Kami manusia yang bernalar (miskin, tapi bernaral), bukan roh dari manual realisme magis, bukan kartu pos buat konsumsi asing dan bukan manipulasi hinaan atas kemelaratan nasional.
Roberto Bolano, Semua Menulis, Bukan Hanya di Cile
Kenapa para pekerja kreatif, terutama yang katanya penulis, doyan bawa gawean ke kedai kopi? Jika Anda bertanya-tanya mengapa orang bekerja di kafe, jujur saja, sebut penulis Tony Tulathimutte, ini sebagian besar untuk mencegah masturbasi. Jawaban sangat Freudian dan saya sepakat. Perlu kebijaksanaan ala Diogenes dan kesintingan ekstra agar berani coli di depan publik, kalaupun nekat dengan sembunyi-sembunyi di bawah meja, ada kemungkinan kopi pesanan tumpah karena gempa mungil yang tercipta.
Di sanalah saya, Yellow Truck Coffee Jalan Sunda, beberapa meja diisi mereka yang menekuri laptopnya, hujan terus mengguyur di luar, saya memesan Americano panas, dan enggak ada kerja kebudayaan yang harus dibereskan sekaligus enggak ada kapalan yang perlu direpresi. Klub Baca Bandung mengundang dua penulis muda, Rio Johan dengan Ibu Susu-nya, novel oleh-oleh resedensi di Berlin, dan sohibnya Dewi Kharisma Michellia yang residensinya di Paris. Hujan dari sejak siang bikin yang datang sedikit, enggak kayak terakhir ikutan pas bahas Murakami setahun yang lalu. Dari yang hadir, saya bisa ketemu langsung sama seorang kolumnis ngepop dan seorang antropolog yang cuma berkait di media sosial. Sebagai yang enggak terikat sama klub atau lingkaran susastera apapun, gosip-gosip sastra teranyar yang saya kejar. Apalagi setelah baca How Fiction Works-nya James Wood dan How to Talk Book You Haven’t Read-nya Pierre Bayard, jadi pengen berbual-bual soal sastra.
Apa yang salah dengan seorang penulis Indonesia yang justru menulis novel berlatar Mesir Kuno? Rio sendiri mengaku banyak dikritik karena menulis dunia yang jauh, memilih enggak mengangkat kearifan lokal. Saya memuji Rio dengan argumen bahwa novel bukan sekedar kartu pos, yang hanya mengangkat eksotisme kampung halaman sang penulis. Apa itu membumi? Bahkan jika latarnya tentang kehidupan Mars, kalau ditulis dengan apik, lebih baik ketimbang cerita yang mengangkat kearifan lokal yang cuma berfungsi sebagai gimmick dan sangat permukaan. Saya mengomentari juga soal gaya Ibu Susu yang mirip Pyramid-nya Ismael Kadare, dan Rio memang menulis novel Kadare sebagai salah satu inspirasi di halaman epilog. Kadare memakai Mesir Kuno justru untuk mengkritisi Stalinisme yang pernah mencaplok negaranya Albania. Untuk pembacaan soal Ibu Susu, saya justru merasakan dunia sekuler dan seorang protagonisnya yang saya labeli kapitalis-filantropis yang oportunis.
Mimi, panggilan Dewi Kharisma, berpikir lebih visioner: Siapa sih penerbit luar yang tertarik menerjemahkan novel tentang Mesir Kuno yang ditulis seorang Indonesia? Rio justru rugi karena enggak menulis kearifan lokalnya, sebut Mimi. Dengan tetap mengkritisi bahwa novel yang menghadirkan mooi indie masih berupa tempelan, serta komentarnya terhadap novel-novel yang mengeksploitasi isu tragedi 65 supaya laku namun ditulis dengan buruk.
Dalam How Fiction Works, James Wood menyodorkan genre realisme komersil, sebagai salah satu brand paling kuat saat ini dalam fiksi. Brand yang secara ekonomi akan direproduksi, terus dan terus. Realisme sendiri hanyalah salah satu genre dalam fiksi, tak bisa dianggap lebih dekat dengan kenyataan dibandingkan genre lain. Realisme enggak lebih dari satu tata bahasa dan seperangkat aturan. Karena direproduksi terus-menerus, ia menjadi konvensi, lalu menjadi kebiasaan. Memberontak atas konvensi ini? Ia akan menciptakan konvensi baru, tentu saja. “Konvensi ini, seperti metafor, tidak mati tapi selalu sekarat. Seniman senantiasa mencoba mengakalinya.”
Wood juga mengutip Alain Robbe-Grillet dalam Pur un nouveau roman, yang menulis, “Semua penulis percaya bahwa mereka realis. Tak ada yang memanggil dirinya sendiri abstrak, ilusionistik, tak masuk akal, fantastik.” Robbe-Grillet melanjutkan bahwa jika semua penulis itu berhimpun di bendera yang sama, itu bukan karena mereka sepakat soal realisme; justru karena mereka ingin menggunakan ide berbeda mereka soal realisme untuk mengobrak-abrik yang lain.
Faktanya, apapun benderanya, dari realisme sosialis sampai realisme magis, akan masuk ke jurang yang sama bernama realisme komersil. Di sinilah kita berada, di satu kondisi menyebalkan ketika berkarya harus dikatrol selera pasar. Roberto Bolano adalah sosok nakal dan kontroversial, seorang penulis yang lantang menentang efek boom sastra Amerika Latin. Gabriel Garcia Marquez, Octavio Paz dan seluruh kanon karya realis magis menanggung beban amarahnya, Bolano terkenal karena menegaskan bahwa realisme magis itu berbau busuk. Ya, Bolano menciptakan realisme jeroannya, dan akhir ceritanya sudah dapat diprediksi, gaya tersebut jadi realisme komersil. Jauh setelah kematiannya, karya-karyanya terus dikomersialisasi, bahkan kalau ada tulisan Bolano ditemukan sudah pasti bakal diterbitkan.
Seseorang nampaknya harus lebih memikirkan cara merancap yang mutakhir ketimbang memikirkan realisme model baru, yang kemungkinan besar bakal dipecahkan algoritma.