Cerpen Terjemahan: “Samsa Jatuh Cinta” Karya Haruki Murakami [2/2]

Prakata:

Berbeda dari cerita-cerita Murakami lainnya, cerpen ini nggak mengambil latar di Jepang, tetapi di Praha saat Perang Dunia II. Ketika suatu makhluk bermetamorfosis menjadi seorang manusia dengan nama Gregor Samsa — alusi dari kisah The Metamorphosis-nya Franz Kafka, dengan gaya bercerita dan tata bahasa yang khas penulis kelahiran Praha itu.

samsa in love

Penerjemah: Ted Goossen (Inggris), Arif Abdurahman (Indonesia)

Saat bel pintu berdering, Samsa sedang tiduran di kamar yang paling besar (di kasur besar pula) dalam rumah itu. Sangat hangat berbaring di bawah selimut bulu, rasa nyamannya serasa sedang tidur dalam telur saja. Dia bangun dari mimpi. Dia tak bisa mengingat detailnya, yang pasti sesuatu yang menyenangkan. Bel yang bergema dalam rumah membangunkan dan membuatnya kembali merasakan hawa dingin.

Dia bangkit dari tempat tidur, mengencangkan tali pinggang baju gantinya, memakai sandal biru gelapnya, menyambar tongkat berjalannya, kemudian menyusuri pegangan, lalu menuruni tangga. Ini jadi tambah mudah ketimbang yang tadi dia lakukan. Tentu, resiko jatuh masih ada. Dia harus tetap berhati-hati. Fokus pada langkahnya, ia menuruni tangga satu per satu, sementara bel masih terus berdering. Siapa pun yang menekan bel itu pasti orang yang tidak sabaran dan keras kepala.

Dengan tongkat berjalan di tangan kiri, Samsa menuju pintu depan. Dia memutar kenop dan menarik, pintu pun terbuka.

Seorang gadis pendek berdiri di luar. Gadis yang sangat pendek. Yang jadi pertanyaan, bagaimana ia bisa mencapai bel. Dan ketika dia melihat lebih teliti, ia menyadari bahwa ini bukan masalah ukuran tubuhnya. Itu karena punggungnya, yang bungkuk ke depan. Ini yang membuatnya terlihat pendek, padahal sebenarnya dia memiliki dimensi tubuh yang normal. Gadis itu mengikat rambutnya dengan pita karet agar tak menutupi wajahnya. Rambutnya coklat kemerah-merahan dan sangat lebat. Dia mengenakan jaket wol, dengan rok longgar yang menutupi kakinya. Syal katun belang melilit lehernya. Dia tidak mengenakan penutup kepala apapun. Sepatunya bertali tinggi, dan dia tampaknya berusia dua puluhan awal. Masih ada sesuatu dari si gadis itu. Matanya besar, hidungnya kecil, dan bibirnya memutar sedikit ke satu sisi, seperti bulan kurus. Alis hitamnya membentuk dua garis lurus di dahinya, memberinya tampilan skeptis.

“Benarkah ini rumah Samsa?” tanya si gadis sambil mendongakkan kepalanya. Lalu ia memutar tubuhnya. Seperti liku bumi yang diterjang gempa hebat saja.

Samsa sedikit terkejut, namun mencoba menenangkan diri. “Ya,” jawabnya. Karena memang ia sendiri adalah Gregor Samsa, dan tentunya ini tempat tinggal Samsa. Bagaimanapun, tak ada salahnya menjawab seperti ini.

Namun wanita itu tampaknya menemukan jawabannya tadi kurang memuaskan. Sedikit kerutan terlihat di keningnya. Mungkin wanita itu menangkap kebingungan dari jawaban ragu-ragu tadi.

“Jadi benarkah ini rumah Samsa?” wanita itu bertanya dengan suara tajam. Layaknya penjaga yang memeriksa pengunjung liar yang kedapatan tak membawa karcis.

“Aku Gregor Samsa,” jawab Samsa, mencoba dengan nada tenang sebisanya. Dia sangat yakin dengan jawabannya kali ini.

“Aku harap anda benar,” timpal gadis itu, kemudian meraih tas kulit yang disimpan dekat kakinya. Tas hitam yang terlihat sangat berat. Tas yang telah usang. “Jadi mari kita mulai.”

Gadis itu melangkah memasuki rumah tanpa menunggu balasan. Samsa menutup pintu. Gadis itu berdiri, melihatnya dari atas ke bawah. Nampaknya baju ganti dan sandal yang dikenakan Samsa bikin gadis itu penasaran.

“Aku pikir aku telah membangunkanmu,” kata gadis itu, suaranya dingin.

“Memang benar,” jawab Samsa. Dia bisa menangkap ekspresi gadis itu, bahwa pakaiannya ini tidak sesuai untuk melakukan sebuah pertemuan. “Aku minta maaf soal yang kukenakan ini,” Samsa berdalih. “Alasannya sih…”

Gadis itu cuek saja. “Jadi, yang mana?” tanyanya dengan mengerutkan bibir.

“Jadi, yang mana?” Samsa mengulangi.

“Jadi, yang mana kunci yang bermasalah itu?” tanya gadis itu.

“Kunci?”

“Kunci yang rusak,” sebut gadis itu. “Anda sendiri yang menyuruh saya untuk datang dan memperbaikinya.”

“Ah,” ucap Samsa. “Kunci yang rusak.”

Samsa menggeledah pikirannya. Tidak lama setelah ia berhasil fokus pada satu hal, bagaimanapun, sepasukan nyamuk bergumul lagi dalam otaknya.

“Aku belum pernah mendapati masalah apa pun tentang kunci,” katanya. “Dugaanku mungkin itu adalah salah satu pintu di lantai dua.”

Wanita itu melotot padanya. “Dugaan anda?” tanyanya, mengintip wajah Samsa. Suaranya makin dingin. Dengan alis melengkung seperti orang yang tak percaya. “Salah satu pintu ya?” Ia melanjutkan bertanya.

Samsa bisa merasakan mukanya memerah. Ketidaktahuannya soal kunci yang rusak itu membuatnya merasa sangat malu. Dia berdeham mencoba bicara, namun tak satupun kata bisa keluar.

“Tuan Samsa, apakah orangtuamu ada di rumah? Saya rasa lebih baik saya bicara langsung dengan mereka.”

“Mereka telah pergi keluar, tampaknya ada suatu keperluan,” kata Samsa.

“Suatu keperluan?” tanya gadis itu, terkejut. “Di saat banyak kekacauan begini?”

“Aku tak tahu. Ketika aku bangun pagi ini, semua orang sudah tak ada,” jawab Samsa.

“Oh malangnya,” perempuan muda itu menimpali. Dia menghela napas panjang. “Kami telah memberitahukan bahwa bakal ada yang datang hari.”

“Maaf ya.”

Wanita itu berdiri di sana sejenak. Kemudian, perlahan-lahan, alis melengkungnya turun, dan dia memandang tongkat hitam di tangan kiri Samsa. “Apakah ada gangguan pada kaki anda, Gregor Samsa?”

“Ya, sedikit,” Samsa berbohong.

Sekali lagi, wanita itu tiba-tiba menggeliat. Samsa tidak tahu tindakan untuk apa itu atau apa tujuannya. Namun ia tertarik oleh gerakan kompleks barusan.

“Nah, apa yang harus kulakukan,” kata wanita itu dengan nada pasrah. “Mari kita lihat pintu di lantai dua itu. Aku datang jauh-jauh dari seberang jembatan dan melewati jalanan kota yang penuh konflik mengerikan untuk sampai ke sini. Hidup saya dipertaruhkan. Sehingga tidak masuk akal untuk mengatakan, ‘Oh, jadi tidak ada yang perlu kulakukan di sini? Baiklah aku akan kembali lagi nanti saja,’ kan? “

Konflik mengerikan? Samsa tidak bisa memahami apa yang gadis itu bicarakan. Apa perubahan mengerikan itu terjadi? Tapi dia memutuskan untuk tidak menanyakan detailnya. Lebih baik menghindari pertanyaan itu agar ketidaktahuannya tidak ketahuan.

Kembali membungkuk, wanita muda itu mengambil tas hitam berat di tangan kanannya dan menaiki tangga dengan susah payah, seperti serangga merangkak. Samsa mengikuti di belakangnya, tangannya berpegangan di pilar tangga. Gaya berjalan gadis itu yang seperti merayap membangkitkan rasa simpatinya – ini mengingatkannya pada sesuatu.

Wanita itu berdiri di anak tangga teratas dan mengamati lorong. “Jadi,” katanya, “salah satu dari empat pintu ini mungkin ada yang kuncinya rusak, kan?”

Wajah Samsa memerah. “Ya,” katanya. “Ada di salah satu pintu. Mungkin ada di ujung lorong di sebelah kiri, mungkin, ” katanya, ragu-ragu. Itu adalah pintu ke kamar kosong tempat ia terbangun pagi tadi.

“Bisa saja,” kata wanita itu dengan suara tak bersemangat seperti api unggun yang mau padam. “Mungkin ya.” Dia berbalik untuk memeriksa wajah Samsa ini.

“Entah bagaimana,” ucap Samsa.

Gadis itu menghela napas lagi. “Gregor Samsa,” katanya datar. “Kamu orang yang asyik untuk diajak ngobrol. Kosakatamu sungguh kaya, dan bicaramu jelas, langsung ke titik persoalan.” Kemudian nadanya berubah. “Tapi bagaimanapun. Mari kita periksa pintu di sebelah kiri di ujung lorong yang pertama itu.”

Wanita itu melangkah menuju pintu. Dia memutar kenop bolak-balik dan mendorong, dan itu terbuka ke dalam. Keadaan kamar itu tak berubah: hanya kasur saja yang kurang bersih. Lantai kosong. Papan dipaku di jendela. Gadis itu tentu saja menyadari semua ini, tapi dia tidak menunjukkan keheranan apapun. Sikap yang menggambarkan kalau ada kamar lain yang sama bisa ditemukan di seluruh kota.

Gadis itu berjongkok, membuka tas hitam, mengeluarkan kain flanel putih, dan menggelarnya di lantai. Lalu ia mengambil sejumlah perkakas, kemudian menyusunnya dengan hati-hati di atas kain, seperti eksekutor yang mempertontonkan instrumen penyiksa menyeramkannya bagi para martirnya yang malang.

Memilih kawat dengan ketebalan sedang, gadis itu memasukkannya ke lubang kunci dan dengan tangan terlatihnya mengorek dari berbagai sudut. Matanya menyipit mencoba berkonsentrasi, telinganya dipasang agar bisa mendengar suara sekecil apapun. Selanjutnya, ia memilih kawat yang lebih tipis dan mengulangi proses tadi. Mukanya jadi suram, dan bibirnya mengecut, setajam pedang China. Dia mengambil senter besar dan dengan tampilan hitam di matanya, mulai memeriksa kunci dengan lebih teliti.

“Apakah kamu punya kunci untuk pintu ini?” Tanyanya kepada Samsa.

“Aku tak tahu sama sekali dimana kuncinya,” jawabnya jujur.

“Ah, Gregor Samsa, kamu bikin saya ingin mati saja,” ucap gadis itu.

Setelah itu, gadis itu mengabaikannya. Dia memilih obeng dari perkakas yang disusun di atas kain dan selanjutnya mencopot kunci dari pintu. Gerakannya lambat dan hati-hati. Dia berhenti berkali-kali saat melakukan proses pencopotan itu untuk memutar dan menggeliat seperti yang sebelum-sebelumnya.

Sementara Samsa berdiri di belakangnya, menyaksikan gerakan gadis itu yang unik, tubuh Samsa sendiri mulai merespon dengan cara yang aneh. Tubuhnya memanas, dan lubang hidungnya yang melebar. Mulutnya begitu kering sehingga menghasilkan suara tegukan keras setiap kali ia menelan ludah. Telinganya gatal. Dan organ seksualnya yang menggantung sedemikian rupa itu, mulai mengeras dan membesar. Muncul tonjolan yang terlihat di baju mandi gantinya. Dia memang sedang bediri di area gelap kamar, namun tetap saja itu kelihatan.

Setelah berhasil mencopot kunci, gadis muda itu menerawangnya di dekat jendela, melalu sinar matahari yang masuk lewat celah papan. Dia menusuk dengan kawat tipis dan menggoyangkannya dengan keras untuk mengetahui apa yang terdengar, wajahnya tambah murung dan bibirnya mengerucut. Akhirnya, dia mendesah lagi dan berbalik menghadap Samsa.

“Bagian dalamnya ditembak,” ucap gadis itu. “Ini memang rusak. Dan memang yang satu ini, seperti katamu.”

“Bagus berarti.” Samsa menimpali.

“Tidak, tentu saja tidak bagus,” kata gadis itu. “Aku tak bisa memperbaikinya di sini. Ini jenis kunci khusus. Aku harus membawa pulang dan memberikannya ke ayahku atau ke salah satu kakakku. Mereka pasti bisa memperbaikinya. Aku masih amatir-hanya bisa memperbaiki kunci yang biasa.”

“Aku mengerti,” ucap Samsa. Jadi gadis ini punya ayah dan beberapa saudara. Sebuah keluarga tukang kunci.

“Sebenarnya, salah satu kakakku lah yang akan datang hari ini, tapi karena ada kericuhan maka akulah yang disuruh. Kota ini penuh dengan pos-pos pemeriksaan.” Dia melihat kembali kunci di tangannya. “Tapi kenapa ya kunci ini bisa rusak seperti ini? Ini aneh. Seseorang pasti telah mencungkil bagian dalam dengan perkakas khusus. Tidak ada cara lain untuk menjelaskannya. “

Lagi-lagi gadis itu menggeliat. Lengannya diputar seolah-olah dia sedang berenang dengan gaya punggung. Samsa tertarik dan terpukau dengan gerakan itu.

Samsa memberanikan diri. “Bolehkah aku bertanya?” tanyanya.

“Sebuah pertanyaan?” tanya gadis itu, membuat tatapan Samsa jadi ragu-ragu. “Aku tak bisa membayangkan apa, tapi silahkan tanya sesukamu.”

“Kenapa kamu sering menggeliat?”

Gadis itu menatap Samsa dengan bibirnya yang terbuka. “Menggeliat?” Dia berpikir sejenak. “Maksudmu seperti ini?” Gadis itu mendemonstrasikan gerakan menggeliat itu.

“Ya, seperti itu.”

“Bra yang kupakai tidak pas,” jelas gadis itu masam. “Hanya itu.”

“Bra?” tanya Samsa dengan suara kuyu. Kata itu tak bisa ia temukan di kenangan.

“Iya bra. Kamu pasti tahu kan?” tanya gadis itu. “Atau kamu menganggap aneh kalau wanita bungkuk pun memakai bra? Kamu pikir ini perbuatan hina?”

“Bungkuk?” Samsa keheranan. Sebuah kata yang tidak ia ketahui. Dia tidak tahu apa yang dia bicarakan. Namun, ia tahu bahwa ia harus mengatakan sesuatu.

“Bukan, maksudnya aku tak sampai berpikir seperti itu,” Samsa bergumam.

“Dengar. Kami yang bungkuk pun punya dua payudara juga, seperti wanita lain, dan kami tentunya memakai bra. Kami tak mungkin berjalan seperti sapi dengan payudaranya yang berayun-ayun.”

“Tentu saja tidak.” Samsa kehilangan kata.

“Tapi tidak ada bra yang didesain untuk kami-semuanya jadi longgar. Tubuh kami berbeda dengan wanita normal kan? Jadi kami harus menggeliat agar bra kembali pas. Orang bungkuk punya banyak masalah. Jadi karena inilah kamu selalu menatapiku dari belakang?”

“Tidak, bukan sepenuhnya begitu. Aku hanya penasaran kenapa kamu melakukan itu.”

Jadi, Samsa menyimpulkan, bahwa bra adalah perlengkapan yang dibuat untuk menahan payudara, dan bungkuk adalah orang dengan penampakan tubuh seperti gadis itu. Ada banyak yang ia harus pelajari di dunia ini.

“Benarkah kamu tidak sedang mempermainkanku?” tanya gadis itu.

“Aku tak sedang mempermainkanmu.”

Wanita itu memiringkan kepalanya dan menatap Samsa. Dia tahu bahwa Samsa berbicara jujur-tampaknya tidak ada kebencian dalam dirinya. Samsa hanya sedikit lemah di kepala, itu saja. Dia memang beberapa tahun lebih tua dari dia. Selain lambat, ia tampaknya punya keterlambatan mental. Tapi yang pasti, dia berasal dari keluarga baik-baik yang memiliki sopan santun sempurna. Dia tampak tampa, meskipun kurus kecil dan berwajah pucat.

Saat itulah gadis itu melihat tonjolan yang terlihat di bagian bawah baju mandi gantinya.

“Hey, apa-apaan itu?” Katanya dengan nada dingin. “Tonjolan apa itu?”

Samsa menengok ke bawah. Bagian tubuhnya itu benar-benar membesar. Dia bisa menduga dari nada suara sang gadis kalau kondisinya ini merupakan sesuatu yang tidak pantas.

“Aku mengerti,” gadis itu mencibir. “Kamu sepertinya sedang membayangkan dirimu bisa bercinta dengan orang bungkuk sepertiku, kan?”

“Bercinta?” Samsa bertanya-tanya. Satu lagi kata yang tidak ia mengerti.

“Kamu bisa membayangkan, bahwa orang bungkuk bisa dengan mudahnya kamu tarik paksa dari belakang tanpa masalah, kan?” Kata wanita itu. “Percayalah, ada banyak lelaki cabul sepertimu, yang berpikir kalau kami akan membiarkan apapun yang kamu lakukan karena menganggap kami bungkuk. Nah, pikirkan lagi, bocah. Kami tidak gampangan! “

“Aku sangat bingung,” kata Samsa. “Jika aku telah membuatmu tidak senang, aku benar-benar menyesal. Aku minta maaf. Mohon maafkan aku. Aku tidak bermaksud jahat. Aku sedang tidak enak badan, dan ada begitu banyak hal yang aku tak mengerti. “

“Baiklah.” Gadis itu mendesah. “Kamu sedikit lambat kan? Tapi anumu itu bagus juga. Sungguh sial, aku pikir.”

“Maaf,” Samsa berkata lagi.

“Lupakan.” Gadis itu melunak. “Aku punya empat saudara sialan di rumah, dan karena aku adalah seorang gadis kecil mereka telah menunjukkan semuanya. Mereka memperlakukannya seperti lelucon saja. Semua dari mereka. Jadi aku tidak bercanda ketika saya menilai anumu tadi.”

Dia berjongkok untuk menempatkan kembali perkakasnya ke tas, membungkus kunci rusak di flanel dan dengan lembut merapikan semuanya.

“Aku bawa kuncinya ke rumah ya,” ucap gadis itu, sembari berdiri. “Beritahu orang tuamu. Kami akan memperbaikinya atau mungkin bakal menggantinya. Jika harus mengganti dengan yang baru, mungkin perlu beberapa lama, soalnya di luar sana sedang kacau. Jangan lupa untuk memberitahu mereka, oke? Apakah kamu mengikuti omonganku? Dapatkah kamu ingat? “

“Aku akan beritahu mereka,” jawab Samsa.

Dia berjalan perlahan menuruni tangga, Samsa mengikuti di belakang. Mereka kelihatan sama-sama kesusahan: si gadis tampak seolah-olah dia sedang merangkak, sementara Samsa yang di belakangnya berjalan dengan cara yang sangat aneh. Namun langkah mereka identik. Samsa berusaha keras untuk meredakan anunya, tapi nampaknya sulit kembali ke keadaan semula. Menonton gerakan si gadis dari belakang saat menuruni tangga membuat hatinya semakin berdebar-debar. Hot darah, segar menjalari pembuluh darahnya. Anunya makin keras kepala.

“Seperti yang kukatakan sebelumnya, salah satu saudaraku seharusnya yang datang hari ini,” kata gadis itu ketika mereka mencapai pintu depan. “Tapi jalan-jalan dipenuhi oleh tentara dan tank. Orang-orang ditangkapi. Itu sebabnya anggota keluargaku yang lain tidak bisa keluar. Ketika ada yang ditangkap, kita tidak akan tahu kapan akan kembali. Itu sebabnya aku dikirim. Melintasi jalanan Praha, sendirian. ‘Tidak ada yang akan  memperhatikan seorang gadis bungkuk,’ kata mereka.”

“Tank?” Samsa bergumam.

“Ya, ada banyak. Tank dengan meriam dan senapan mesin. Meriammu itu mengesankan,” kata gadis itu, menunjuk tonjolan di bawah baju mandi ganti, “tapi meriam yang di luar itu lebih besar dan lebih keras, dan lebih mematikan. Mari kita berdoa semoga semua orang dalam keluargamu bisa kembali pulang dengan selamat.”

Samsa memberanikan dirinya. “Bisakah kita bertemu lagi?” tanyanya.

Si gadis tadi menengokan kepalanya pada Samsa. “Kamu ingin bisa bertemu denganku lagi?”

“Ya, aku ingin bertemu denganmu sekali lagi.”

“Dengan anumu yang seperti itu?”

Samsa melihat ke bawah si tonjolan tadi. “Saya tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya, tapi itu tidak ada hubungannya dengan perasaan saya. Ini mungkin berkaitan dengan masalah hati.”

“Jangan bercanda,” ucap gadis itu, terkesan. “Sebuah masalah hati katamu. Itu sungguh cara yang menarik. Tak pernah mendengar ini sebelumnya. “

“Kamu lihat, ini di luar kontrolku.”

“Dan ini tidak ada hubungannya dengan bercinta kan?”

“Bercinta tidak ada dalam pikiranku. Sungguh.”

“Jika kusimpulkan. Ketika anumu membesar dan mengeras seperti itu, bukan dari pikiranmu, tetapi itu gara-gara hati?”

Samsa mengangguk setuju.

“Demi Tuhan?” Kata wanita itu.

“Tuhan,” Samsa mengulang. Kata lain yang ia tidak bisa mengingat setelah mendengar sebelumnya. Dia terdiam.

Wanita itu menggelengkan kepalanya. Dia memutar dan menggeliat untuk menyesuaikan branya. “Lupakan. Tampaknya Tuhan sudah meninggalkan Praha sejak beberapa hari yang lalu. Mari kita lupakan tentang Dia.”

“Jadi bisakah aku bertemu denganmu lagi?” tanya Samsa.

Air muka gadis itu berubah – tatap matanya menerawang jauh. “Kamu benar-benar ingin melihatku lagi?”

Samsa mengangguk.

“Apa yang akan kita lakukan?”

“Kita bisa ngobrol bersama.”

“Tentang apa?” tanya si gadis.

“Tentang beragam hal.”

“Hanya ngobrol?”

“Ada banyak yang ingin aku tanyakan kepadamu,” ucap Samsa.

“Tentang apa?”

“Tentang dunia ini. Tentangmu. Tentangku. Aku rasa ada beragam hal yang bisa kita obrolkan. Tank, contohnya. Dan Tuhan. Dan bra. Dan kunci.”

Keduanya terdiam sejenak.

“Aku tidak tahu,” perempuan itu akhirnya berkata. Dia menggeleng pelan, tapi suaranya terasa dingin. “Kau dibesarkan dari keluarga baik-baik tidak sepertiku. Dan aku ragu orang tuamu bakal senang melihat anak kesayangannya berhubungan dengan orang bungkuk dari seberang kota. Bahkan jika anaknya lumpuh dan agak lambat. Selain itu, kota kita sedang ditempati banyak tank dan pasukan asing. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”

Samsa tidak tahu pasti apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia buta tentang segala hal: masa depan, tentu saja, begitupun apa yang terjadi sekarang juga masa lalu. Apa yang benar, dan apa yang salah? Belajar cara berpakaian saja menjadi teka-teki yang rumit.

“Bagaimanapun, aku akan datang kembali beberapa hari lagi,” kata sang gadis bungkuk. “Jika kami dapat memperbaikinya, aku akan membawa kunci, dan jika kami tidak bisa maka aku akan mengembalikannya juga kepadamu. Kamu akan dikenakan biaya untuk layanan panggilan, tentu saja. Jika kamu masih berada di sini, maka kita dapat melihat satu sama lain lagi. Apakah kita bisa punya banyak waktu bicara atau tidak, aku tidak tahu. Tapi kalau aku jadi kamu, aku akan mencoba menjaga agar tonjolan itu tak kelihatan. Di luar sana, kamu tidak mendapatkan pujian kalau mengekspos hal semacam itu. “

Samsa mengangguk. Dia sama sekali tak mengerti, bagaimana cara menyembunyikan barang itu agar tak terlihat.

“Ini aneh, bukan?” Gadis itu berkata dengan suara termenung. “Banyak ledakan di sekitar kita, tapi masih ada orang yang peduli tentang kunci rusak, dan orang lain yang masih mau peduli memperbaikinya. . . . Tapi mungkin inilah cara yang seharusnya. Mungkin tetap bekerja pada hal-hal kecil dengan patuh dan jujur saat dunia sedang kacau membuat kita tetap waras.”

Gadis itu menatap wajah Samsa ini. “Aku tidak bermaksud mencampuri, tapi apa sebenarnya yang terjadi di kamar di lantai dua itu? Mengapa orang tuamu perlu sebuah kunci besar untuk sebuah kamar kosong yang cuma ada tempat tidur, dan mengapa hal seperti itu membuat mereka terganggu ketika kuncinya rusak? Dan kenapa mereka memaku papan di jendelanya? Apakah ada sesuatu yang dikurung di sana?”

Samsa menggeleng. Jika seseorang atau sesuatu itu telah dikurung di sana, itu pasti dia. Tapi mengapa itu menjadi penting? Ia tidak tahu.

“Saya kira tidak ada gunanya bertanya kepadamu,” kata gadis itu. “Yah, aku harus pergi. Mereka akan mengkhawatirkanku kalau aku terlambat. Berdoalah agar aku bisa aman melintasi kota. Semoga tentara akan mengabaikan gadis bungkuk yang miskin ini. Semoga tidak satupun dari mereka adalah orang cabul. Kita sedang dalam kekacauan.”

“Aku akan berdoa,” ucap Samsa. Tapi dia tidak tahu arti dari “cabul” itu. Dan juga “doa”.

Wanita itu mengambil tasnya hitam dan, masih membungkuk, berjalan menuju pintu.

“Bisakah aku bertemu denganmu lagi?” Samsa bertanya untuk terakhir kalinya.

“Jika kamu terus memikirkan seseorang, kamu pasti bisa bertemu dengan mereka lagi,” katanya di perpisahan. Kali ini ada kehangatan dalam suara gadis itu.

“Waspada terhadap burung,” Samsa memanggilnya. Gadis itu berbalik dan mengangguk. Lalu ia pergi ke jalan.

***

Samsa mengamati melalui celah tirai ketika gadis bungkuk itu melintasi bebatuan. Gadis itu berjalan dengan aneh namun dengan kecepatan yang mengejutkan. Samsa tertarik dengan setiap gerak-gerik si gadis yang menawan itu. Gadis itu mengingatkannya pada serangga air yang sedang bergerak cepat di atas air menuju tanah kering. Sejauh yang ia tahu, cara berjalan gadis itu lebih masuk akal ketimbang berjalan dirinya yang bergoyang-goyang dengan dua kaki.

Gadis itu masih terlihat, namun Samsa merasakan kalau alat kelaminnya telah kembali menjadi lemah dan menyusut. Bahwa tonjolan keras tadi telah, lenyap. Sekarang bagian tubuhnya yang bergelantung di antara kakinya itu seperti buah yang tidak bersalah, damai dan tak berdaya. Bolanya beristirahat dengan nyaman di kantung mereka. Menyesuaikan kembali sabuk baju mandi gantinya, ia duduk di meja makan dan minum sisa kopi dinginnya.

Orang-orang yang tinggal di sini sudah pergi ke tempat lain. Dia tidak tahu siapa mereka, tapi ia membayangkan bahwa mereka adalah keluarganya. Sesuatu telah terjadi tiba-tiba, dan mereka telah meninggalkannya. Mungkin mereka tidak akan pernah kembali. Apa maksud dari “kekacauan dunia” tadi? Gregor Samsa tidak tahu. Pasukan asing, pos-pos pemeriksaan, tank-semuanya masih jadi misteri.

Satu-satunya hal yang ia tahu pasti adalah bahwa ia ingin melihat sekali lagi gadis bungkuk itu. Untuk duduk berhadapan dan berbicara tentang isi hatinya. Untuk mengungkap beragam teka-teki dunia dengannya. Samsa ingin menonton dari setiap sudut cara dia memutar dan menggeliat ketika ia sedang membenarkan posisi branya. Jika memungkinkan, dia ingin merabai seluruh tubuh gadis itu. Menyentuh kulit lembut dan merasakan kehangatan gadis itu dengan ujung jarinya. Berjalan berdampingan dengan dia naik dan turun tangga dunia.

Hanya berpikir tentang gadis itu membuatnya merasakan kehangatan dalam dirinya. Tidak muncul lagi keinginannya untuk jadi ikan atau bunga matahari-atau apapun. Ia senang menjadi seorang manusia. Memang, ada ketidaknyamanan kalau harus berjalan dengan dua kaki dan ketika memakai pakaian. Yang pasti, masih ada begitu banyak hal yang ia tidak tahu. Kalau saja ia menjadi ikan atau bunga matahari, dan bukan manusia, tentu dia tak akan mengalami emosi semacam ini. Dia punya perasaan.

Samsa duduk lama di sana dengan mata tertutup. Kemudian, mengambil sebuah keputusan, ia berdiri, meraih tongkat hitam, dan berjalan menuju tangga. Dia kembali ke lantai dua, untuk kemudian belajar cara yang tepat dalam hal berpakaian. Untuk saat ini, setidaknya, ini akan jadi misinya.

Dunia sedang menunggunya untuk belajar beragam hal.

+

***

haruki murakami

Haruki Murakami (村上 春樹, lahir di Kyoto, 12 Januari 1949) adalah penulis Jepang kontemporer yang menggenggam banyak penghargaan di dunia kepenulisan. Ia menulis belasan novel, puluhan cerpen, beberapa buku nonfiksi, dan rajin menerjemahkan karya asing ke Bahasa Jepang. Karya fiksi Murakami seringnya bertema surealistik dan nihilistik, yang ditandai dengan cara pembawaan Franz Kafka lewat tema kesendirian dan pengasingan. Karya-karya pentingnya seperti A Wild Sheep Chase (1982), Norwegian Wood (1987), The Wind-Up Bird Chronicle (1994-1995), Kafka on the Shore (2002), dan 1Q84 (2009–2010).

Berkat kiprahnya yang luar biasa di bidang kepenulisan, Murakami dianggap sebagai tokoh penting dalam sastra posmodern. The Guardian memujinya sebagai salah satu novelis terbesar di dunia yang masih hidup saat hidup.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1880

5 Comments

  1. Waaaah ini teh ketik semua cerpennya? Gw baca yang dikumpulkan di buku blind willow sleeping woman. Lupa tapi isinya euy. Unik ceritanya.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *