Tidak ada dokumen kebudayaan yang pada saat yang sama bukan sebuah dokumen barbarisme. Selain dirinya tidak terbebas dari barbarisme, juga tidak terbebas dari proses transmisi, di mana ia jatuh dari satu tangan ke tangan yang lain. – Walter Benjamin, Tesis Filosofi Sejarah
I
Setiap si lelaki tidur dengan perempuan itu, si lelaki selalu didongengi berjuta kisah memikat. Meski dengan alur kronologi yang kacau, campur aduk antara fakta sejarah dan cerita rakyat yang penuh fantasi, tapi tetap saja, cara bertutur si perempuan memaksa si lelaki tetap terjaga dan mempercayai semua ocehannya. Kisah si perempuan begitu menenangkan, lebih manjur ketimbang lagu-lagu folk kacangan tentang hujan, kopi, rindu, kota, senja, kenangan, semesta atau beragam hal cengeng, yang sering didengar si lelaki. Kisah-kisah si perempuan mampu membuat si lelaki melupakan realitas yang setiap hari memenjarakan dirinya, meski hanya untuk sesaat. Setelah bersenggama, mereka berbaring di tempat tidur dan berbincang-bincang. Lebih tepatnya, si perempuan yang berbicara sementara si lelaki hanya mendengarkan, mengiyakan, menambahkan beberapa komentar, dan sesekali mengajukan pertanyaan. Si lelaki memanggil si perempuan Syahrazad, si pendongeng dalam Kisah Seribu Satu Malam. Tentu, tak ada kepala terputus keesokan paginya. Setiap si lelaki menatap wajah si perempuan, setiap itu pula si lelaki merasa beruntung atas hidupnya. Aku kepikiran Dayang Sumbi, kata Syahrazad tiba-tiba. Ya? tanya si lelaki. Si Tumang yang jadi suaminya kan anjing, sebut Syahrazad terkekeh, apa Dayang Sumbi ga bosan gaya bercinta gitu-gitu aja? Tanpa memikirkan apakah pertanyaan itu perlu dijawab atau tidak, si lelaki menjawabnya dengan kecupan.
II
Setelah waduk buatan Sangkuriang menyurut, lalu berubah jadi rawa-rawa, dan berakhir jadi hutan belantara, beberapa manusia yang bosan berhuma menetapkan diri untuk bermukim di sini, dan seperti spesies manusia lain, membangun negara dan menciptakan Tuhan sekaligus hantu. Kereta sejarah dunia sedang berderak. Jauh di utara, menjelang 1500-an, minuman yang berasal dari biji semak-semak di Ethiopia menyebar melalui kedai-kedai kopi di sepanjang dunia Arab. Dalam 150 tahun kemudian, berawal dari Turki, Eropa ikut-ikutan. Kedai kopi menjadi tempat bukan hanya untuk menikmati secangkir kopi, tapi juga sebagai ruang bertukar gagasan. Revolusi Perancis dirancang di kedai-kedai kopi. Sementara itu, kopi yang mereka sesap berasal dari perbudakan orang-orang Afrika di Koloni Perancis di Karibia. Budak-budak penggarap perkebunan kopi ini nantinya melakukan revolusi kulit hitam pertama yang sukses: Orang-orang kulit hitam menyembelih orang-orang kulit putih. Kopi menyebar, dibiakkan di berbagai koloni. Di sisi waduk besar yang Sangkuriang bangun dalam semalam bersama para kuli dari golongan jin, saat airnya sudah lama surut, hutan-hutan yang telah menutupinya dibabat, ditanami kopi. Orang-orang kulit coklat yang telah lama tinggal di sekitar sana diperintah sebagian kecil orang-orang kulit coklat lainnya atas desakan orang-orang kulit putih yang telah tercerahkan. Banyak yang tak sadarkan diri, yang kesurupan juga, karena memang yang dibabat mungkin habitatnya jin.
III
Putri Ajung Larang jatuh hati pada Bujangga Manik. Pada gagasan tentang Bujangga Manik, lebih tepatnya. Putri termakan kisah Jompong Larang yang mengatakan bahwa dirinya melihat pangeran yang sangat tampan, sekaligus jago merangkai syair, seorang lelaki yang sepadan bagi kecantikan dan keanggunan Putri. Bunga-bunga bermekaran dalam diri Putri. “Aku akan menyerahkan diriku. Aku akan menyambar seperti elang, menerkam seperti harimau, meminta diterima sebagai kekasih.” Sebuah pesan yang dititipkan bersama beragam hadiah buat Bujangga Manik. Tapi Bujangga Manik tak mengikuti nasihat ibunya yang ikut-ikutan berlaga seperti mak comblang. Kebebasan lebih menarik minatnya ketimbang kecantikan. Bujangga Manik angkat kaki dari istana untuk kedua kalinya. Jika tugas utama penyair adalah menyendiri dan membikin patah hati, Bujangga Manik berhasil. Bujangga Manik hanya ingin laut untuk hanyut, suatu tempat untuk kematiannya, suatu tempat untuk merebahkan tubuhnya.
IV
Potongan kepala tergantung, menghiasi pohon-pohon di sepanjang jalan yang menghubungkan bagian barat sampai timur Pulau Jawa dengan menyusuri pesisir utara. Herman Willem Daendels rupanya menginsafi betul Revolusi Prancis, bukan pada slogan “Persamaan, Kebebasan, dan Persaudaraan”, tapi pada gulotin.j uyjmtgfjmrvrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
lmfknjwfnqfnbfhbffrrrrrrrrrrr……
Sangkuriang itu ganteng, kenapa harus jatuh cinta ke dayang sumbi?
Wkwkkwkk…
Jatuh cinta siapa yg tahu
fiksionis skale~