gawang dan diberi label sebagai babak latihan.
- Babak 2 memiliki penjaga gawang tapi tidak diizinkan untuk mengalihkan perhatian penendang.
- Babak 3 memiliki penjaga gawang kompetitif yang diizinkan untuk mengalihkan perhatian penendang, dan para penendang juga bersaing untuk memperebutkan hadiah.
Peserta menendang lima tembakan di setiap babak. Mereka mengenakan headset yang dilengkapi fNIRS selama menjalankan tugas yang mengukur aktivitas di berbagai bagian otak.
Semua peserta tampil lebih buruk di babak kedua dan ketiga dan dilaporkan mengalami tekanan paling besar di babak ketiga. Pemain yang tidak berpengalaman tampil lebih buruk daripada pemain berpengalaman, yang mungkin menunjukkan bahwa mereka kurang mampu menghadapi tekanan mental.
Neuroscience di Balik Kegagalan Penalti
Jadi, jenis aktivitas otak apa yang terkait dengan tendangan penalti yang gagal?
Hasil yang paling mencolok adalah bahwa penendang lebih banyak gagal mengeksekusi penalti ketika mereka menunjukkan aktivitas yang lebih tinggi di korteks prefrontal (PFC), area otak yang terkait dengan perencanaan jangka panjang.
Ini terutama berlaku di antara pemain yang melaporkan tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Lebih khusus lagi, pemain sepak bola profesional yang gagal mengeksekusi tembakan menunjukkan aktivitas tinggi di korteks temporal kiri, yang terkait dengan instruksi diri dan refleksi diri.
“Dengan lebih mengaktifkan korteks temporal kiri, pemain berpengalaman mengabaikan keterampilan otomatis mereka dan mulai terlalu memikirkan situasinya,” tulis para peneliti. “Peningkatan ini bisa dilihat sebagai faktor yang mengganggu.”
Selain itu, ketika pemain dari semua tingkat pengalaman merasa cemas dan melewatkan tembakan, mereka menunjukkan lebih sedikit aktivitas di korteks motorik, yang merupakan area otak yang paling terkait langsung dengan menendang tembakan penalti.
Kesimpulan Penelitian: Jangan Overthinking!
Hasilnya menunjukkan bahwa tekanan mental dapat mengaktifkan bagian otak yang tidak relevan dengan tugas yang sedang dihadapi.
Secara umum, atlet profesional menunjukkan aktivitas otak yang lebih efisien. Dalam artian, lebih banyak aktivitas di area yang relevan, dan lebih sedikit aktivitas di area lain yang tidak relevan. Oleh karenanya mengalami lebih sedikit gangguan. Ini mungkin salah satu alasan mengapa mereka lebih sukses dalam adu penalti daripada pemain berpengalaman dalam situasi stres tinggi.
Penulis penelitian menyimpulkan bahwa hasil mereka memberikan bukti pendukung untuk teori efisiensi saraf.
Saat kita menguasai sesuatu, kita dapat lebih mengandalkan proses otak otomatis daripada pemikiran yang disengaja, yang dapat menyebabkan gangguan.
Prinsip ini dijelaskan oleh teori efisiensi saraf, dan ini berlaku tidak hanya untuk atlet tetapi juga untuk bidang apa pun.
*
Referensi:
- Johnson, Stephen. 12 Mei 2021. Why professional soccer players choke during penalty kicks. Big Think.
- Slutter, Max, Nattapong Thammasan & Mannes Poel. 7 Mei 2021. Exploring the Brain Activity Related to Missing Penalty Kicks: An fNIRS Study. Frontiers in Computer Science.
- Slutter, Max, Nattapong Thammasan & Mannes Poel. 7 Mei 2021. Head to toe: study reveals brain activity behind missed penalty kicks. EurekAlert
Berarti teori yg mengtakan pinalti itu 99% bisa gol itu gak selamanya benar yah,, karena 50% jg di tentukan oleh mental pemain yang menendang dan juga keeper.. 5
Oh itu teori yg dari penelitian di Bundesliga, ya? Itu kalimat lengkapnya nyebut kalau tendangan penalti yg ngarah ke bagian atas gawang pasti 99% masuk.
Nah, kalau disambungin ke penelitian ini, buat bikin tendangan akurasi atas begitu butuh kepercayaan diri tinggi, kalem dan ga overthinking.
Kiper lebih ke memecah konsentrasi dan nurunin mental penendang, tendangan penalti emang soal perang saraf.