Idealnya anak kos itu adalah mereka yang selalu berada dalam kepayahan. Dari krisis finansial, krisis air bersih, sampai krisis identitas diri. Tentunya anak kos adalah calon orang hebat karena sering berada jauh dari zona nyaman. Tak semua jadi, tapi biasanya, sebagian kecil sih.
Pergulatan berebut kamar mandi jika ada jadwal kuliah pagi adalah aktivitas seru. Siapa cepat dia dapat, siapa malas dia memelas, karena para pemalas mau tak mau harus berangkat ke kampus cuma modal cuci muka. Namun yang cepat pun kadang harus mengalah pada keadaan, jika ternyata air tak ngocor.
Dengan alasan kedaruratan, guyuran air harus diganti dulu dengan semprotan minyak wangi. Ah masa-masa asam manis ketika hampir tiga tahun lamanya bermukim di tanah harapan Jatinangor, dua tahun di area Jembatan Cincin, setahun di Sayang. Dan sudah sejak setahunan ini cuma sebatas pulang pergi kuliah dug dag Bandung-Jatinangor.
Tiba-tiba berbagai gedung putih tinggi semampai berdiri menjulang. Mungkin kepala proyeknya entah Sangkuriang atau Bandung Bondowoso, dan kulinya bangsa jin dari jenis manusia, karena ujug-ujug beragam apartemen tumbuh subur begitu lekasnya. Ternyata hal magis masih eksis, keajaiban masih bisa tercipta berkat adanya modal.
Tumbuhnya beragam pohon beton di Jatinangor bikin saya merasa iba, karena yang pertama langsung muncul di pikiran saya adalah soal ketersediaan air tanah. Krisis air niscaya bakal terjadi, dan memang sudah. Bayangkan bangunan dengan kamar bejibun berlantai-lantai itu tentunya pakai air tanah langsung, karena untuk PDAM belum sampai ke sini. Yang perlu diingat, meski di daerah pegunungan, jangan bayangkan Jatinangor sebagai sebuah daerah yang sejuk. Kalau menyejukan sih masih iya, karena ini gudangnya mahasiswi dari beragam perguruan tinggi. Jatinangor sebenarnya kering kerontang.
Ini asmara itu asrama, in harmonia progressio
Sudah jangan ke Jatinangor, masih ada kota lainnya
The Panasdalam – Sudah Jangan ke Jatinangor
Terinspirasi dari “Kota Akademik Tsukuba”, Rektor keenam Unpad, Prof. Dr. Hindersah Wiraatmadja menggagas “Kota Akademis Manglayang”. Konsep yang menjawab permasalahan kampus Unpad yang saat itu tersebar di 13 lokasi berbeda sehingga menyulitkan koordinasi dan pengembangan. Dan saat ini Jatinangor dikenal sebagai salah satu kawasan pendidikan di Jawa Barat, karena selain Unpad ada berbagai institusi pendidikan tinggi lainnya. Seiring dengan hadirnya kampus-kampus tersebut, Jatinangor yang semula bernama Kecamatan Cikeruh kemudian mengalami perkembangan fisik dan sosial yang pesat.
Dulu, nama besar kampus disebabkan oleh karena kehebatan mahasiswanya. Sekarang, mahasiswa ingin hebat karena nama besar kampusnya.
Pidi Baiq
Beragam manusia menginvasi Jatinangor, sepaket dengan budaya konsumerisme, materialisme, dan hedonisme yang ikut menginjeksi. Jatinangor makin kering, makin hingar bingar, makin macet, makin semarak, dan makin menjadi seperti kota megapolitan pun megapolutan.
Oh ya, sebenernya munculnya beragam apartemen tadi jadi opsi alternatif bagi mereka yang depresi. Jika bosan bunuh diri loncatnya harus di Jembatan Cincin, sekarang bisa lebih gaya karena kudu naik lift sampai ke rooftop dulu, baru bisa bungee jumping tanpa tali deh ke bawah. Jangan lupa sebelumnya tulis pesan wasiat di sosmed, dan bubuhi foto selfie kalau perlu.
Bungee jumping Rip? Wuihhhh.
Eh ini tampilan baru yak. Baru lihat sayanya.
Untuk saat ini sih belum ada kejadiannya, tapi kayaknya bakal ada.
Jembatan yang di foto itu ya Mas yang namanya Jembatan Cincin?
Kalau mainannya sudah apartemen, kayaknya yang masuk sudah developer besar, nih. Doh semoga masyarakat di sana juga ada menikmati kue kesejahteraan, tidak cuma menjadi penonton dari gedung-gedung tinggi yang berdiri serta mobil-mobil mewah yang berseliweran.
Iya, jembatan bekas rel kereta yg dibangun 1918. Bersejarah tapi ga terawat. Dan selama dua tahun saya ngekos di deket jembatan yg katanya horor ini.
Kalau untuk bagi-bagi ‘kue’ mah pasti ada, buat pembungkam pas awal. Yang saya perhatikan soal isu lingkungannya, kasihan pemukiman sekitar soalnya apartemennya pake air tanah. 🙁
Hoo… rupanya demikian, kuenya yang seperti itu. Sayang sekali :huhu.
Oalah, itu berbahaya. Nanti lama-lama bisa jadi seperti ibukota yang air tanahnya di beberapa tempat tidak layak konsumsi, ya Mas. Belum lagi isu penurunan tanah dan bencana yang mengancam karena pondasi apartemen yang dalam-dalam itu.
Nah ini maksud saya, mungkin di waktu yg dekat bakal ada julukan “Jatinangor rasa Jakarta”, bukan lagi cuma jadi Bandung coret.
Bandung coret terus langsung Jakarta :hehe.
Dulu teman-teman dari Jatinangor merengek minta ditemani jalan di Bandung. Sebab Jatinangor laksana desa mengaku kota. Nampaknya arus sumber daya pun mengalir deras ke sana akhir-akhir ini. Beberapa bulan lalu lihat apartemen masih dibangun, sekarang sudah menghalangi lanskap. Gimana ya rasanya hidup di sana sekarang?
Udah setahun ini jadi orang Bandung, dug dag ke sana cuma buat kuliah.
Saya juga kaget kok cepet banget tumbuhnya, modal rupanya bisa bikin sesuatu yg magis.
Apartemen di tengah desa begitu, jadi ingat kasus desa yang kekeringan di daerah Jogja karena ada hotel yang menggunakan air tanah, bahkan isunya kolam renang sebesar itu juga dari air tanah. Bandung semoga tetap bisa bertahan menjadi Bandung, biarlah Jakarta saja yang sudah terlanjur tercemar..
Seharusnya pemerintah setempat mempertimbangkan isu lingkungan seperti ini juga sebelum memberikan ijin pembangunan. Tapi ya terkadang, “if money speak, truth is silent”
Semoga kasus kekeringan di salah satu desa Yogya akibat penggunaan air tanah yang tak terkontrol tidak terjadi di Jatinangor itu. Saya berpikir apakah pemda Sumedang gak memikirkan kebutuhan air tanah penduduk sekitar apartemen itu sehingga bisa memberikan ijin pembangunan sampai ketinggian 15 lantai? Eh, Jatinangor masuk Sumedang apa Bandung Barat?
Pada intinya kita harus sabar untuk menjalani hidup di kota metropolitan.
Sama kayak di Tangerang. Udah banyak juga dibangun gedung-gedung bertingkat ala Jakarta.
Pastinya deket banget sama Jakarta sih jadi ketularan.
Tapi tetep aja se-Jakarta nya di Jatinangor, disana suka hesye sinyal hahaha *ngerasanya sih gitu*
Jakarta-nya kan masih secuil, baru apartemen aja, sinyalnya belum sampe.
Padahal pas masih jadi maba seneng banget melihat jembatan cincin apalagi sewaktu belum ada apartemen. 🙁
Apalagi kalau senja sedang turun, cantik banget.
Sayangnya semua itu tinggal kenangan.
Salam dari fakultas sebelah. 🙂
nah ambil sisi positifnya aja bro, kalau sudah ada secuil Jakarta, kan bisa jadi urban photography di Jatinangor 😀
Fotografi yang mengeksploitasi kemelaratan dong jadinya.
[…] hidup memang di Bandung, tapi Kabupaten-nya. Tinggal selama 18 tahun di Bandung coret, 3 tahun di Jatinangor, dan sebulan di Pusparaja, Tasikmalaya. Tentunya saya tetap bangga jadi orang Kabupaten Bandung, […]
Tiga tahun mengnhabiskan masa SMP dan hidup di Jatinangor, aku ngerti gimana keadaan airnya. Bisa seminggu gak nyuci dan bingung sendiri sekolah pake baju apa.
Komo deui ayeuna ih gimana 🙁