Sang Penindas Diri

Setiap lelaki punya dua biografi erotis. Biasanya orang hanya berbicara mengenai yang pertama: daftar hubungan gelap dan beberapa kunjungan malam. Biografi satunya lagi terkadang lebih menarik: parade perempuan yang ingin kita miliki, perempuan-perempuan yang melarikan diri. Inilah sejarah yang sangat memilukan dari kesempatan yang terbuang.

The Book of Laughter and Forgetting, Milan Kundera

Ketika ada lebih dari satu manusia, bakal tercipta sebuah relasi sosial, dan relasi ini seringnya melahirkan kutub-kutub yang timpang: sang penindas dan yang tertindas. Saya tak sedang membahas ide-ide besar semacam kelas proletar lawan kelas borjuis, meski mula-mula memang diterapkan dari sini. Relasi sosial ini sangat sehari-hari, dalam perkawanan serta hubungan asmara, sang penindas dan yang tertindas akan selalu muncul. Masalahnya, antara kedua pihak kadang tak menginsafi dirinya sendiri. Dibutuhkan dialog, untuk saling menyadarkan, saling membebaskan. Dialog menjadi jawaban atas masalah tadi, sekaligus akar masalah karena kesukarannya. Surga enggan dibangun di dunia ini karena manusia dibikin payah dalam kemampuan berdialog. Benar memang, sejarah manusia adalah sejarah panjang soal pertentangan antara sang penindas dan yang tertindas, dibumbui beragam komedi tragedi berkat mandeknya dialog.

Lampu lantai dua mati, dimatikan. Kantuk tertahan perut begah, dan hasrat untuk saling mendengarkan, serta didengarkan. Sesi psikoterapi dengan tanpa sofa dan tanpa kehadiran ahli jiwa resmi digelar. Lantai dua Pasirjaya XIII No. 3 tak banyak berbeda dengan Solontongan 20D, dalam segi nuansa. Gelap yang menaungi ruangan menyulap tiap-tiap penginap menjadi Syahrazad, juru cerita dalam Kisah Seribu Satu Malam. Tak semua begitu, selalu ada yang gigih mengunci mulutnya, atau yang masih malu-malu kunyuk. Jujur, meski sering memberi komentar, saya sendiri begitu menutup diri. Karena mayoritas diisi lelaki, racauan yang tercipta banyak dihiasi guyon cabul agak seksis. Percakapan-percakapan yang terjadi sangat bisa menyaingi adu bacot dalam cerpen What We Talk About When We Talk About Love-nya Raymond Carver.

Kembali soal sang penindas dan yang tertindas. Malam itu kami menyoroti relasi timpang yang menghinggapi kisah muram asmara beberapa kawan kami. Saya selalu memandang sinis jatuh cinta, saya berpikir para kawan lelaki itu cuma “main-main” atau “iseng-iseng berhadiah”, ternyata mereka “ada hati” dan “serius”. Kasusnya serupa dan berulang: si lelaki menyengajakan diri jadi yang tertindas karena didera kompleks inferioritas, berkatnya, secara tak sengaja si perempuan naik kelas jadi sang penindas. Jurang pemisah yang diimajinasikan si lelaki terlampau menganga, revolusi yang mustahil tercipta, pertempuran yang menolak dimenangkan, dan kita tak bisa menyalahkan si perempuan. Cinta si lelaki terdiri dari 90% serotonin dan 10% sisanya pengharapan. Akhir ceritanya mungkin menarik bagi para pemurung, si lelaki cuma bisa menyesap cinta platonik penuh kedongkolan, bahkan jadi pemuja si perempuan, yang kadar kultusnya lebih saleh ketimbang penganut paganisme. Tak ada yang salah dengan cinta tak berbalas, gadis Norwegia berambut pirang Skandinavia bikin Leonard Cohen menelurkan lagu “So Long, Marianne”, “Hey, That’s No Way to Say Goodbye” (larik ‘But let’s not talk of love or chains and things we can’t untie’ yang akan selalu saya rapal layaknya mantra), dan “Bird on the Wire”. Daftar karya dan para lelaki melankoliknya bisa diperpanjang. Seorang penulis bahkan menasehati saya untuk mencicipi patah hati agar bisa jadi seorang Syahrazad pilih tanding.

Sesuatu yang membuatmu meresikokan segala, mengorbankan diri, rela dihujat, atau seperti yang difatwakan Erich Fromm: Cinta bukanlah sesuatu yang alami melainkan membutuhkan disiplin, konsentrasi, kesabaran, iman, dan pengendalian narsisme. Itu bukan perasaan, cinta adalah praktik, tegasnya. Sejujurnya, saya mungkin hanyalah seorang pemalas dan pecundang (terlalu pretensius untuk melabeli diri nihilis atau fatalis), yang enggak mau dipusingkan dengan konsep abstrak itu. Tentu, saya bukan santo atau pandita, dan tak tahan kalau harus selibat. Kisah cinta, apalagi yang tragis, masih saya imani, tapi hanya sebatas sebagai kisah orang lain atau kisah dalam buku-buku atau film-film, suatu dunia yang entah di mana saya bukan protagonisnya. Beruntunglah para kekasih, yang masih punya tujuan, tak peduli seilusif apa tujuan itu. Yang membuat hidup selalu layak dijalani, sebab mereka selalu percaya bakal ada yang membahagiakan. Ah, saya terlalu nyaman jadi seorang pengamat dan pendakwah ketimbang praktisi. Tanpa kehadiran manusia lain, saya sudah menciptakan penindas sekaligus yang tertindas bagi diri sendiri. Ada wejangan agar saya berhenti mengebiri diri: Ketakutan untuk mencinta adalah ketakutan untuk membuka dialog.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1925

3 Comments

  1. Tapi ketika hanya menjadi pengamat begitu menjadi pendakwah hanya akan mendapat respon, “Ah iya kamu belum ngerasain, nggak bakal mengerti.”

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *