Refleksi di Balik Sony A7, Antara Ambisi dan Kenyataan

Ada keinginan yang telah lama terkubur di dalam benak saya, mungkin sejak pertama kali saya kepincut dunia fotografi. Sebuah mimpi, sederhana tapi menggelitik: memiliki kamera Sony A7.

Ia seperti simbol dari pencapaian tertentu, kamera itu memancarkan janji bahwa dengan memilikinya, saya akan menjadi seseorang yang lebih berdaya, lebih mampu menangkap dunia ini dengan presisi yang tak tertandingi. Pada 2022, saat akhirnya uang ada di genggaman, mimpi itu saya wujudkan.

Sony A7 dan Keheningan Dua Tahun

kamera sony a7

Hari itu, ketika Sony A7 itu tiba di tangan, rasanya seperti mewujudkan bagian dari diri yang telah lama saya dambakan. Kamera ini bukan hanya alat—ia adalah representasi dari ambisi, dari harapan saya untuk menjadi lebih dari sekadar pecinta fotografi.

Saya bermimpi, entah bagaimana, kamera mirrorless dari Sony ini bisa membawa saya ke dunia yang baru. Mungkin menjadi kreator konten YouTube, mungkin menghasilkan karya yang akan membuat saya dikenal. Namun, apa yang terjadi setelah itu justru sebaliknya.

Dua tahun berlalu. Kamera yang dulu menjadi lambang kebebasan kreatif itu hanya digunakan beberapa kali. Setiap kali saya melihatnya, terbersit rencana-rencana besar. Tapi rencana tetaplah rencana. Kamera itu berdiam di sana, tak berdaya di pojok ruangan. Sementara kehidupan terus berjalan, rutinitas dan kemalasan menghisap semangat yang pernah saya miliki.

Ironisnya, ketika akhirnya saya memutuskan untuk menjual Sony A7, ia tak lagi sempurna. Jamur telah menyusup ke dalam lensanya, bahkan hingga ke sensornya. Saya tak tahu kapan itu terjadi, mungkin saat saya sibuk menunda-nunda, mungkin saat saya membiarkannya terabaikan di dalam tas.

Kamera itu tak lagi berharga seperti dulu. Harga jualnya turun drastis. Dengan berat hati, saya tukar tambah dengan Sony A6400, kamera yang lebih kecil, tapi saya pikir lebih cocok dengan kebutuhan saya saat ini—mungkin lebih untuk videografi daripada fotografi.

Namun, keputusan itu justru memunculkan kesadaran lain. Ketika kamera yang lebih canggih, lebih profesional, tak lagi berada di tangan, saya mulai bertanya-tanya: apakah semua itu perlu? Apakah benar, semua alat ini yang saya butuhkan, atau hanya angan-angan kosong?

Di zaman di mana ponsel pintar sudah bisa menghasilkan foto dan video dengan kualitas yang cukup mumpuni, apakah saya sungguh butuh kamera sekelas Sony A6400?

Akhirnya, saya sadar bahwa keinginan untuk memiliki kamera yang canggih sering kali hanyalah cerminan dari keinginan untuk menjadi ‘lebih’. Tapi di balik semua itu, kreativitas tak terletak pada alat yang saya genggam. Kamera apapun yang saya gunakan, bahkan ponsel sekalipun, tak akan mengubah fakta bahwa semuanya kembali ke saya. Mungkin, selama ini yang saya kejar bukanlah gambar sempurna, tapi momen di mana saya bisa berdamai dengan diri sendiri—bahwa cukup, adalah cukup.

Begitulah perjalanan saya dengan Sony A7. Sebuah perjalanan yang berujung pada kesadaran bahwa kamera hanyalah alat, sementara pandangan kita terhadap dunia—itu yang sebenarnya perlu terus diasah.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1925

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *