Usianya 22, ketika timbul keyakinan bahwa seni-sastra adalah pilihan hidupnya. Seperti para rasul yang menyepi untuk menanti wahyu, ia mulai memenjarakan diri di antara tumpukan buku dan melahap beragam bacaan tadi, dan harus melewati delapan tahun penuh kesepian dan keputusasaan sampai novel perdananya rilis. Menjadi penulis di negara yang, seperti kata ibunya, enggak akan membeli dan membacanya, tentu suatu keberanian, juga ketololan.
Di usia yang sama, saya mendapat suntikan kedunguan, seperti Nobelis asal Turki itu, ingin jadi penulis. Penulis seperti apa? Saya enggak tahu. Sastrawan, maksudnya? Hmm, bahkan saya masih bingung apa itu dan untuk apa ada sastra. Ingin menulis novel? Ya, ini memang satu impian saya. Maka saya mengikuti langkah penulis yang jadi pendukung tim sepakbola Fenerbahçe itu. Baca, baca, baca, seperti yang sering ditulis dalam tips untuk menulis. Tapi, makin banyak membaca, malah makin bikin saya bingung, akan segala hal. Juga rasa bimbang. Bahwa saya sebenarnya lebih berbakat berak ketimbang menulis. Saya nampaknya bisa merasakan apa yang dialami Orhan Pamuk tadi. Ah, haruskah saya menjalani masa-masa sialan ini sampai usia 30 seperti dia? Kini, sudah melewati setahun perjalanan untuk menjadi The Naive and Sentimental Novelist, dan nampaknya kudu mencari jalan dari penulis lain. Jadi pemilik bar, atau tukang cuci piring, misalnya. Tapi sial, mereka pun enggak bisa lepas jadi seorang pembaca rakus.
Membaca lebih penting ketimbang menulis, sebut seorang penulis asal Chili. Membaca, tambahnya dalam tulisan lain, seperti berpikir, seperti berdoa, seperti berbincang dengan seorang kawan, seperti mengejawantahkan ide-idemu, seperti menyimak ide-ide orang lain, seperti mendengarkan musik, seperti melihat pemandangan, seperti berjalan-jalan di pantai. Saya membaca sampai sepuluh bukunya di tahun ini. Apa yang menarik darinya? Ngalor-ngidul seenak udel, yang sering membuat saya balik bertanya, Cerita apaan sih? Novel The Savage Detectives dan kumpulan bacotannya di The Last Interview-nya, adalah bacaan mengasyikan, dan penting buat saya di tahun ini. Jika suatu saat diwawancarai soal siapa penulis favorit saya, maka penulis bernama Roberto Bolano ini yang bakal saya sebut. Dan semoga di saat itu, saya mampu menjawab selincah dan secemerlang Bolano. Nasibnya hampir mirip Franz Kafka, karya-karya Bolano diterjemahkan dan diperhatikan, justru setelah mereka meninggal. Bolano meninggal pada 2003. Beberapa hari ke belakang, saya bisa ngobrol singkat dengan Ronny Agustinus, aktor penting di balik penerbit Marjin Kiri, juga penerjemah favorit saya, dan bertanya siapa penulis dunia yang lagi panas hari ini. Bolano, Roberto Bolano, jawabnya. Apa bakal menerbitkan terjemahan karyanya? tanya saya. Wah, susah juga, timpalnya ragu, bukan soal menerjemahkan, tapi lebih ke arah hak cipta yang masih mahal. Saya sendiri membaca Bolano dalam bahasa Inggris, dan dari buku digital hasil mengunduh ilegal. Membajak, saya kira, adalah perlawanan paling mudah pada kapitalisme. Ditambah, membaca adalah pekerjaan mulia. Aku berubah dari seorang pembaca bijaksana menjadi seorang pembaca yang rakus, ungkap Bolano dalam tulisan Who Would Dare? (terjemahan saya: Curi Buku Ini), dan dari seorang pencuri buku menjadi pembajak buku. Nampaknya, saya tengah menapaki langkah dia.
Mempunyai bahasa ibu, patut disyukuri. Bisa dibilang bahasa utama saya adalah Sunda, bukan Indonesia. Meski memang untuk membaca, saya hanya menyelesaikan tiga buku: Si Pucuk Kalumpang, dongeng Sunda baheula yang dituliskan kembali oleh Ajip Rosidi, Hujan Munggaran, kumpulan cerpen dari Ayatrohaedi, dan Palika jeung Jin, saduran salah satu fragmen cerita Seribu Satu Malam oleh Moh. Ambri. Soal terjemahan, ada beragam penulis dunia yang telah dialihbahasakan ke Sunda. Palika jeung Jin sendiri adalah saduran dari cerita The Fisherman and the Jinnie, dan yang membuatnya menarik adalah diselipkannya wawacan, penulisan prosa yang berbentuk puisi. Pengalaman yang menyenangkan. Tapi, kalau dipikir-pikir, kemampuan membaca bahasa Inggris saya nampaknya lebih baik ketimbang membaca teks Sunda.
Seperti yang saya bilang tadi, bahasa Indonesia hanya jadi bahasa kedua. Sampai sekarang, saya masih kesulitan untuk mengungkapkan sesuatu dalam bahasa Indonesia. Membaca penulis Indonesia tentu pilihan yang tepat. Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi dari Paman Yusi adalah bacaan paling membahagiakan, dan bikin banyak pembaca menganjingkannya. Di Tanah Lada-nya Ziggy Z. juga menyenangkan, saya iri pada penulis muda yang sealmamater, seangkatan, dan seusia ini. Apalagi di tahun ini, dia menjadi jawara di Sayembara Novel DKJ. Tentu, karya-karyanya akan saya tunggu. Untuk kumpulan cerpen, Bakat Menggonggong-nya Dea Anugerah dan Metafora Padma-nya Bernard Batubara enggak boleh dilewatkan. Saya pikir, saya masih belum banyak baca penulis-penulis Indonesia.
Saat ini hanya tiga bahasa yang saya kuasai. Untuk bisa mengakses lebih banyak bacaan, belajar bahasa asing selain Inggris tentu jadi sesuatu yang mendesak. Saya sempat belajar bahasa Jepang di SMA dan perkuliahan, dan kemarin-kemarin bahasa Korea, meski cuma tingkat dasar. Entah kenapa, orang Jepang sangat paham soal kehampaan dan keresahan batin. Penulis Jepang selalu saya sukai. Ryunosuke Akutagawa, Yasunari Kawabata, dan duo Murakami – Haruki Murakami dan Ryu Murakami, adalah yang banyak saya baca. Begitupun dengan Korea, setelah suka dramanya, teknologinya, musiknya, program hiburannya, saya nampaknya menyukai kesusasteraannya. Meski baru sedikit yang saya baca, Han Kang salah satunya, dengan novel The Vegetarian yang memenangkan Man Booker Prize tahun ini. K-lit tampak menjanjikan.
Kalau diibaratkan traveling, saya sudah melancong ke berbagai belahan dunia, serta melintas ruang waktu. Belum terlalu luas, sih. Amerika Latin sudah pasti harus dikunjungi. Dua maestro sebelum Bolano, Jorge Luis Borges dan Gabriel Garcia Marquez perlu saya baca. Juga membaca Pablo Neruda, meski saya sampai sekarang enggak ngerti puisi. Beralih ke Amerika di atasnya, saya terkesima ketika menyambangi para penulis Lost Generation dan Beat Generation. Memadat amphetamine sambil mendengar musik jazz bersama Jack Kerouac, Allen Ginsberg, dan William Burroughs sungguh seru. Howl, Kaddish and Other Poems-nya Ginsberg menyuarakan amarah dan kegilaan saya. Enggak lupa, menyapa John Steinbeck dan Kurt Vonnegut. Begitu Amerika. Menyebrang ke Eropa, di Inggris Raya, bertemu James Joyce yang mengisahkan kegelisahan identitasnya dalam A Portrait of the Artist as a Young Man, kemudian menonton kemenangan Leicester bersama Julian Barnes. Lanjut ke Prancis, ada Albert Camus dan Jean Paul-Sartre yang saling duduk membelakangi di teras sebuah kedai kopi. Saya mengobrol dengan keduanya, dan lebih menyukai bersama Camus. Mungkin karena dia berzodiak Scorpio, sama seperti saya. Di Jerman, menyapa Herman Hesse dan Kafka. Karl Marx juga, ternyata kekirian itu asyik. Melipir ke Spanyol, bertamu ke sohibnya Bolano, Enrique Vila-Matas di Barcelona, sang pengejek nyaris sempurna bagi kesusastraan. Melaju ke paling timur, meski dingin menusuk penis, ziarah ke Rusia saat masa Tsar adalah keharusan. Berguru pada Fyodor Dostoyevsky dan Leo Tolstoy. Eropa begitu melimpah, saya kesulitan untuk memilih harus ke mana dulu. Tapi terlalu lama diam di Eropa katanya bikin kita jadi songong. Maka lanjut ke Asia. Cina? Wah, belum. Arab? Hmm, dikit. Afrika? Haha. Ternyata saya masih cemen.
Sejauh ini, jika untuk fiksi, saya doyan tema coming-of-age, sedangkan untuk non-fiksi, saya menyukai memoar. In the Name of Identity-nya Amin Maalouf ada di urutan nomor wahid. A Moveable Feast, meski Hemingway bilang kalau ini cuma karangan fiksi, beserta Di Bawah Langit Tak Berbintang dari Utuy Tatang Sontani, dan What I Talk About When I Talk About Running-nya Haruki Murakami adalah memoar yang cocok dibaca buat saya dan kamu yang masih muda dan punya cita-cita pengen jadi penulis dan galau karenanya. Tambahkan pula kumpulan esai dari Mario Vargas-Llosa, Letters to a Young Novelist. Juga autobiografi berbentuk novel dari Vila-Matas, Never Any End to Paris dan Bartleby & Co., yang benar-benar bangsat.
Masih banyak yang ingin saya sampaikan soal buku-buku yang saya baca tahun ini, tapi pasti membosankan, dan saya enggak ingin disebut sombong. Membaca, bagi saya, selalu menyenangkan. Tapi, karena membaca yang saya lakukan saat ini sebagai proses untuk jadi penulis, mengurangi kenikmatan seperti ketika membaca hanya semata-mata sebagai eskapisme. Ada beragam macam pretensi ketika saya membaca. Juga, yang sebenarnya, yang saya lakukan untuk mengejar ketertinggalan, hanya untuk mengejar kuantitas, hanya agar bisa menambahkan jumlah buku di Goodreads, lebih jauh, hanya untuk dianggap keren. Seperti traveler yang pongah karena sudah pergi ke sana kemari. Entahlah, apapun itu, meski saya masih bingung akan mengarah ke mana, harus ada alasan agar saya terus membaca. Saya ingin bisa lagi menemukan kenikmatan membaca, layaknya sang panglima perang yang dikutuk hidup abadi menjadi goblin sampai ia bisa menemukan cinta pertamanya setelah beratus-ratus tahun kemudian, dia menanti kematian dengan hiburan berupa membaca buku.
JRR Tolkien jangan sampai ketinggalan, Kakak.
Baru The Hobbit, udah lama bacanya juga
Sangat recommended yang The Silmarillion, apalagi yang berbahasa Inggris.
Woaah, apalah saya yang baru baca segelintir dari karya penulis-penulis yang ada di tulisan ini. Tapi saya mau ucapkan terima kasih dulu atas kemurahan hati Arip untuk membuka perpustakaan daring (karena sebelumnya saya beberapa kali ‘mencuri’ dari sana) 😀
Haha, kalau baca bajakan itu dosa, saya sebagai pustakawan siap nanggung dosa orang2 yg nyuri dari sana. Semoga pos ini bikin minder dan iri, biar jadi banyak yg baca buku.
Bangsaaaatttt… Rewog!
Halah kontol
Keren2 bacaanya. Saya sih cuma sebulan sekali baca buku dan sudah ngaku2 hobi membaca wkwk……
harus semanagt membaca
Dokebiiiiii!!!
Uaah.. Hatur nuwun looh buat perpusnya.. Udh dibookmark dan hopefully setelah selesai sama Albus Potter, saya pengen ngebajak perpusnya.. ☺
Mantap sekali! Dari dulu pengen baca buku digital, tapi entah kenapa dari dulu sampai sekarang mata saya selalu lebih nyaman sama buku kertas.
Sampai sekarang pun saya emang lebih nyaman baca buku fisik. Tapi, kalau dipikir-pikir, kok bisa berjam-jam maenin hape, berarti bisa juga dong baca ebook lewat hape.
Menjelajah dengan membaca buku itu perlu. Sip.
Sekarang aku sedang menjelajah blog dulu (blogwalking) ini juga usahaku agar menjadi penulis. (Baca blog teman-teman lain)