Sang Juru Luka, Walt Whitman

walt-whitman_hospital-interior

Terjemahan puisi The Wound Dresser karya Walt Whitman. Bapak Penyair Amerika ini pernah bekerja menjadi perawat sukarela selama tiga tahun saat Perang Sipil Amerika, dan pengalamannya dalam merawat si sakit dan menghadapi beragam kematian itu dituangkan salah satunya dalam puisi ini.

1

Seorang pak tua menunduk saat aku muncul ke arah wajah-wajah baru,
Menengok tahun-tahun yang lampau untuk dirangkum sebagai jawab pada anak-anak,
Ayo kisahkan pada kami hai pak tua, seperti seorang pria muda dan gadis yang mencintaiku,
(Tergugah dan marah, aku berpikir untuk membanting tanda bahaya, dan mendesak perang yang tak berkesudahan,
Tapi segera jariku menghentikanku, wajahku luruh dan aku undur diri,
Untuk duduk bersama yang terluka dan menenangkan mereka, atau diam-diam menyaksikan kematian;)
Tahun-tahun setelah kejadian ini, dalam kegeraman berapi-api ini, dalam kesempatan ini,
Pahlawan pilih tanding, (apakah yang satu begitu perkasa? dan yang lain sama-sama perkasa;)
Sekarang jadilah saksi lagi, ulas balatentara paling tangguh di muka bumi itu,
Dari balatentara itu begitu gegas begitu menakjubkan yang kau lihat bisakah untuk dikisahkan buat kami?
Apa yang tetap tinggal paling akhir dan mendalam? dalam kepanikan yang sukar dipahami,
Dari pertempuran gemilang atau pengepungan luar biasa itu apa yang tertinggal paling membekas?

2

Wahai gadis dan pria muda yang kucinta dan yang mencintaiku,
Apa yang kau minta dari hari-hariku yang begitu aneh dan ingatan akan perbincangan yang tiba-tiba,
Serdadu membuatku siaga setelah perjalanan panjang dalam balutan peluh dan debu,
Tepat pada waktu aku datang, terjun dalam perjuangan, keras berteriak dalam serbuan cepat penuh gemilang,
Masukkan hasil kerja tangkapan—meski pun, seperti satu sungai berarus deras yang menghilang secara perlahan,
Melintas dan hilang memudar—aku tidak memikirkan resiko serdadu atau sukacita serdadu,
(Keduanya kuingat dengan baik—banyak kesulitan, beberapa kegembiraan, namun aku puas.)

Tapi dalam diam, dalam proyeksi mimpi,
Sementara blantika peruntungan dan pertunjukan dan keriaan berlangsung,
Segera apa yang telah selesai dilupakan, dan gelombang menghapus jejak di atas pasir,
Dengan lutut-lutut dibebat kembali aku memasuki pintu, (sedangkan untuk kau di sana,
Siapa pun kau, ikuti dengan tanpa suara dan kuatkan hati.)

Menjingjing perban, air dan spons,
Lekas dan sigap untuk rawatanku aku pergi,
Di mana mereka terbaring di tanah setelah pertempuran terjadi,
Di mana darah tak ternilai mereka memerahkan rumput, juga tanah,
Atau ke deretan tenda rumah sakit, atau di bawah rumah sakit beratap,
Untuk deretan panjang dipan yang ke atas ke bawah di setiap sisi aku sekembalinya,
Untuk masing-masing dan semuanya satu demi satu aku mendekat, tidak satu pun kulewatkan,
Petugas lainnya memegang nampan, ia membawa ember sampah,
Segera akan penuh dengan gumpalan kain dan darah, dikosongkan, dan penuh lagi.

Aku terus pergi, aku berhenti,
Dengan lutut dibebat dan tangan yang mantap untuk membalut luka,
Aku ketat pada tiap-tiap mereka, kepedihan begitu jelas dan tak dapat dihindari,
Seseorang mengalihkanku dengan matanya yang menarik—bocah yang malang! Aku tidak pernah mengenalimu,
Namun aku pikir aku tidak bisa menolak saat ini untuk mati karenamu, jika itu akan menyelamatkanmu.

3

Saat ini, saat ini aku pergi, (buka pintu-pintu waktu! buka pintu-pintu rumah sakit!)
Kepala yang remuk kubebat, (tangan makin menggila merobek perban,)
Leher seorang kavaleri yang tertembus peluru kuperiksa,
Keras untuk bernapas, sayu matanya, namun kehidupan berjuang keras,
(Datanglah kematian yang manis! Jadi yakinlah Hai maut yang indah!
Dalam rahmat cepatlah datang.)

Dari tunggul lengan, tangan yang diamputasi,
Aku membuka balutan bergumpal, mengerik kulit mati, membersihkan nanah dan darah,
Kembali pada bantalnya si prajurit membungkuk dengan leher bengkok dan kepala yang menyamping,
Matanya tertutup, wajahnya pucat, dia tidak berani melihat pada tunggul berdarah,
Dan belum melihatnya.

Aku membebat luka di sampingnya, dalam, dalam,
Tapi satu atau dua hari lagi, untuk melihat keadaan badan seluruhnya sia-sia dan tenggelam,
Dan wajah kuning-biru terlihat.

Aku membebat bahu berlubang, kaki dengan luka akibat peluru,
Membersihkan satu dengan gangren busuk yang menggerogoti, begitu memuakkan, begitu menjijikan,
Sementara petugas lain berdiri di belakangku memegang nampan dan ember.

Aku setia, aku tidak menyerah,
Paha yang patah, di lutut, luka di perut,
Ini dan lainnya aku bebat dengan tangan tanpa ekspresi, (meski di dadaku ada api, api yang membakar.)

4

Jadi dalam keheningan dalam proyeksi mimpi-mimpi,
Kembali, lanjutkan, aku memperjalin jalan menuju rumah sakit,
Yang sakit dan luka kutentramkan dengan belaian menenangkan,
Aku duduk bersama dengan gelisah setiap malam gelap, ada yang masih begitu muda,
Beberapa benar-benar menderita, aku teringat pengalaman manis dan sedih,
(Banyak lengan penuh kasih seorang prajurit leher ini telah bersilang dan istirahat,
Banyak ciuman prajurit berdiam di bibir berjenggot ini.)

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1926

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *