Banyak yang tergoda untuk menonton SSS.Gridman hanya karena pesona Rikka Takarada, sosok perempuan yang segera melambung sebagai waifu sejuta umat.
Namun, menggarap cerita hanya sampai di sana adalah seperti duduk di atas permukaan es sebuah danau tanpa pernah mencoba menyelam ke dalam air yang tenang.
Sesungguhnya, SSS.Gridman mengajak kita menggali lebih dalam, ke dunia yang melampaui penampakan dan mempersoalkan kenyataan yang melingkupi eksistensi karakter-karakternya.
Dalam esensi ceritanya, SSS.Gridman adalah anime yang merayakan sekaligus merekonstruksi genre tokusatsu, yaitu kisah pahlawan bertopeng yang bertarung melawan raksasa atau ancaman besar lainnya. Genre ini, yang lekat dengan ikon-ikon budaya Jepang seperti Ultraman atau Kamen Rider, memang seringkali dipersepsikan sebagai sekadar tontonan aksi.
Di tangan sutradara Akira Amemiya dan studio Trigger, SSS.Gridman menjadi lebih dari sekadar pertarungan mecha dan monster: ia adalah eksplorasi tentang identitas, kehampaan, dan ilusi.
Rikka Takarada Bukan Sekadar Waifu
SSS.Gridman menebar lapisan makna di balik layar aksi dan karakter-karakternya.
Rikka Takarada, misalnya, menjadi tokoh yang dilihat dan dicintai karena daya tarik visualnya. Akan tetapi, yang menarik adalah cara SSS.Gridman menampilkan Rikka dan teman-temannya dalam konteks dunia yang misterius.
Semua tokoh utama dalam anime ini, termasuk Rikka, ternyata adalah fragmen dari keinginan dan frustrasi karakter antagonisnya, Akane Shinjo. Akane, yang merasa terisolasi dan kecewa dengan dunia, menciptakan dunia virtual dan para karakternya, mengubah kota itu menjadi panggung bagi perjuangannya melawan kenyataan yang tak dapat ia terima.
Dalam dunia SSS.Gridman, setiap karakter adalah representasi dari aspek diri Akane—mereka adalah orang-orang yang ia ciptakan bukan untuk sekadar mengisi narasi, tetapi untuk menjadi gambaran dari dirinya sendiri yang terfragmentasi.
Sementara Rikka mencerminkan sisi empati dan keraguannya, karakter-karakter lain, seperti Yuta dan Utsumi, adalah pecahan lain dari kompleksitas batinnya. Di sinilah kekuatan utama anime ini: ia tak sekadar bercerita tentang pertempuran pahlawan melawan raksasa, tetapi juga pertempuran internal seorang individu yang terperangkap dalam kesendirian dan kemarahan.
Rangkaian pertempuran dalam anime ini lantas menjadi alegori dari perjuangan batin Akane, seolah melambangkan keinginannya untuk keluar dari keterasingan.
Gridman, sang pahlawan mecha, bukan hanya sekadar juru selamat yang melawan monster, tetapi juga representasi dari pengharapan bahwa kenyataan, betapa pun pahit, adalah satu-satunya jalan untuk menemukan makna.
Ketika Rikka dan teman-temannya mulai mempertanyakan realitas tempat mereka hidup, di situ SSS.Gridman mulai membuka ruang bagi penontonnya untuk mempertanyakan ilusi dan kenyataan—pertanyaan yang juga menjadi tema sentral dalam karya-karya besar tokusatsu.
Maka, SSS.Gridman bukanlah kisah tentang Rikka Takarada atau bahkan Gridman sendiri, melainkan tentang bagaimana kita melihat diri kita dalam kenyataan yang kerap kali terasa begitu surreal.
Anime ini adalah cermin dari harapan, ketakutan, dan keterasingan manusia. Di tengah popularitas visual Rikka, ada pesan yang lebih dalam: bahwa kita semua, dalam suatu titik, menjadi seperti Akane, menciptakan dunia ilusi untuk menghadapi ketakutan yang enggan kita hadapi di dunia nyata.
Di sinilah keindahan SSS.Gridman: ia mempersembahkan kepada kita bukan hanya aksi atau karakter yang menarik, tetapi juga filosofi eksistensial yang mengingatkan kita untuk menyadari keterbatasan ilusi yang kita ciptakan dalam hidup.