Saya Berhasil Membaca 100 Buku Setahun, Terus?

Seperti Jisoo yang bisa melayang di udara, berkat banyak membaca pun membuat saya terbang. Terbang tinggi menjadi seorang ‘literary snob’.

Seorang snob sendiri berarti  orang yang suka menghina dan meremehkan orang lain yang dianggap lebih rendah darinya; orang yang merasa dirinya lebih pintar daripada orang lain.

Bahwa klasik atau jazz lebih berkelas ketimbang musik lainnya, kalau orang yang enggak membaca sastra atau filsafat artinya kaum terbelakang, atau apapun itu, yang menganggap orang yang berbeda selera dari kita adalah manusia rendahan, inilah penyakit snobisme.

Intinya, para snob adalah orang-orang besar kepala yang pas untuk digetok dengan palu godam. Saya sudah termasuk.

Lewat postingan ini, yang mengumumkan kalau saya sukses mencapai target membaca 100 buku setahun, secara enggak langsung saya membanggakan diri kalau saya seorang intelek, saya si tukang pamer yang songong. Sejujurnya, emang iya.

Saya sendiri pernah berkelakar kalau mie ayam lebih penting ketimbang sastra. Seperti para politisi yang hobi berbual, saya akhirnya menjilat ludah sendiri. Sekarang justru menganggap bahwa sastra adalah segalanya.

Mengutip beragam referensi dari kesusasteraan dunia, berusaha meyakinkan kalau membaca, utamanya sastra, adalah suatu keharusan, melahap buku berbahasa Inggris biar dianggap keren, keinginan untuk memamerkan buku apa yang sedang saya baca, juga menaikkan standar kalau perempuan yang pantas dijadikan kekasih hati hanya orang yang sama-sama rakus baca buku.

Entahlah, apakah literary snob sendiri adalah sebuah dosa atau enggak.

Berawal di tahun 2013, saat masih mahasiswa penuh semangat yang terbuai kiat-kiat sukses dari buku motivasi, gara-gara mengetahui kalau CEO di Amerika Serikat sana rata-rata baca 35 buku per tahunnya, saya menarget jumlah segini. Tanpa disangka, capaian malah 197%, hanya kurang satu buku untuk menggenapkannya jadi dua kali lipat.

Kebanyakan buku yang dibaca adalah self-help dan best-seller; Ippho Santoso, Tere Liye, Felix Siauw, Paulo Coelho, Raditya Dika, Dee, dan penulis lain yang, dalam pandangan snobisme sastrawi yang saya punya saat ini, patut dimasukan ke dalam kakus bersama tai. Di tahun itu, untungnya saya mengenal Pram dan Sylvia Plath, dan mulai tertarik filsafat lewat Dunia Sophie-nya Jostein Gaarder, jalan sukses menuju jurang bernama literary snob.

Tahun 2014, saya mulai sadar diri kalau saya masuk golongan pemalas dan pesimis, sehingga enggak lagi bikin yang namanya resolusi tahunan. Berhasil baca sekitar 50 buku dengan porsi karya fiksi lebih banyak.

“Naha teu kapikiran milih Jurnalistik atau Sastra nya? Kalah milih nu tengahna,” tulis saya di status Line, dan ini saat memasuki semester 7 kuliah. Di tahun 2015, saya menargetkan baca 100 buku, untuk kemudian gagal.

Berkat Komunitas Aleut! untuk awal-awal tahun lebih banyak baca buku sejarah, dan memasuki pertengahan berganti ke sastra dan filsafat.

Entah angin dari mana, saya jadi yakin betul kalau saya ditakdirkan untuk jadi penulis. Bahwa jadi sastrawan adalah harga mati. Motivasinya sebenarnya enggak mulia-mulia amat, awalnya iseng ditantang apakah bisa novel yang saya bikin nantinya bakal nongol di rak buku Viny JKT48.

Menyadari kemampuan menulis buruk, juga bacaan yang masih seuprit, saya berani pasang target melahap 100 buku setahun. Berusaha mengakrabi naskah-naskah sastra penulis luar, kebanyakan lewat baca ebook bajakannya.

Berhubung pengangguran, ternyata dengan hanya 8 bulan, target tadi tercapai. Namun muncul perasaan aneh, bisa dikatakan menyiksa, yang berhasil digambarkan dengan lugas oleh Dea Anugrah dalam Efek Proust:

Adakalanya, kesenangan yang didapat dari membaca karya-karya bagus dengan cepat berbalik menjadi frustrasi. Makian yang dilontarkan seorang pengarang karena terkagum-kagum pada bacaannya boleh jadi terulang dua hari kemudian, dengan nada yang berbeda, karena alasan yang berbeda: tak sanggup menulis sebaik itu. Ada standar baru yang terbentuk di dalam kepalanya. Dan standar itu, tentu saja, akan membuatnya menuntut lebih tinggi, baik dari dirinya sendiri maupun sekelilingnya.

Sebagian penulis kagum pada kata-katanya sendiri dan sisanya adalah para bajingan pembenci diri, sebut pemuda Korea Utara itu, yang juga memuji kalau Taeyeon kayak amoy pohin. Untuk sekarang, saya masuk dalam golongan kedua, para bajingan pembenci diri, dengan catatan, masih waras berkat eksistensi seorang Taeyeon.

Oh ya, sebagai literary snob, nasihat saya bagi literary snob lainnya, bacalah Bartleby & Co.-nya Enrique Vila-Matas atau The Savage Detectives-nya Roberto Bolano, atau terjemahan Aib dan Martabat-nya Dag Solstad, para pengejek nyaris sempurna bagi kesusastraan.

Bahwa sastra, menurut kesimpulan seenak jidat saya, pada akhirnya hanya kesia-siaan. Atau, kalau masih merasa literary snob, silahkan getok sendiri kepala kalian. Saya sih enggak mau, masih pengen membaca, juga nonton Youtube, karena masa muda adalah tempatnya salah dan tolol. Dasar snob!

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1789

10 Comments

  1. Buanyak sekali bacaanya. Saya nyantai aja klo mbaca. Cuman saya itu orangnya mood-moodan. Bisa menikmati baca pas perasaan lagi baik. Klo perasaan sedikit gak baik, lebih milih tidur daripada membaca.

    • Ini juga bisa banyak baca gini karena nganggur. Baca, maen sosmed, baca lagi, tidur, baca, coli, baca, gitu aja terus. Kalau saja saya ga males dan mud-mudan, mungkin bisa lebih banyak.

  2. mannn keren banget… udah nyapai target 100buku, kuat amat ya baca ratusan buku. apalagi ebook. gue kehabisan buku bacaan, mata gue gak betah kalau baca ebook, kemarin baca war and peace download dari gutenberg udah nyerah baru dapat 15 halaman…

    • Kalau gak betah baca ebook, berarti ada yg salah sama cara bacanya, atau bacaannya. Saya juga kebanyakan bacanya kumpulan cerpen dan novel pendek-pendek sih. Buat baca nocel kanon klasik, di hari ini, memang butuh ketahanan ekstra. Saya aja mau mulai baca Anna Karenina, atau Don Quixote belum mulai-mulai sampai sekarang.

  3. keren bro, sumpah!
    Haha.. setuju di bagian:

    Kebanyakan buku yang dibaca adalah self-help dan best-seller; Ippho Santoso, Tere Liye, Felix Siauw, Paulo Coelho, Raditya Dika, Dee, dan penulis lain yang, dalam pandangan snobisme sastrawi yang saya punya saat ini, patut dimasukan ke dalam kakus bersama tai.

    Coba buku-buku lokal yang keren ini bro: Para Priyayi-nya Umar Kayam, Raden Mandasia-nya Yusi Avianto Pareanom, Mengukur Jalan Mengulur Waktu-nya Yopi Setia Umbara.

    Kalau terjemahan panjang lah daftarnya.

  4. Menjadi snob buatku sih sama dengan menjadi manusia. Hmmm gimana ya, seperti konsekuensi logis dari ngasih makan ego secara rutin. Hahaha

    Superhero yg snob itu kyk Iron Man, nah! Manusia banget kan, dibanding aksi-aksi dan sikap hidup heroistik batman, superman, dll.

    Nikmat aja gitu, memandang rendah dari ketinggian. Meskipun kalau nengok ke atas, eh anjeng masih banyak banget tepian di atas sana! Hahaha

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *