Sejak masih bocah, Phillip dan Erik telah berteman, dan keduanya punya ketertarikan sama pada pribadi juga karya-karya Sten Egil Dahl, seorang novelis yang lebih suka menutup diri. Dua pemuda tanggung itu sama-sama menyuntuki sastra, dan tentu saja, punya ambisi besar untuk menjadi penulis (besar). “Apakah kita akan bisa menerbitkan sesuatu, atau gimana?” ungkap Phillip, antara menyemangati dan berbagi galau dengan Erik saat hendak mengirim naskah. Bisa dibilang sebuah ikatan ‘literary brother’, dua sejoli ini dipersaudarakan oleh kesusasteraan dan keresahan.
Tema coming of age memang selalu bikin saya kepincut, apalagi ada unsur dunia tulis menulisnya. Terima kasih buat Dony Iswara atas #rekomendeath-nya, telah memperkenalkan Reprise (2006) yang menjadi film Norwegia pertama yang saya tonton dan kemudian sangat saya sukai ini. Ditambah sebelumnya, saya habis mengkhatamkan novel terjemahan Aib dan Martabat-nya Dag Solstad yang dianggap penulis penting dari Norwegia. Sama seperti Phillip dan Erik, di novel ini kita bertemu dengan Elias Rukla dan Johan Corneliussen; yang satu mengidolakan dramawan cum penyair Henrik Ibsen dan yang satunya lagi mengagumi filsuf Immanuel Kant. Elias memang enggak bermimpi untuk jadi penulis, namun menikmati pertemanan, utamanya saat membahas sastra dan filsafat serta soal-soal lainnya, dengan Johan Corneliussen yang berambisi bisa masuk dalam daftar penting penafsir Kant. Novel menarik, diterjemahkan langsung dari Norwegia (penerjemahnya yang menerjemahkan Dunia Sophie) dan diterbitkan Marjin Kiri. “Karya-karya Dag Solstad adalah sastra yang serius,” komentar Haruki Murakami, dan memang, novel ini menyuguhkan permenungan intim dan mendalam tentang rasa keterasingan dalam masyarakat kontemporer. Menemukan seseorang yang memiliki minat yang sama, dalam hal apapun, tentu suatu keberuntungan. Meski memang, memiliki kawan atau enggak, saya rasa semua penulis (atau semua orang) harus siap menderita kesendirian, dan ini bukan hal yang buruk. Menulis, sebut Ernest Hemingway, adalah sebuah kehidupan yang sunyi.
Soal istilah ‘literary brother’, saya temukan dari pos di blog Eka Kurniawan, Saudara Seperguruan atau “Literary Brothers”, yang mencatut wawancara The Paris Review dalam Enrique Vila-Matas on ‘Never Any End to Paris’. Berjumpa dengannya pada 1996 sangat berarti karena membuatku merasa tak sendirian lagi sebagai penulis, jawab Vila-Matas saat ditanya soal persahabatannya dengan Roberto Bolano. Kami tertawa bersama sangat sering, tambahnya.
Kesunyian dan keterasingan adalah takdir yang harus dijalani manusia, lebih-lebih pada hari yang penuh kebingaran ini. Internet memang mendekatkan yang jauh, namun pertemuan langsung tetap lebih asyik. Menemukan karib, apalagi jika itu yang bakal jadi separuh jiwa, yang memiliki minat yang sama, bisa diajak sinting bareng, tentu sebuah mimpi indah. Kalau surga itu benar ada, dan saya jadi penghuninya, maka itulah permintaan pertama saya. Saya selalu membayangkan bisa mengobrolkan novel babon bikin pening dari Marcel Proust, In Search of Lost Time, meski belum baca sekalipun. Seperti Julio dan Emilia, dua tokoh utama dalam novel pendek Bonsai-nya Alejandro Zambra, yang merupakan pasangan ganjil yang diikat karya-karya sastra yang mereka baca. Yang bersenggama sambil membicarakan puisi, cerpen, dan novel yang mereka sukai.
Saya iri dan kesal pada si goblog Ted Hughes yang bisa mengawini seorang Sylvia Plath (dan malah selingkuh), meski saya enggak mau jika istri saya harus mati bunuh diri menghirup gas karbondioksida dari ovennya.
Wahh…jadi penasaran sama filmnya. Sekalian pengen tau bahasa norwegia itu macam apa
[…] […]