Cerpen Terjemahan: “Samsa Jatuh Cinta” Karya Haruki Murakami [1/2]

Prakata:

Gregor Samsa terbangun dari satu mimpi buruk dan menemukan dirinya menjadi seekor kecoa besar.

Ini adalah kalimat pembuka dalam karya klasik ngehits dari seorang Franz Kafka, The Metamorphosis. Kemudian Haruki Murakami membuat satu cerpen dengan mengungkit kembali cerita dan tokoh Gregor Samsa tadi, yang diterbitkan di majalah The New Yorker edisi Oktober 2013. Dan ya, saya mencoba menerjemahkan cerita berjudul Samsa In Love itu.

Maaf, ini cerpen terjemahan pertama saya. Oh meski judulnya cerpen, tapi ‘short story’ di luar negeri rupanya sungguh panjang, makanya saya bikin jadi cerita bersambung saja.

samsa in love

Oleh: Haruki Murakami, Penerjemah: Ted Gossen (Inggris), Arif Abdurahman (Indonesia)

Dia terbangun, kemudian mendapati dirinya telah bermetamorfosis menjadi Gregor Samsa.

Masih terbaring telentang di kasur, dia melihat langit-langit. Butuh waktu bagi matanya untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang begitu redup. Terlihat langit-langit yang biasa, hanya langit-langit pada umumnya. Dengan cat putih, atau mungkin krem pucat. Debu dan kotoran menahun telah membuat warnanya seperti tumpahan susu. Tak ada ornamen, tak ada karakteristik tertentu. Tak muncul argumen, maupun pesan yang bisa ditangkap. Ya, hanya seperti itu.

Terlihat hanya ada satu jendela tinggi di satu sisi kamar, di sebelah kiri, tapi gordennya telah dicopot dan diganti papan-papan tebal yang dipaku di bingkai untuk menutupi jendela tadi. Hanya menyisakan celah sekitar satu inci antara tiap papan yang dipasang melintang itu, memungkinkan sedikit sinar matahari pagi bisa merembes masuk, meninggalkan seberkas terang garis-garis tipis di lantai. Mengapa jendela ditutup rapat seperti itu? Apa bakal datang badai besar atau tornado sebentar lagi? Atau itu untuk menjaga agar tidak ada seorang pun yang bisa masuk? Atau mencegah seseorang (dirinya, mungkin?) agar tidak kabur?

Masih berbaring, ia perlahan-lahan memutar kepalanya dan memeriksa seluruh ruangan. Dia tidak melihat furnitur apapun, selain kasur tempatnya berbaring. Tidak ada laci, tidak ada meja, tidak ada kursi. Tidak ada lukisan, jam, atau cermin di dinding. Tidak ada lampu atau cahaya. Dia juga tidak mendapati permadani atau karpet di lantai. Hanya kayu. Dinding ditutupi dengan wallpaper dari desain yang kompleks, begitu tua dan memudar, namun dengan cahaya yang minim tentu sulit untuk memastikan desain yang digunakan.

Ruangan itu mungkin pernah digunakan sebagai kamar tidur. Namun sekarang semua sisa kehidupan manusia nampaknya telah dibereskan. Satu-satunya hal yang tersisa adalah kasur di tengah. Itu pun hanya kasur, tanpa seprei, tidak ada selimut, tidak ada bantal. Hanya kasur kuno.

Samsa tidak tahu sedang berada dimana, atau apa yang harus dia lakukan. Yang dia tahu adalah bahwa ia sekarang seorang manusia yang bernama Gregor Samsa. Dan bagaimana dia tahu itu? Mungkin seseorang telah berbisik di telinganya sementara ia berbaring tidur? Tapi apa yang terjadi padanya sebelum menjadi Gregor Samsa? Apa yang telah terjadi?

Saat ia mulai mencari jawaban akan beragam pertanyaan itu, sesuatu seperti serombongan hitam nyamuk terbang berputar-putar di kepalanya. Gerombolan itu tumbuh makin tebal dan berjejalan karena pindah ke bagian otaknya yang lebih lembut, dengan terus berdengung. Samsa memutuskan untuk berhenti berpikir. Mencoba memikirkan apapun saat ini hanya jadi beban, membuatnya pusing saja.

Setidaknya ia harus belajar untuk menggerakkan tubuhnya. Dia tidak bisa hanya berbaring menatap langit-langit selamanya. Posturnya saat ini terlalu rentan. Ia tidak punya kesempatan untuk menghindar dari sebuah serangan – dari burung pemangsa misalnya. Sebagai langkah pertama, ia mencoba untuk menggerakan jari-jarinya. Ada sepuluh jari, yang menempel di kedua tangannya. Masing-masing dilengkapi dengan sejumlah sendi, yang membuat sinkronisasi gerakan sangat rumit. Parahnya, tubuhnya ini serasa mati rasa, seolah-olah ada rendaman cairan berat yang lengket, sehingga sulit untuk menyalurkan kekuatan bagi kaki dan tangannya.

Akhirnya, setelah berulang kali mencoba dan gagal, dengan menutup mata dan memfokuskan pikirannya ia berhasil juga mengendalikan jari-jarinya. Sedikit demi sedikit, ia belajar menggunakan jari-jari itu agar bekerja bersama-sama. Semakin lihai mengoperasikan jari-jarinya, mati rasa yang menyelimuti tubuhnya mulai mengendur. Seperti karang gelap dan menyeramkan yang terungkap karena mundurnya air pasang, sekarang datang rasa sakit yang luar biasa.

Butuh beberapa saat sampai Samsa menyadari bahwa rasa sakit itu adalah rasa lapar. Keinginan untuk mendapat makanan ini sesuatu yang baru baginya, atau setidaknya dia tidak ingat pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Rasanya seperti ia tidak mendapat makanan selama seminggu. Seolah-olah di tubuh bagian tengahnya sekarang kosong melompong. Tulangnya berderit; otot-ototnya mengepal; organnya mengejang.

Tidak dapat menahan rasa sakitnya lebih lama, Samsa menempatkan siku di kasur, kemudian secara perlahan mendorong tubuhnya. Ketika melakukan ini, tulang belakangnya menciptakan retakan yang lirih dan sedikit menyakitkan. Ya Tuhan, pikir Samsa, sudah berapa lama aku telah berbaring di sini? Tubuhnya protes setiap ia bergerak. Tapi dia terus berjuang, menyusun kekuatannya, sampai akhirnya, ia berhasil duduk.

Samsa menunduk cemas mendapati tubuhnya yang telanjang. Sungguh bentuk yang buruk! Bentuk yang sangat buruk. Tubuh ini tak memiliki alat pertahanan diri. Kulit putih mulus (ditutupi oleh rambut ala kadarnya) dengan pembuluh darah biru rapuh terlihat melalui itu; perut lunak yang tidak terlindungi; alat kelamin berbentuk aneh yang menggelikan; lengan dan kaki yang begitu kurus (hanya ada dua dari masing-masing!); leher yang gampang sekali patah; kepalanya besar dan cacat yang atasnya ditumbuhi jalinan rambut kaku; dua telinga terasa masuk akal, namun menonjol keluar seperti sepasang kerang. Apakah hal ini benar-benar dia? Mampukah tubuh tidak masuk akal seperti ini, yang begitu mudah dihancurkan (tidak ada cangkang untuk perlindungan, tidak ada senjata untuk menyerang) bisa bertahan hidup di dunia? Mengapa sih ia tidak berubah menjadi seekor ikan saja? Atau bunga matahari? Ikan atau bunga matahari nampaknya masuk akal. Lebih masuk akal, ketimbang tubuh manusia ini, Gregor Samsa.

Menguatkan diri, ia menurunkan kakinya di tepi tempat tidur sampai telapak kakinya menyentuh lantai. Dingin tak terduga dari kayu membuatnya terkesiap. Setelah beberapa kali percobaan, yang membuatnya terjatuh ke lantai, akhirnya ia mampu menyeimbangkan diri pada dua kakinya. Dia berdiri di sana, dengan memar dan rasa sakit, satu tangan menggenggam bingkai kasur sebagai pijakan. Kepalanya masih tak seimbang, berat dan sulit untuk menahan. Keringat mengalir dari ketiaknya, dan kemaluannya menyusut dari yang asalnya tegang. Dia harus mengambil beberapa napas dalam-dalam sebelum ototnya mulai rileks.

Setelah berhasil berdiri, ia harus belajar berjalan. Berjalan dengan dua kaki menjadi semacam siksaan, setiap gerakan menghasilkan rasa sakit. Dari sudut pandang manapun, dia berasumsi bahwa gerakan memajukan kaki kanan dan kaki kiri satu demi satu adalah proposisi aneh yang melanggar semua hukum alam, apalagi antara jarak matanya ke lantai membuatnya ngeri ketakutan. Dia juga harus belajar mengkoordinasikan pinggul dan lutut sendinya. Setiap kali ia mengambil langkah maju, lututnya bergetar, dan ia menopang dirinya ke dinding dengan kedua tangannya.

Ia tahu bahwa ia tidak bisa tetap berada di ruangan ini selamanya. Karena jika dia tidak menemukan makanan dengan cepat, perutnya yang lapar ini bakal memakan dagingnya sendiri, dan pasti ia akan mati.

***

Dia terhuyung ke arah pintu, mengais-ngais di dinding untuk sampai. Tampaknya ini menghabiskan berjam-jam lamanya, meskipun ia tidak memiliki cara untuk mengukur waktu, kecuali lewat rasa sakit yang terus bertambah. Gerakannya sangat aneh, dan selambat siput. Dia tidak bisa maju tanpa bersandar pada sesuatu untuk menopangnya.

Dia meraih gagang pintu dan menariknya. Namun pintu tidak terbuka. Dengan mendorong pun tak terjadi apa-apa. Berikutnya, ia terlebih dahulu memutar kenop ke kanan dan menarik pintu tersebut. Pintu terbuka setengah dengan menghasilkan bunyi berdecit. Dia melongokan kepalanya melalui celah terbuka tadi dan melihat keluar. Lorong itu kosong. Begitu sunyi setenang dasar lautan. Dia mengulurkan kaki kirinya melalui pintu, mengayunkan bagian atas tubuhnya keluar, dengan satu tangan berpegang di kusen pintu, dan kaki kanan mengikuti. Dia bergerak perlahan menyusuri koridor, tangan tetap berpegangan ke dinding.

Ada empat pintu di lorong itu, termasuk satu yang baru saja dilewati. Semua identik, dibuat dari kayu gelap yang sama. Apakah ada sesuatu, atau siapa, yang ada di dalamnya? Ia ingin membukanya dan mencari tahu. Mungkin dengan melakukannya, ia bakal mendapatkan pemahaman soal keadaan misterius yang menimpa dirinya ini. Setidaknya menemukan sebuah petunjuk. Namun demikian, ia melewati setiap pintu, sebisa mungkin tak membuat kebisingan sedikit pun. Kebutuhan untuk mengisi perut keroncongannya mengalahkan rasa ingin tahunya. Dia harus menemukan sesuatu untuk dimakan dulu.

Dan sekarang ia tahu cara untuk mendapatkannya.

Cukup ikuti bau, pikirnya, sambil mendengus. Tercium aroma masakan yang melayang di udara. Informasi yang ditangkap oleh indera penciuman di hidung itu lalu ditransmisikan ke otak, menghasilkan suatu refleks yang begitu hidup, keinginan yang begitu keras makin nyata, ia bisa merasakan ususnya perlahan-lahan memuntir, seolah-olah sedang disiksa oleh eksekutor berpengalaman. Air liur membanjiri mulutnya.

Untuk mencapai sumber aroma, rupanya ia harus turun melewati tangga curam, ada tujuh belas anak tangga. Ah berjalan di permukaan datar saja cukup menyulitkan – sungguh ini serasa mimpi buruk. Dia meraih pilar tangga dengan kedua tangan dan mulai turun. Pergelangan kakinya yang kurus serasa tak kuat menopang berat badannya, dan ia hampir saja terguling dari tangga.

Dan apa yang terlintas di pikiran Samsa saat ia berjalan menuruni tangga? Kembali ikan dan bunga matahari yang terbayang. Ah jika saja aku berubah menjadi ikan atau bunga matahari, pikirnya, aku bisa hidup dalam damai, tanpa perlu berjuang sekeras mungkin untuk menuruni tangga seperti ini.

Ketika Samsa berhasil melewati ketujuh belas anak tangga, ia menegakan dirinya kembali, menyiapkan kekuatan yang tersisa, dan tertatih-tatih menuju aroma menarik tadi. Dia melewati pintu masuk dengan langit-langitnya yang tinggi dan melangkah menuju ruang makan yang pintunya terbuka. Makanan tersaji di atas meja besar berbentuk oval. Ada lima kursi, namun tidak ada tanda-tanda orang. Gumpalan uap putih masih terlihat mengepul dari piring saji. Sebuah vas kaca dengan selusin bunga lili diletakan di tengah meja. Ada empat tempat yang ditata lengkap dengan serbet dan sendok garpu, namun belum tersentuh. Tampaknya ada orang yang telah duduk untuk makan sarapan beberapa menit sebelumnya, kemudian datang suatu kejadian sangat mendadak yang membuat mereka semua lari dari sini. Apa yang sudah terjadi? Kemana mereka pergi? Atau dibawa kemana mereka? Apakah mereka akan datang kembali untuk sarapan?

Tapi Samsa tidak punya waktu untuk menjawab beragam pertanyaan tersebut. Langsung menempati kursi terdekat, ia meraih makanan yang bisa dijangkaunya dengan tangan dan memasukkannya ke dalam mulut, tanpa memperdulikan bahwa di sana ada pisau, sendok, garpu, dan serbet yang tersedia. Dia merobek roti menjadi potongan-potongan dan memakannya tanpa tambahan selai atau mentega, menelan bulat-bulat sosis yang begitu besar, melahap telur rebus begitu cepat sampai ia lupa untuk mengupas kulitnya terlebih dahulu, meraup segenggam kentang tumbuk yang masih hangat, dan mengambil acar dengan jemarinya. Dia melahap semua bersamaan, dan meminum air untuk melegakan tenggorokannya. Soal rasa tak berpengaruh. Mau hambar atau lezat, pedas atau asam – itu semua sama baginya. Yang penting adalah mengisi perut kosongnya. Ia makan dengan konsentrasi penuh, seolah berpacu dengan waktu. Dia begitu terpaku untuk terus makan, saking asyiknya, saat ia menjilati jari-jarinya, ia malah menggigitnya, menganggapnya makanan juga. Sisa-sisa makanan muncrat ke sana-kemari, dan meski piring jatuh ke lantai kemudian pecah, ia tetap acuh.

***

Setelah Samsa kekenyangan dan kembali duduk untuk menghirup nafas, hampir tak ada makanan tersisa, dan meja makan kelihatan sangat berantakan. Itu tampak seolah-olah datang kawanan gagak yang suka bertengkar melalui jendela yang terbuka, melahap segalanya, dan terbang keluar lagi. Satu-satunya hal tak tersentuh adalah vas bunga lili; kalau saja masih belum kenyang, mungkin ia bakal melahap ini juga.

Dengan penuh kebingungan, dia duduk di kursinya untuk waktu yang lama. Tangan diletakan di atas meja, ia menatap bunga lili itu dengan menyipitkan matanya dan memandangnya lama, dengan napas lambat, sementara makanan tadi sedang diproses dalam sistem pencernaannya, dari kerongkongan menuju ke ususnya. Rasa kenyang terasa olehnya seperti air pasang yang naik. Dia mengambil panci logam dan menuangkan kopi ke dalam cangkir keramik putih. Aroma tajam mengingatkannya pada sesuatu. Tidak muncul secara langsung, namun berlangsung secara bertahap. Timbul perasaan aneh, seolah-olah sedang mengingat-ingat masa sekarang dari masa depan. Seolah waktu telah terbelah dua, sehingga antara memori dan pengalaman berputar dalam siklus tertutup, masing-masing saling mengikuti yang lainnya. Ia menuangkan krim dengan takaran sembarang ke kopinya, diaduk dengan jarinya, lalu meminumnya. Meskipun kopi telah dingin, masih terasa sedikit hangat. Dia meminumnya, namun terlebih dulu menyimpan cairan kopi itu di mulutnya, sebelum akhirnya mengalirkannya ke tenggorokannya. Ada semacam rasa tenang yang ia alami.

Tiba-tiba ia merasa dingin. Rasa laparnya tertutupi inderanya yang lain. Sekarang ia telah kenyang, dinginnya pagi yang menerpa kulitnya membuatnya gemetaran. Api telah padam. Tak satu pun pemanas yang diaktifkan. Yang pasti, dia tengah telanjang bulat.

Ia mengerti bahwa ia harus menemukan sesuatu untuk dipakai. Kalau seperti ini bakal kedinginan. Selain itu, akan menjadi masalah jika seseorang muncul. Mungkin ada yang mengetuk pintu. Atau mungkin orang-orang yang akan sarapan tadi akan kembali. Siapa yang tahu bagaimana mereka akan bereaksi jika mereka menemukan dia dalam keadaan telanjang begini?

Dia sangat mengerti semua ini. Dia tak menduga-duga, atau memikirkan ini secara serius; ia sangat tahu ini, sangat biasa dan hanya hal sederhana. Samsa masih tidak tahu dari mana pengetahuan tersebut berasal. Mungkin hal ini terkait dengan ingatannya yang mulai terungkap.

Rumah ini menghadap langsung ke jalan. Bukan jalan raya yang besar. Dan tak banyak pula orang yang lewat. Namun demikian, ia mencatat bahwa setiap orang yang melintas pasti berpakaian lengkap. Dengan pakaian beragam warna dan gaya. Pria dan wanita mengenakan pakaian yang berbeda. Kaki mereka ditutupi sepatu dari kulit. Beberapa memakai sepatu yang cerah sehabis dipoles. Dia bisa mendengar langkah sepatu mereka yang beradu dengan bebatuan jalan. Terlihat banyak pria dan wanita mengenakan topi. Mereka berjalan dengan dua kaki tanpa perlu memikirkan apapun dan menjaga alat kelamin mereka tertutup. Samsa membandingkan dirinya yang terpantul di cermin aula itu dengan orang-orang yang berjalan di luar. Pria yang dilihatnya di cermin itu kucel, hanya tampak sesosok makhluk lemah. Perutnya yang penuh dengan tumpahan saus, dan remah-remah roti menempel pada rambut kemaluannya yang seperti potongan-potongan kapas. Dia menyingkirkan beragam kotoran itu dengan tangannya.

Ya, dia kembali berpikir, aku harus mencari sesuatu untuk menutupi tubuhku.

Dia menengok ke jalanan sekali lagi, mencari kalau-kalau ada burung. Namun tak ada satu pun burung yang dapat ia lihat.

Lantai dasar rumah terdiri dari ruang tengah, ruang makan, dapur, dan ruang tamu. Sejauh pengamatannya, tidak satupun ruangan ini yang menyimpan pakaian. Dapat disimpulkan bahwa mengenakan dan melepas pakaian dilakukan di ruang lain. Mungkin ada kamarnya di lantai dua.

Samsa kembali ke tangga dan mulai menaiki. Dia terkejut menemukan betapa mudahnya menaiki tangga ketimbang turun tadi. Mencengkeram pegangan, ia mampu menaiki tujuh belas anak tangga jauh lebih cepat dan tanpa rasa sakit atau takut, berhenti beberapa kali (meski tidak lama) untuk mengatur napas.

Keberuntungan sedang berpihak padanya, karena semua pintu di lantai dua tidak terkunci. Yang perlu ia lakukan adalah memutar kenop dan mendorong, dan setiap pintu akan terbuka. Ada empat kamar, terlepas dari ruang dingin tempat tadi ia terbangun, semua kamar tertata lengkap dan nyaman. Masing-masing memiliki tempat tidur dengan kasur yang bersih, lemari, meja tulis, lampu yang ditempelkan ke langit-langit atau dinding, dan karpet dengan pola yang rumit. Buku tersusun rapi di rak, dan lukisan minyak pemandangan menghiasi dinding. Setiap kamar memiliki vas kaca yang penuh dengan bunga-bunga cerah. Tidak ada papan kasar dipaku di jendela. Setiap jendela dipasangi gorden, sehingga sinar matahari bisa masuk. Tempat tidur menunjukkan kalau seseorang pernah tidur di sini. Dia bisa melihat bekas tindihan kepala di bantal.

Dia memakaikan baju ganti itu untuk menutupi tubuh telanjangnya, dan setelah mencoba beberapa kali akhirnya ia berhasil mengikatkan tali pinggangnya. Dia menatap dirinya di cermin, sekarang ia sudah berpakaian, dengan baju ganti dan sepasang sandal. Ini pasti lebih baik ketimbang berjalan-jalan dengan hanya bugil. Memang tidak sehangat yang ia kira, tapi selama ia tetap berada dalam ruangan ini tentu tak bakalan terasa terlalu dingin. Yang pasti, ia tidak perlu khawatir bahwa kulitnya yang lembut ini bakal jadi incaran para burung pemangsa.

つづく / Bersambung

**********

haruki murakami

Haruki Murakami (村上 春樹, lahir di Kyoto, 12 Januari 1949) adalah penulis Jepang kontemporer yang menggenggam banyak penghargaan di dunia kepenulisan. Ia menulis belasan novel, puluhan cerpen, beberapa buku nonfiksi, dan rajin menerjemahkan karya asing ke Bahasa Jepang. Karya fiksi Murakami seringnya bertema surealistik dan nihilistik, yang ditandai dengan cara pembawaan Franz Kafka lewat tema kesendirian dan pengasingan. Karya-karya pentingnya seperti A Wild Sheep Chase (1982), Norwegian Wood (1987), The Wind-Up Bird Chronicle (1994-1995), Kafka on the Shore (2002), dan 1Q84 (2009–2010).

Berkat kiprahnya yang luar biasa di bidang kepenulisan, Murakami dianggap sebagai tokoh penting dalam sastra posmodern. The Guardian memujinya sebagai salah satu novelis terbesar di dunia yang masih hidup saat hidup.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1767

12 Comments

  1. 😀 hahah thanx sob Gue fans-nya Bang Haruki. 🙂 nice story, seperti biasa… ceritanya lambat, detail, tapi mengalir lembut. Temanya masihh sama, “sendirian lagi!”. :p
    :3 Gak ngira pas kunjungan kali ini saya mndapat surprise cerpen ini.
    ditunggu sambungannya ya!

  2. Ini terjemahannya beneran kata per kata kan? Sumpah Haruki ini, deskripsinya tebal banget. Bener kata Bara, cara penyampaian Haruki ini polos dan apa adanya. Saking terlalu detail dijelaskan, gue agak-agak ngantuk bacanya. Hahaha. Sedikit membosankan yah? Maaf, buat tulisannya Haruki. :p

    • Ya, memang seperti ini Murakami, emang kadang dengan irama lambat tapi selalu sukses bikin kita terhanyut buat terus ngebacanya.
      Dan mungkin ini sebagian besar kesalahannya gara-gara penerjemahnya yg masih amatiran ini. Maafkan.

  3. Saya suka baca karya Haruki Murakami, nggak tau kenapa. Kesan novel-novelnya emang datar dan agak ngebosenin tapi keren… saya belum pernah baca cerpennya, ditunggu sambungannya….

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *