Sebentar Lagi Jayanti, Sebentar Lagi Rancabuaya, Sebentar Lagi Sampai

naringgul menuju cidaun

“Sebentar lagi, tinggal lewat gunung itu, langsung laut,” janji saya saat melindas jalanan Naringgul.

Kata “sebentar” mengundang beragam makna, bisa sebuah jebakan sekaligus pembebasan, seringnya hanya janji kosong. Kengerian bagi para murid belet yang lembar jawabannya masih melompong saat diultimatum oleh pengawas dengan kata tadi bahwa ujian akan segera berakhir. Sukacita bagi suami yang ditenangkan dengan kata itu bahwa tanggungan dalam perut istrinya selama berbulan-bulan akan jadi tangis orok. Bagi pemimpi menyedihkan, bagi pengusaha perfeksionis, kata “sebentar” punya parameter waktu berbeda.

Dengan kata “sebentar” tadi, saya serasa pengkhotbah yang melakukan kebohongan publik yang mewanti-wanti bahwa hari akhir sudah dekat, untuk kemudian menginsafi bahwa wacana kiamat adalah klise usang, hasil dari ketakutan dan kedunguan manusia di tiap zaman. Kata “sebentar” membenarkan diri atas ketaktahuan dan kesoktahuan. Tapi saya masih bisa berdalih, kata “sebentar” yang saya pakai berfungsi bukan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk memberi ketenangan.

Terbukti, sepanjang jalan Naringgul-Cidaun, perempuan di jok belakang saya terus memeluk tasnya dan terlelap. Jalanan Cianjur setelah dari arah Ciwidey siang itu hanya menawarkan terik dan kondisi ideal untuk mengantuk. Curug-curug kurang air, hanya mengalirkan pipis bocah. Hamparan sawah, diselingi rumah-rumah, serta tebing-tebing gunung yang kering makin meninabobokan siapa saja siang itu. Tentu, mengantuk apalagi tidur saat berkendara adalah cara bunuh diri paling kalem. Apalagi saat bermotor, mengantuk sedikit saja, keseimbangan bakal agak goyah. Masalahnya, kantuk lebih sering melanda mereka yang dibonceng.

Saya tak merutuki, justru merasa terbebaskan. Beban untuk menciptakan dialog berganti menjadi beban untuk menyeimbangkan diri agar motor tetap melaju aman. Setelah turunan curam Naringgul yang selalu sukses memanaskan cakram motor saya dan bikin rem blong, jalanan selanjutnya memang agak landai berbukit-bukit, tapi relatif mulus. Sebelumnya, sehabis Rancabali, kecepatan bermotor kelompok agak memelan. Kantuk menusuk. Bagi yang pernah membonceng Akay melintas malam-malam di Gunung Gelap, Pameungpeuk, Garut, saya tak merasa kesulitan, apalagi perempuan di jok belakang tidur dengan cukup tertib.

Dari Jayanti, Melipir ke Rancabuaya

And the sun pours down like honey on our lady of the harbor
And she shows you where to look among the garbage and the flowers
There are heroes in the seaweed, there are children in the morning
They are leaning out for love and they wil lean that way forever

Transisi yang terjadi ketika mencapai daerah pantai selalu menciptakan suasana melankolik bagi saya. Pohon kelapa berjajar jadi pemandangan di sisi jalan, hawa gerah dan bau asin mulai terasa. Semacam ada rasa hilang akan suatu kenyamanan, beradu dengan rasa gemas karena akan mencicipi sesuatu yang baru. Bukan sesuatu yang mengusik, malah menenangkan.

Di turunan Cidaun yang langsung mengarah ke jalan raya, terlihat ombak bergulung. “Jayanti sebelah mana?” tanyanya. Saya tak tahu.

Jika belok ke kanan akan mengarah ke Agrabinta, jalur yang bakal menghadiahimu bagaimana rasanya tersasar di padang pasir tak berujung kalau dilintasi saat terik begini. Kemungkinan besar ke kiri, dan semoga begitu. Untung saja, memang belok kiri.

Masuk ke Pantai Jayanti, ditiket lima ribu per motor. Biru laut begitu kontras, kami menepi di samping pelabuhan, mengisi dudukan bambu di bawah pohon. Kapal-kapal biru nelayan saling berderak, menimbulkan suara ritmis, dengan di atasnya mengibarkan bendera aneka partai politik. Siang begini, enaknya makan ikan bakar dan minum air kelapa, sambil menonton horizon. Sial, bulan sedang Ramadan. Waktu buka masih lama, lelah mulai merayap, jaring nelayan tampak kayak semangkok bihun raksasa.

Istirahat sebentar untuk meluruskan badan, kami memutuskan untuk jalan lagi ke Rancabuaya. Jalanan di sisi pantai selalu menghadirkan heroisme a la Baywatch, sering timbul keinginan untuk hanya memakai kolor dan bertelanjang dada dengan kemeja floral, dan mengebut kesetanan, dan dipeluk cewek berbikini di jok belakang. Cuaca panas memang pengundang imajinasi paling liar.

“Orang-orang Bandung gila, ngabuburit malah momotoran ke pantai,” saya mereka-reka pikiran orang-orang yang menatap kami.

“Selamat datang di Rancabuaya,” Keenan tersenyum lebar pada Kugy. Dalam novel Perahu Kertas dari Dewi Lestari, di bagian-bagian terakhir, diceritakan Keenan menculik Kugy, secara sukarela. Rute yang ditempuh Keenan adalah dari Bandung menuju Kota Garut kemudian diteruskan ke Pameungpeuk. Kugy tertidur di separuh perjalanan. Saya pikir, ini akal-akalan Keenan, memilih rute yang agak memutar. Padahal, untuk menuju Rancabuaya, lebih enak lewat Pangalengan-Cisewu, jalanan pegunungan. Inilah rute pulang kami.

Kerinduan kita pada laut adalah ingatan paling primitif, pada momen pertama manusia berkaca tentang kepayahannya melawan keluasan dan ketakpastian. Nenek moyang purba kita yang berenang-renang memutuskan keluar dari samudera dan berevolusi merangkak dan jadi kera berjalan di Afrika yang berakhir tumbuh kesadaran akal budinya. Sore itu, saya bisa berdiri di atas bebatuan karang, melamun dan menonton laut bercerita.

Kembali ke Bandung, Kepada Sunyi yang Sesungguhnya

And you want to travel with her, and you want to travel blind
And you know that she will trust you
For you’ve touched her perfect body with your mind

Perjalanan pulang diiringi hujan. Kami berbuka puasa di warung makan di Cisewu.

jelajah priangan buka puasa di cisewu

Hujan telah reda, menyisakan dingin dan genangan. Belum lama, ketika momotoran ke Bungbulang dari arah Pangalengan, berkat rem blong, saya mempraktekkan bodor slapstick. Jika dulu harus menghadapi turunan, artinya sekarang harus dilalui adalah tanjakan. Tanjakan-tanjakan yang memaksa saya harus memakai gigi satu, dan membuat saya teringat agar segera ganti oli dan mengencangkan rantai motor.

Kantuk terasa mulai merayapi perempuan di jok belakang, beberapa kali saya harus ancang-ancang ketika merasa telat menurunkan gigi, dan merasa bersalah karena mengagetkannya. Lepas dari tanjakan-tanjakan menukik, sampai daerah perkebunan Cukul, dia tertidur merunduk, saya agak menyerongkan kepala ke arah kanan agar motor seimbang. Kami melaju di bawah langit tak berbintang.

Sebentar lagi sampai, saya menyemengati diri sendiri. Kami tiba di warung mungil di perkebunan Cukul pukul sembilan malam. Bandung memang masih jauh, tapi sebentar lagi.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1925

3 Comments

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *