Sejarah Kelahiran Persatuan Islam di Bandung

Persis didirikan di Gang Pakgade, sebuah gang di Kota Bandung, pada permulaan abad ke-20 ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu mengadakan usaha-usaha pembaruan dalam agama.

Bandung kelihatannya agak lambat memulai gerakan pembaruan Islam dibandingkan dengan daerah-daerah lain, padahal cabang Sarekat Islam telah beroperasi di kota ini sejak tahun 1913.

Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan salah satu cambuk untuk mendirikan sebuah organisasi. Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan-pertemuan yang bersifat kenduri yang diadakan secara berkala di rumah salah seorang anggota kerabat yang berasal dari Palembang, tetapi telah lama menetap di Bandung.

Orang Palembang di Bandung Memantik Wacana Keislaman

Mereka adalah keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang pada abad ke-18 yang mempunyai hubungan erat satu sama lain melalui hubungan perkawinan. Selain itu, adanya kepentingan yang sama dalam usaha perdagangan serta dengan adanya kontak antara anggota-anggota generasi yang datang kemudian, dalam mengadakan studi tentang agama ataupun kegiatan-kegiatan lain.

Dalam pembicaraan keseharian mereka, meskipun berasal dari Sumatera, tidak lagi merasa bahwa mereka adalah orang-orang Sumatera, mereka telah merasa benar-benar sebagai orang Sunda dan dalam pergaulan sehari-hari mereka berbicara dengan bahasa Sunda.

Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus sebenarnya adalah pedagang biasa, tetapi keduanya masih punya kesempatan dan waktu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama Islam.

Haji Zamzam (1894-1952) pernah menghabiskan waktunya selama tiga setengah tahun untuk belajar di Lembaga Dar al-Ulum Mekkah. Sekembalinya dari Mekkah ia menjadi guru di Darul Muta’allimin, sebuah sekolah agama di Bandung sekitar 1910-an dan mempunyai hubungan dengan Syekh Ahmad Soorkati dari Al-Irsyad di Jakarta.

Sedangkan Muhammad Yunus, yang memperoleh pendidikan agama secara tradisional namun pandai berbahasa Arab, tidak pernah mengajar, ia hanya berdagang, tetapi minatnya dalam mempelajari agama Islam tidak pernah hilang. Kekayaannya menyanggupkan ia untuk membeli kitab-kitab yang diperlukannya, juga untuk para anggota Persis setelah organisasi itu didirikan.

Dari Diskusi Santai Menjadi Study Club

Tamu-tamu yang hadir pada kenduri yang diadakan itu terdiri pula dari orang lain di luar ketiga famili tadi, tapi pada umumnya mereka senang sekali menerima undangan kenduri itu, antara lain di samping mempelajari agama Islam, juga tertarik kepada masakan Palembang yang populer.

Selesai makan, masalah-masalah agama dan gerakan-gerakan keagamaan menjadi bahan pembicaraan. Dalam pembicaraan-pembicaraan inilah terutama Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus dari lingkungan famili.

Topik pembicaraan dalam kenduri itu bermacam-macam, misalnya masalah-masalah agama yang dimuat dalam majalah Al-Munir yang terbit di Padang, majalah Al-Manar yang terbit di Mesir, dan pertikaian-pertikaian antara Al-Irsyad dan Jamiat Khaer di Jakarta.

Selain itu mereka pun menaruh perhatian pada organisasi-organisasi keislaman, seperti Sarekat Islam yang pada waktu itu mengalami perpecahan akibat pengaruh paham komunis yang bukan saja merupakan hal menarik untuk dibicarakan, tetapi juga merupakan hal yang menyebabkan kalangan pemuka agama di Bandung menjadi resah.

Terlebih lagi setelah pengurus Sarekat Islam di Bandung mendukung kelompok komunis dalam kongres Sarekat Islam keempat di Surabaya pada tahun 1921, sehingga menyebabkan terjadi pula perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam Bandung. Dalam diskusi-diskusi itu, hadir pula Fakih Hasyim seorang ulama dari Surabaya yang berkunjung ke Bandung untuk keperluan perdagangan.

Menjelma menjadi kelompok studi (study club) dalam bidang keagamaan, para anggota kelompok tersebut dengan penuh kecintaan menelaah, mengkaji, serta menguji ajaran-ajaran yang diterimanya. Sedangkan di pihak lain, keadaan kaum muslimin Indonesia tenggelam dalam taqlid, jumud, tarekat, khurafat, takhayul, bid’ah, dan syirik sebagaimana terdapat di dunia Islam lainnya bahkan diperkuat oleh cengkraman kaum penjajah Belanda.

Para anggota kelompok itu semakin lama mengkaji ajaran Islam, semakin tahulah hakekat Islam sebenarnya dan mereka semakin sadar akan keterbelakangan dan kejumudan yang menyadarkan mereka untuk membuka pintu ijtihad dan mengadakan pembaruan serta pemurnian agama Islam di masyarakat.

Untuk itulah mereka kemudian mengajarkan apa yang telah diketahuinya kepada sesama muslim lainnya di kampung halaman mereka. Sehingga dengan demikian secara tidak langsung; resmi atau tidak resmi, telah berdiri pula kelompok-kelompok penelaah seperti yang terdapat di kota Bandung di berbagai tempat di Indonesia.

Pembentukan Persatuan Islam

Setiap kelompok yang telah tersebar di berbagai tempat selalu mengadakan hubungan dengan kelompok pertama yang ada di kota Bandung dan selalu mengadakan hubungan satu sama lain.

Dalam keadaan seperti ini telah terbentuk suatu hubungan horizontal tanpa hubungan organisatoris yang resmi atau berdasarkan satu nizham jam’iyah yang pasti. Oleh karena itu dengan maksud agar perjuangan serta jihad yang telah dilakukan oleh setiap kelompok itu lebih berkemampuan lagi, maka dengan resmi didirikanlah sebuah organisasi yang mempunyai hubungan vertikal dengan satu nizham jam’iyah yang pasti dan disusun bersamasama.

Kelompok studi pengkajian Islam itu kemudian menamakan kelompoknya dengan nama “Persatuan Islam” walaupun pada saat itu ada juga yang memberi nama “Permupakatan Islam.”

Persis didirikan secara resmi pada hari Rabu tanggal 1 Shafar 1342 H bertepatan dengan tanggal 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.

Dengan demikian, sebagai organisasi formal yang berdiri secara resmi, maka Persis telah merupakan wadah organisasi dari umat Islam.

Di Balik Nama dan Simbol Persatuan Islam

Nama Persatuan Islam itu diberikan dengan maksud mengarahkan ruh ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak organisasi yaitu; Persatuan pemikiran Islam, Persatuan rasa Islam, Persatuan usaha Islam, dan Persatuan suara Islam.

Bertitik tolak dari persatuan pemikiran, rasa, usaha, dan suara Islam itu maka jam’iyah atau organisasi itu dinamakan ‘Persatuan Islam’ (Persis).

Selain itu, nama tersebut diilhami pula oleh firman Allah dalam Al-Qur’an suci surah Ali ’Imran ayat 103, yang berbunyi; “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali (undang-undang/aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai”, serta sebuah hadits nabi yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, yang berbunyi; “Kekuatan Allah itu bersama jama’ah”.

Firman Allah dan hadits nabi tersebut kemudian dijadikan motto Persis dan tertera di dalam lambang Persis dalam lingkaran bintang bersudut dua belas.

*

Referensi:

  • Anas, Dadan Wildan, dkk. 2015. Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam. Tangerang: Amana Publishing.
  • Federspiel, Howard M. 1996. Persatuan Islam Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. Gadjah Mada University Press.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1788

2 Comments

  1. Haloo mas Arip. Senang sekali bisa membaca mengenai sejarah Persis ini. Aku pun baru mengetahui tentang adanya orang Palembang itu. Namun sampai akhir, kenapa saya tidak menemukan cerita tentang A. Hassan ya? Saya kira mas Arip mau cerita tentang beliau juga, selaku pendiri Persis. Ternyata tidak yaa

    • Memang sengaja nulisnya dibatas hanya periode kelahiran organisasinya, biar ga kepanjangan. A. Hassan memang tokoh populer dari Persis, soalnya guru Moh Natsir dan teman debat Soekarno soal keagamaan. Tapi kurang tepat kalau disebut pendiri Persis, meski memang beliau pendiri Pesantren Persis di Bangil.

      Masuknya di periode perkembangan kalau A. Hassan, lagipula tulisan soal beliau di internet kayaknya udah banyak juga. Mungkin nanti kalau ga males disempetin nulis tentang A. Hassan.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *