Katanya jatuh cinta membuatmu jadi orang dungu. Oh baiklah pembaca yang budiman, sebelumnya maaf hanya judulnya yang pakai Bahasa Melayu Pasar, karena saya malas dan tak punya cukup kedunguan untuk menuliskannya dalam bahasa seprimitif itu, apalagi ejaan yang setuwir itu. Entahlah, kalau sekiranya jatuh cinta, mungkin bisa saja, tapi saya tak sedungu Hilda Tan, tokoh dalam novel klasik Rasia Bandoeng: atawa Satoe Tjerita jang Benar Terdjadi di Kota Bandoeng dan Berachir pada Tahon 1917.
Aih, Hilda Tan ini adalah dia yang berani menentang keluarga dan adatnya sendiri hanya karena dia ingin membela sesuatu yang bernama: CINTA! Mungkin Hilda Tan kebanyakan membaca kisah yang berpenutup, “dan mereka bahagia selamanya dalam pernikahan”. Pernikahan sebagai kebahagiaan yang dibayangkan. Belum terjadi, masih berupa gagasan. Dan Hilda Tan ini ingin kawin dengan kekasihnya yang semarga, sesuatu yang tabu dalam kultur Tionghoa. Rupa-rupanya kisah Hilda Tan kemudian berakhir setragis Anna Karenina, novel epik Leo Tolstoy itu. Seperti kata Tolstoy dalam pembukaan Anna Karenina, seluruh keluarga bahagia, bahagia dengan cara yang sama; keluarga tak bahagia, tak bahagia dengan cara masing-masing. Dan ya, hanya keluarga tak bahagia yang ‘menarik’ untuk dikisahkan.
| Lihat: Eka Kurniawan – “Marry You”
[tweet https://twitter.com/KomunitasAleut/status/696321715677179904 align=’center’]
Secara cerita, novel klasik karya Chabanneau ini memang asyik untuk dibaca (meski saya baru baca bab-bab awal dan resensinya saja), tapi yang paling bikin menarik adalah bahwa lewat roman ini kita bisa melihat rekaman denyut nadi pusat Kota Bandung pada medio 1900-an awal. Maka Komunitas Aleut! bertepatan dengan momen Tahun Baru Imlek 2567 mengadakan keluyuran malam berawal dari titik temu di BRI Tower depan Alun-Alun Bandung, yang saat itu dipenuhi orang yang berfoto riang sana-sini.
Meski hujan sebentar-sebentar menyirami kami, tapi nampaknya semangat untuk terus mengeluyuri jalanan di pusat Kota Bandung tak ikut luntur. Lebih-lebih bagi saya, di daerah sekitar Pasar Baru yang bisa dibilang sebagai “Pecinan”-nya Kota Bandung ini, saya berasa jadi Kai Man Wong, presenter di saluran fotografi DigitalRev TV. Ternyata, pusat Kota Bandung di kala gelap ini mengingatkan saya pada Hongkong; ada bangunan-bangunan tua peninggalan era kolonial, namun kita mendapati pula plang-plang besar merk dagang juga lampu kerlap-kerlip, serta para tunawisma yang terlelap di depan ruko yang sudah tutup, juga kehidupan malamnya Bandung.
Rute: Alun-Alun Bandung – Jalan Banceuy – Jalan Suniaraja – Pasar Baru – Jalan Kebon Jati – Saritem – Jalan Gardu Jati – Jalan Astana Anyar – Jalan Cibadak
Jika kamu ingin berpetualang lewat mesin waktu ke awal abad 20, maka baca Charles Dickens untuk mengeluyuri London, James Joyce untuk Dublin, Knut Hansum untuk Kristiania (Oslo), dan Bandung terwakili dalam karya Chabanneau ini. Latar kejadian dalam cerita roman berkisar di wilayah Pasar Baru, Cibadak, Pecinan, Suniaraja, Banceuy, Kosambi, Groote Postweg, dan paling jauh ke arah selatan, yaitu di Tegallega. Berikut ini contoh deskripsi situasi Pasar Baru pada Kamis, 10 Februari 1916.
Bangsa Tiong Hoa masih merajaken datangja tahon baroe 2467, kerna itoe waktoe poen baroe tanggal 8 Tjia Gwe, betoel toko-toko soedah moelai boeka, tapi dalam oeroesan dagang belom rame sabagimana biasanja, teroetama dari fihak Tiong Hoa totok.
Di salah satoe toko tjita di sabelah Kidoel pasar, jang madap ka Wetan, antara employenja kalihatan samoewa sempat sabagimana biasanja toko-toko besar jang tida djoewal ketengan, di sebelah loewar dari toko tjita jang terseboet kalihatan tiga anak moeda lagi pasang omong, jang satoe lagi tjeritaken penglihatan dari karamean Pasar-Malam di Batavia…
Entah mengapa, enggak seperti roman lainnya yang muncul pada tahun 1900-an, Rasia Bandoeng ini relatif jarang dibahas. Karya Chabennaue ini sendiri memakai gaya naturalis, aliran yang mementingkan pengungkapan secara terus-terang, tanpa mempedulikan baik buruk dan akibat negatif. Pengarang naturalis dengan tenangnya menulis tentang skandal para penguasa atau siapapun, dengan bahasa yang bebas dan tajam. Aliran karya sastra yang ingin menggambarkan realitas secara jujur bahkan cenderung berlebihan dan terkesan jorok. Lebih-lebih, karena kabarnya Chabennaue menulis novel ini untuk dijadikan bahan pemerasan. Cerita ini memang kisah nyata yang dialami Hermine Tan yang lahir pada tahun 1898 dan meninggal pada tahun 1957 di Bandung. Chabanneau menulis cerita ini berdasarkan surat-surat berisi curahan hati yang dikirim oleh Hilda, yang diduga nama samaran Hermine tadi.
Rasanya, saya perlu ralat pernyataan bahwa Hilda Tan seorang yang dungu. Sebab menurut sejarawan sekaligus feminis dari Kanada, Tineke Hellwig, keberanian Hilda Tan untuk memperjuangkan cintanya meski harus melawan adat dianggap sebagai perjuangan perempuan menentukan pilihan hidupnya. Sosok Hilda juga sangat tegar ketika ternyata kekasih yang dicintainya itu enggak balik mencintainya secara tulus.
Entahlah, bukan hanya Hilda Tan, sekarang pun orang-orang terpelajar, yang sekolah tinggi, bakal menjadi dungu karena yang namanya ‘cinta’, rela disakiti kekasih yang jelas-jelas hanya mempermainkannya. Mungkin, saya pun bakal begitu jika cinta datang menghampiri, berlaga dungu dan berani untuk mengatakan: “Hey, saya benar-benar mencintaimu, dan saya ingin menikahimu, bagaimana?”
“Baik, kuberi waktu 3 bulan, buatkan aku sebuah novel tentang Bandung,” tantang perempuan itu, lalu menyunggingkan senyum renyah, “Mudah, kan?”
Kemudian, berkat energi kedunguan yang hinggap, jadilah saya yang pemalas ini begitu bersemangat untuk terus menulis tak kenal lelah sampai batas waktu yang ditentukan itu. Seperti Sangkuriang, atau Bandung Bondowoso, meski bedanya saya enggak dibantu semacam jin. Kenapa saya begitu bergairah? Inikah yang namanya cinta? saya membatin. Ah maaf pembaca yang budiman sekalian, saya rasa dicukupkan sekian saja sebelum terlalu ngalor-ngidul.
It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages. – Friedrich Nietzsche
*
Bagi yang ingin membaca secara daring, bisa mengakses: “Rasia Bandoeng : atawa satoe tjerita jang benar terdjadi di kota Bandoeng dan berachir pada tahon 1917 / ditjeritaken oleh Chabanneau”.
Atau bisa baca juga ulasan dari Lina Nursanty di Pikiran Rakyat ini.
Nyimak om
susah baca djoedoelnya djugha 😀
Dalem bener pembahasan kak ayip
seperti biasaaa
Semoga kita segera bisa melahirkan yaa…
melahirkan bukuu!!
#amin
Buku nikah kak.
#amiin
Postingan ini entah kenapa mengingatkan saya soal tugas literary criticism semester lalu dan epiknya mengerjakan paper ribuan kata dalam malam-malam yang seperti tak pernah berakhir rimbanya. Tapi, saya setuju; cara terbaik menjelajah ruang dan waktu adalah membaca narasi cetak yang jujur tentang zamannya. 🙂
Bandung enak banget buat ikut komunitas beginian. Bacaan kamu pada keren, ya, Kang. 😮
Iya dong Kakdev, bacaannya harus beragam, dari Al-Quran sampai manga hentai.
Ini kunjungan pertama saya ke blog ini. Saya suka gaya bahasa Arip 🙂
Kayaknya saya tertarik buat baca. Suka ulasanmu soal novel ini!
apakah ini novel klasik? ternyata bacaanmu literatur zaman dulu ya. . . ada saran buku klasik buat saya? yang agak ringan soalnya noveel zaman dulu biasanya berat.
Seperti kayak musik sih, selera ya tergantung masing-masing. Novel klasik sama kayak musik klasik, bagi saya yg hidup di zaman sekarang, yg biasa dengerin britpop sampe k-pop, ngedengerin semisal Beethoven atau Schubert ya membosankan, temponya lambat gitu. Tapi kalau didengerin lebih lama sebenernya asyik juga.
Novel zaman dulu berat? Hey, temanya juga tentang cinta-cintaan kok biasanya: cinta tak terbalas, cinta beda kelas sosial. Buat permulaan, mungkin bisa coba novel terjemahan terbitan Pustaka Jaya sama Penerbit Obor.
Cinta juga bisa membuat orang bijaksana sekalipun bisa menjadi orang yg dungu
#kutipan dari drama India
Masih membiasakan untuk membaca.