Terbiasa pakai Aperture Priority, auto-focus, auto-ISO, sama sistem metering di center-weighted. Kemudian dihadapkan pada keenggakpastian dengan ga adanya LCD, ga punya lightmeter, dan pengetahuan serta pengalaman yang masih cetek, maka apakah yang terjadi?
Jadi setelah punya yang GIII, secara impulsif saya beli lagi Canon Canonet QL17 yang generasi awal dari akun Instagram @lapaksicacing gara-gara lagi banting harga dengan spesifikasi kondisi kamera yang katanya coating lens ajib, no fog, no scratch ada cleaning mark aja, viewfinder ada masih asik buat ngitip, patch masih keliatan. Yang paling bikin ngiler sih karena masih lengkap sama leather case ori.
Canonet QL17 sendiri masuk golongan ‘cult camera’, kamera wajib punya buat yang baru terjun ke fotografi analog film. Dan kamera ini punya julukan ‘Poor Man’s Leica’ juga. Banyak yang ngasih rekomendasi dan review bagus soal kamera rangefinder ini.
Selain masih mudah didapat, harganya pun ya tergolong murah lah. Kisaran rupiahnya kalau nyari di pusat jual beli online model Kaskus, Bukalapak, atau OLX sih antara 300-700 ribu. Harganya hampir sama kayak yang ditawarkan di akun-akun penjual kamera film di Instagram sekitar 500 ribu. Paling ada harga spesial buat model warna hitam, karena emang langka.
Canonet sendiri adalah model kamera rangefinder yang dikeluarin Canon secara masif dan harga yang terjangkau pada rentang tahun 60an sampai 80an, salah satunya seri QL17 ini. QL sendiri artinya Quick Loading, yakni cara pasang roll filmnya sangat-sangat mudah.
Untuk QL17, ada beberapa varian juga sesuai pembaruan fitur. Namun ada beberapa keunggulan QL17 GI yang generasi awal banget ketimbang GIII yang merupakan model final, yakni:
- Coating jarang rusak
- Lightmeter bekerja pada posisi manual dan auto, sedangkan pada GIII lightmeter hanya berfungsi pada posisi auto saja.
- Hasil foto lebih tajam dan renderer warna lebih baik
- Made in Japan, soalnya kalau GIII kebanyakan Made in Taiwan
Minus G1 dari GIII
- Body G1 lebih besar sehingga agak lebih berat. Dan secara fisik G1 ga seergonomis GIII, khususnya di kokangannya.
- Lensa G1 45mm sedangkan GIII 40mm
- Ada tombol battery check
- Menurut Canon, GIII itu “improved quality”. Tapi dari beberapa forum disebutkan kalau ga ada beda soal performanya.
Berikut hasilnya pakai film Fuji Superia 200 (fresh), cuci scan di Seni Abadi Wastukencana Bandung.
Kalau liat hasil foto-foto QL17 di Flickr pasti pada bagus-bagus, jauh beda sama hasil saya ini. Tapi ada satu jepretan yang jadi favorit saya. Ya meski objeknya menara sutet, sebelas dua belas lah sama menara Eiffel. 😆
Meski lensanya 1.7/45mm, tapi belum berani nyoba bukaan gede. Kebanyakan main di angkat f/5.6 sampai f/16, soalnya masih belum terbiasa ngatur fokus di kamera rangefinder. Ditambah cuma modal itung-itungan Sunny 16.
Satu pelajaran berharga dengan memakai kamera analog film adalah: melambatkan proses. Di zaman yang serba instan ini semua diharuskan serba cepat, ga sabaran, sehingga kita sering tak sempat meluangkan waktu untuk refleksi dan intropeksi.
*
Tempat cuci scan film di Bandung:
Seni Abadi Photo
Jl. Wastu Kencana no. 87
Seruni Merdeka Photo
Jl.Merdeka no. 49 (depan BIP)
Nasir Photo
Jl. Tamansari No. 9 (dekat Unisba)
Kamal Photo
Jl. Braga 91
Mantabh masih maen maen sama kamera film. Kok bisa gajadi kenapa Rif?
Ga baca buku manualnya dulu.
duh, sayang banget semuanya nggak jadi
Yang pasti ada hikmah yg bisa diambil. 😀
arif kamu penyuka berat kamera ya?
Hobi baru.
Kunaon teu janten…???
Biasa nganggo SD card, sugan teh tiasa dibuka tutup. 😆
Hahaha..
What a waste! Yah, sayang banget itu 36 biji.
Btw, ada yang kurang ini. Kurang banyak fotonya.
Btw (lagi) ditunggu hasil 35mm-nya.
Untuk yg pertama ga apa-apa sih, klisenya dikasih gratis ini.
Ga diupload semua euy, pada jelek, pada salah fokus.
Wah main kamera analog. Pake kamera analog emang bikin kita lebih hati2 untuk jepret. Harus ada prioritasnya. Trus nyuci filmnya juga bikin lebih sabar sambil deg-degan nunggu hasil fotonya.
Iya jadi selektif buat ngambil obyek, kudu mikir berulang kali apakah momen ini berharga untuk dijepret.
Kok gak mudeng ya sama yang dijelasin -_-. Saya gak hobi potograpi keknya nih.
beuh aje gile lo bro!!
main foto jadul ya, tapi justru yang bikin seru & deg-degan pas nunggu hasil cuci cetaknya, dan hasilnya khas film tuh.. mantab bro!!
Bingung mau komentar apaan…. Hehehehehe
Baca-baca dulu yah… 😀
Woww, bisa belajar masalah kamera nihh. but free ye wkwkwkw
wah kamera nya menarik itu untuk dimiliki tapi kamera2 seperti itu kecepatannya belum bisa diandalkan untuk ngambil moment cepat.
Kalau buat aksi cepat ya pake DSLR, tapi sayanya juga jarang ngambil yg kayak ginian sih.
Tapi hasil yang jadi bagus-bagus, tuh 🙂
Ehm. Pengalaman ku malah ngga ada tentang kamera film gini. Tergoda jugak ih.. :’
beeuhh.. dari dulu pengen punya kamera kek gini,coba setelah mikir2 trus kalo sdh kebeli emang sempat belajar lagi? hehehe..
poto kedua bagus kang
tapi yang pojok kanan bawah agak ngaganggu
[…] semua foto-foto di atas hasil jepretan dari kamera film Canon Canonet QL17 dengan amunisi Fujifilm Superia 200 yang expired-nya entah kapan. Setalah ngaleut langsung dicuci […]
Kang, rekomen pake baterai ato gak usah ni kang? ane punya canonet ql17 ni hehe
Nya dicoba weh kalau lightmeter masih jalan. Tapi kalau mau ngelatih insting ya coba metode manual sunny 16