Salman Rushdie dan Tottenham Hotspurs

Aku pindah ke London pada Januari 1961, sebagai bocah berusia tiga belas setengah tahun, dalam perjalanan ke sekolah asrama, dan didampingi ayahku. Itu bulan yang dingin, dengan langit biru di siang hari dan halimun hijau saat malam. Kami menginap di Cumberland, di Marble Arch, dan setelah kami berkemas, ayahku bertanya apakah aku ingin melihat pertandingan sepakbola sungguh. (Di Bombay, tempatku dibesarkan, tak ada yang namanya sepakbola; olahraga lokalnya cuma kriket dan hoki.)

Pertandingan pertama yang ayahku ajak untuk kulihat adalah apa yang kemudian aku tahu sebagai sebuah “laga persahabatan” (sebab hasil akhirnya tak akan berdampak apapun) antara tim London Utara bernama Arsenal dan juara dari Spanyol, Real Madrid. Aku tidak tahu kalau lawan yang bertamu itu digadang-gadang sebagai klub terhebat yang pernah ada. Atau di antara pemainnya ada dua orang yang paling hebat, keduanya pemain asing; seorang Hungaria bernama Ferenc Puskas, “jenderal kecil”, dan dari Argentina, Alfredo di Stefano.

Inilah yang kuingat dari pertandingan itu: di babak pertama, Real Madrid mempecundangi Arsenal habis-habisan.

*

Di atas merupakan serpihan sebagian esei The People’s Game dari Salman Rushdie di The New Yorker yang saya terjemahkan, karena tulisan berbayar hanya segitu aja. Intinya, dalam esei yang dirilis 31 Mei 1999 ini, sang penulis ‘Midnight’s Children’ ini menuliskan tentang kecintaannya pada sepakbola, terutama klub Tottenham Hotspurs. 

Dia melihat pertandingan pertama di London pada tahun 1961, antara Arsenal dan Real Madrid tadi. Cerita tentang Piala Dunia dan soal penjaga gawang. Tentang kemarahan berkepanjangan seorang Pat Jennings, kiper brilian, yang dipindahkan dari Spurs ke Arsenal. Tentang yel-yel yang dinyanyikan oleh orang banyak. Tentang nasib tim Spurs yang berubah lebih baik setelah mempekerjakan mantan manajer sang rival Arsenal, George Graham. Rushdie juga menggambarkan pertandingan di Wembley antara Spurs dan Leicester.

salman rushdie books

Ah ya, sebelumnya sudah pada kenal Salman Rushdie kan? Dan tau juga kalau ada klub sepakbola bernama Tottenham Hotspur FC? Sir Ahmad Salman Rushdie sendiri merupakan novelis dan esais, dikenal lewat gaya realisme magisnya, namun namanya makin melambung karena membuat novel kontroversial, The Satanic Verses, Ayat-Ayat Setan, yang membikin Ayatollah Khomenei mengeluarkan fatwa mati buatnya, dan siapa saja yang bisa menghabisi Rushdie bakal dihadiahi satu milyar Rial (sekitar 450 juta rupiah) pada tahun 1989. Bahkan, sekarang ‘bounty’-nya dinaikan lagi sampai 600.000 dollar! (sekitar 8 triliun rupiah!) Udah kayak Monkey D. Luffy di One Piece aja lah, keren!

Kalau Tottenham Hotspurs? Ya, ya, pasti kalau sama Arsenal kenal, nah, Spurs ini klub sekotanya di London utara. Memang, Spurs bisa dibilang tim medioker, bahkan di film Green Street Hooligan, Pete Dunham berkelakar: “Tottenham… klub tai, juga pendukungnya tai … Yids, mereka disebutnya. Aku benar-benar pernah melempar kacung utama mereka melalui jendela kotak telepon tempo hari.” Jadi kenapa Rushdie masih mendukung klub tai ini?

“Kenapa kau mendukung Tottenham Hotspur?” Rushdie tertawa. “Kamu harus jadi seorang yang taat. Aku datang ke Inggris pada tahun 1961 dan itulah tahun paling baik buat Spurs – terakhir kali mereka memenangkan Liga Championship. Jika kau mendukung sebuah tim yang gagal untuk memenangkan liga selama 44 tahun, ini seperti semacam kultus.”

Time Out London: Salman Rushdie: Interview 

“Ini seperti agama. Tak ada ‘kenapa’,” jawab Orhan Pamuk sang penulis asal Turki yang meraih Nobel Sastra 2006 ketika ia ditanya kenapa menyukai Fenerbahçe. Ya, seperti agama Islam, untuk menjadi bobotoh Persib merupakan warisan dari orangtua. Dan untuk memberikan dukungan kepada keduanya, mungkin, kau enggak butuh yang namanya logika. Sesederhana itu. “Klub tradisional yang saya dukung dalam keadaan menang atau kalah, dalam kejayaan maupun keterpurukan cuma satu,” tulis Eka Kurniawan di pos Sepakbola, “Persib Bandung.”

Sebagai warga Indonesia, saya pendukung Persib Bandung (seperti Eka Kurniawan), dan sebagai warga dunia, saya pendukung Tottenham (seperti Rushdie), Fenerbahce (seperti Pamuk), dan saya membayangkan apakah Roberto Bolano juga seorang pendukung Barcelona. Kalau iya, makin cinta deh sama mereka.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1906

11 Comments

  1. Pas baca kalimat pembukanya kirain bakal terjemahin keseluruhan eseinya. Haha..
    Btw, blm familiar dan kenal nih sama Salman Rushdie. Tolong dicomblangkan, ya!
    Saya belum menjiwai betul tentang sepakbola, jadi masih heran banget sama orang yg bilang kalo sepakbola itu agama kedua. Sampe segitunyakah mencintai sepakbola?!

    • Udah pernah nerjemahin satu cerpennya deh, ‘Duniazat’, satu lagi masih di draft.
      Ya, seperti idoling lah rasanya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *