Hubungan Tiongkok dan Nusantara banyak tercatat pada naskah kuno Tiongkok. Warga Tionghoa beremigrasi ke Indonesia terutama karena alasan ekonomi di samping situasi domestik Tiongkok yang kacau. Mereka menumpang perahu niaga junk yang rutin berlayar antara pesisir Tiongkok Selatan dan Batavia.
Ketika VOC membangun Batavia untuk pijakan awal di Pulau Jawa, para pendatang Tionghoa diperlukan kemampuannya membangun dan menghidupkan Batavia untuk menggerakkan roda perekonomian.
Terbentuknya pecinan di kota-kota Pulau Jawa bermula ketika VOC menawarkan kondisi ekonomi terbuka bagi para pendatang dan bebas bertempat tinggal di mana pun di sekitar Batavia. Kondisi tersebut sangat menarik para imigran datang karena tersedianya lahan subur luas untuk digarap bagi pertanian.
Selain itu, VOC juga mendatangkan warga dari pulau lain, seperti Ambon, Banda, Bugis, Bali, dan menempatkan mereka di sekeliling Batavia untuk alasan keamanan dan pertahanan terhadap serangan dari Banten dan Mataram. Karena khawatir, VOC melarang warga Banten atau Jawa untuk berpindah dan menetap di Batavia. Dengan demikian, di sekitar Batavia muncul permukiman berdasarkan etnis, seperti kampung Bali, kampung Ambon, dan Kampung Melayu.
Kemudian setelah VOC berdamai dengan Banten 1658 dan Mataram 1677, pembangunan dan perkembangan kota Batavia menjadi gencar kembali. Namun ketika imigran Tionghoa baru mengalir secara tidak terkendali keadaan menjadi berbalik menyulitkan penguasa sehingga timbul ketegangan di masyarakat. Keadaan ini berujung menjadi kerusuhan 1740 Chineezenmoord, yang meluas menjadi pemberontakan Tionghoa.
Pemberontakan itu dilakukan bersama dengan para bupati pesisir Mataram hingga 1743 di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah tragedi 1740, Gubernur Jendral VOC Valkenier mulai mengatur permukiman menurut kelompok etnis, wijkenstelsel. Hal itu menimbulkan daerah yang disebut Chineesche kamp (pacinaan, pecinan).
Berdasarkan pengalaman dan alasan politik, kelompok Tionghoa dipersulit agar tidak dapat bergaul rapat dengan warga pribumi lainnya, sehingga mempermudah pengendalian warga jajahan yang terpisah-pisah. Untuk mengatur daerah-daerah ghetto ini diangkatlah wijkmeester. Bagi penghuni yang keluar dari wijk dengan perjalanan melebihi limit waktu diharuskan membawa surat keterangan; passenstelsel.
Sebagai kelompok pedagang perantara yang menghubungkan kehidupan ekonomi penguasa yang berhubungan keluar dengan masyarakat lokal sebagai konsumen pasar, komunitas Tionghoa berfungsi sebagai distributor kebutuhan (di antaranya dikenal istilah pedagang klontong keliling). Sekaligus juga kolektor hasil pertanian untuk dikumpulkan lalu diekspor VOC.
Sikap VOC sebenarnya mendua mereka khawatir bila tersaingi atau tidak dapat mengendalikan, tetapi juga harus menerima fakta bahwa komunitas masyarakat Tionghoa dibutuhkan untuk memutar roda perekonomian dan menjadi petugas pemungut pajak bagi VOC.
Ketika VOC bangkrut 1799, pemerintah Hindia Belanda meneruskan passenstelsel ini dan pada 1816 menekankan kembali peraturan surat jalan. Kemudian tahun 1863 dengan alasan terjadi pelanggaran dalam perdagangan candu, peraturan surat perjalanan ini ditekankan lagi. Pada tahun 1904 dikeluarkan peraturan surat jalan yang berlaku per tahun. Akhirnya barulah pada tahun 1916 peraturan passenstelsel ini dihapus seluruhnya.
Tahun 1818 pemerintah Hindia Belanda memberlakukan kembali Peraturan wijkenstelsel bagi vreemde oosterlingen (Timur asing). Untuk mengatur dan sebagai penanggung jawab ketertiban masing-masing kelompok etnis diangkatlah tokoh masyarakat dengan pangkat kehormatan militer: luitenant, mayor, kapitein.
Peraturan Chineesche wijken diulang pada tahun 1835 dan 1854 (tahun 1825 – 1830 berlangsung Perang Diponegoro, Perang Jawa). Peraturan tambahan dikeluarkan lagi pada tahun 1835, yaitu bila ada 25 keluarga Tionghoa di suatu lingkungan di luar daerah pecinan yang telah ditentukan mereka harus dikepalai oleh seorang wijkmeester sebagai penanggung jawab.
Peraturan ini memungkinkan wijk kelompok etnis Tionghoa untuk tinggal di luar Chineesche kamp yang telah ditentukan. Ketentuan inilah yang menyebabkan di daerah Priangan, khususnya Bandung, tidak ditemukan daerah pecinan dengan batasan yang tegas.
Pemusatan komunitas etnis di pecinan menimbulkan rasa kebersamaan sesama etnis menjadi lebih solid, solidaritas, dan kesadaran kelompok yang eksklusif. Kondisi konsentrasi kelompok etnis Tionghoa dalam ruang urban serba terbatas menjadikannya hanya memung-kinkan kegiatan dalam bidang perdagangan saja.
Hal ini menghasilkan stad en voorsteden (kota terdepan) dengan Chineesche winkelbuurt, kawasan perdagangan etnis Tionghoa di daerah urban. Hambatan yang dibuat oleh pemerintah kolonial mendorong modal yang ada menjadi terkumpul bagi kegiatan niaga di perkotaan dan industri. Di Batavia muncul daerah Pasar Baru, Pasar Senen, Tanah Abang, dan China Town di kawasan kota lama.
Heterogenitas Komunitas Etnis Tionghoa di Pulau Jawa
Imigran Tionghoa di Indonesia sebagaian besar berasal dari Provinsi Fujian dan Goangdung. Mereka membawa ciri budaya dari daerah asal, misalnya ciri linguistik.
Kelompok Hokkian adalah kelompok terbesar yang bermukim di Nusantara, menurut sejarahnya mereka berasal dari daerah perdagangan di Fujian selatan. Keahlian berdagang menjadikan kelompok mereka banyak yang berhasil sebagai pedagang baik kecil maupun besar. Mereka banyak-bermukim-di daerah Indonesia Timur, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan pantai barat Sumatra.
Kemudian kelompok Teochiu, Chaozhou, yang berasal dari sekitar kota pelabuhan Swatow, Shantou kebanyakan bermukim di luar Pulau Jawa, seperti pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat. Mereka bekerja sebagai buruh perkebunan karet. Beberapa dari mereka juga ada yang berhasil menjadi pedagang di daerah yang kurang pemukim suku Hokkiannya.
Kelompok Hakka Kejia, berasal dari pedalaman Goangdung. Goangdung adalah daerah yang tandus, sehingga motivasi utama mereka untuk beremigrasi adalah segi ekonomi. Selama periode 1850–1930, mereka adalah kelompok imigran yang paling miskin. Mereka banyak bermukim di Kalimantan Barat daerah bekas pertambangan emas, Bangka Belitung daerah tambang timah, kemudian setelah Priangan terbuka diakhir abad 19, mereka juga bermukim di Batavia dan Priangan.
Kelompok Kanton, berasal dari Delta Sungai Mutiara Zhu-jianng San-jiao-zhou dan sungai Barat, Xijiang. Kelompok ini banyak bekerja di daerah tambang timah Bangka, kemudian juga mereka datang ke Pulau Jawa bersamaan dengan dibukanya daerah Priangan oleh Hindia Belanda.
Kelompok ini datang dengan membawa modal keterampilan pertukangan dan industry karena di daerah asalnya telah berhubungan dengan bangsa Eropa serta dunia usaha di Hongkong yang merupakan daerah jajahan Inggris. Dengan demikian, mereka telah mengenal teknologi dan mesin-mesin mutakhir. Kelompok ini bermukim secara tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Bangka, Kepri, Jambi, dan Sumatra Barat. Mereka banyak berusaha di bidang toko besi, alat-alat teknik, sebagai teknisi, industri, dan juga restoran (Nagtegaal, 1996).
Dalam menyebutkan komunitas etnis Tionghoa kita sering sangat menyederhanakan dengan menganggap sebagai suatu entitas yang homogen dan solid. Kadang juga sekadar membagi mereka dengan sederhana dalam kelompok totok dan peranakan, padahal bila diteliti lebih cermat akan ditemukan kelompok yang rumit.
Pembagian menurut kelompok dialek asalnya adalah Hokkian, Hakka, Konghu, Shantung, Kwangtung, Cantonese, Hainan, dst. Tiap kelompok dibagi berdasarkan asal geografi dan geneologi sehingga cenderung saling tidak bercampur.
Mereka juga berkelompok menurut kemampuan berbahasa; bagi yang masih mampu berbicara dialek daerah asal, kelompok yang mampu berbicara bahasa Tionghoa Mandarin, kelompok yang hanya menguasai bahasa Indonesia, kelompok yang juga mampu berbahasa dialek lokal Indonesia (meski kadang juga hanya berbahasa yang kasar saja), dan yang mampu berbahasa Barat seperti Belanda dan Inggris.
Kemudian pengelompokan berdasarkan pendidikan, mereka yang pernah bersekolah dengan pengantar bahasa Tionghoa Mandarin, kelompok dengan bahasa pengantar Belanda, ataupun berbahasa Indonesia saja. Ada juga kelompok yang pernah belajar di mancanegara.
Selain itu pengelompokan juga berdasarkan agama yang dianut dan orientasi politik baik lokal nasional, maupun kiblat terhadap paham komunis (PKT) atau nasionalis (Kuomingtang) di Tiongkok dan Taiwan.
Kenyataan dalam masyarakat yang demi-kian menyebabkan perlunya ketelitian dalam pernyataan umum mengenai kelompok etnis Tionghoa, terutama bila kita bermaksud menguraikan pembahasan kehidupan sosial budaya, ataupun aspek-aspek komunitas masyarakat etnis ini. Hal itu agar tidak terlalu mudah menyamaratakan. Untuk pendalaman penelitian mengenai kelompok etnis Tionghoa di daerah Bandung (Priangan), bahan tertulis data-data historis cukup sulit diperoleh bahkan hampir tidak ada. Agaknya jalan keluar akhir pengumpulan data rekaman jejak sejarah haruslah dicari secara oral history dari mereka yang sudah berusia senja yang masih tersisa.
*
Referensi
- Lohanda, Mona. 2005. The passen-en wijkenstelsel. Dutch practice of restriction policy on the Chinese. Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia & Yayasan Obor Indonesia.
- Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta : LP3ES.
- Taniputera, Ivan. 2008. History of China. Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
- Widodo, Yohannes. 1988. Chinese Settlement in a Changing City. Thesis, Katholieke Universiteit Leuven.