Para pembaca Indonesia pertama kali mengenal karya sastra Rusia dalam terjemahan Belanda. Dalam suatu surat yang ditulisnya pada tahun 1903, Kartini, tokoh pencerahan bangsa yang tersohor pada masa kolonial Hindia Belanda, minta dikirimi novel Kebangkitan karya Leo Tolstoy (Kartini 1987: 343).
Beberapa karya sastra klasik Rusia pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu Rendah dan diterbitkan mulai tahun 1920-an (Toergenjew 1922; Tolstoy 1922 dan 192?). Buku-buku itu rupanya disadur dari versi Belandanya.
Wawasan tentang kesusastraan dunia semakin luas pada masa Indonesia merdeka, dan minat para pembaca Indonesia pada teks-teks Rusia tidak hanya terbatas pada masalah politik.
Terjemahan Sastra Rusia Setelah Kemerdekaan Indonesia
Popularias karya-karya klasik Rusia tetap bertahan, tanpa dipengaruhi oleh situasi politik. Seperti ditunjukan oleh kritikus sastra H.B. Jassin pada saat itu, para penerjemah muda lebih suka menerjemahkan karya-karya fiksi Rusia (Jassin 1955: 109-110).
Idrus, seorang penulis terkemuka pada tahun 1940-an menyoroti kehebatan tokoh-tokoh dan berbagai problem yang disajikan oleh kesustraan Rusia (dikutip oleh Hooykaas 1952).
Idrus membandingkan potensi kreativitas S.T. Alisjahbana dengan Leo Tolstoy, Dostoyevsky dan Gogol. Beberapa karya Dostoyevsky diterbitkan terjemahannya oleh M. Radjab. Karya-karya puisi kurang populer, seperti dicatat oleh M. Taslim Ali dalam antologinya mengenai puisi “Slavia dan Latin”.
Hal yang secara khusus terasa pada masa sesudah tahun 1945 adalah perhatian masyarakat luas pada semangat revolusi dan jasa-jasa pahlawan selama peperangan patriotik melawan agresi bangsa asing.
Tema-tema tersebut dalam kesusasteraan Rusia yang digemari ketika itu terasa mengandung sesuatu yang mirip atau berkaitan dengan perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan (atau “revolusi fisik”, meminjam istilah Soekarno).
Salah satu contoh karya fiksi semacam itu adalah sebuah cerpen panjang berjudul “Yang Keempatpuluh Satunya” karya Boris Lavrenyov. Tokoh-tokoh cerpen itu, menurut komentar penerbit Indonesia, adalah “Maryutka, seorang pradjurit penembak djitu Tentara Merah jang telah bersumpah mendahulukan kewadjibannya terhadap negara daripada panggilan djenisnja sebagai perempuan.
Letnan Govorukha-Otrok, seorang opsir Tentara Tsar dari kalangan ningrat, tawanan Kaum Merah jang dibentjinja. Mereka terdampar pada sebuah pulau. Hidup terpentjil berbulan-bulan. Dapatkah mereka mempertahakan kejakinannja masing-masing?” (Lavrenyov 1958: 1).
Kisah ini berakhir tragis: si tokoh pria ditembak oleh tokoh perempuan, yang sebenarnya telah menjadi istri yang sangat mencintainya, saat si pria tengah berusaha bergabung kembali dengan regunya.
Idrus bukan penulis berhaluan kiri, dan dia tidak bergabung dengan Lekra, meskipun dia menerjemahkan sebuah cerpen panjang berjudul “Kereta Api Baja 1969” karya Vsevolod Ivanov.
Edisi pertamanya dalam bahasa Rusia terbit pada tahun 1922, tak lama setelah usai perang saudara yang pecah menyusul Revolusi Oktober, dan alur ceritanya dibangun dengan latar belakang perang gerilya di Siberia, melawan Pasukan Putih kontra revolusioner dan intervensi pihak asing (Jepang, Amerika, dan sebagainya) di wilayah Timur Jauh Rusia (Iwanow 1955).
Ivanov adalah anggota kelompok sastrawan “Serapihan bersaudara” (nama itu diambil dari novel karangan E. Th. A. Hoffman). Para sastrawan yang tergabung dalam kelompok yang berdiri dari tahun 1921 hingga 1929 itu sibuk mencari sebuah bentuk prosa eksperimental baru, terutama dalam hal menyusun alur cerita yang baik, dan mereka kerap dikritik karena terlalu formalis. Diperkirakan, tema dan ciri-ciri formal dari cerpen itu menarik bagi seorang penulis Indonesia.
Pram, Sastra Rusia dan Realisme Sosialis
Penulis prosa termasyhur Pramoedya Ananta Toer aktif menerjemahkan karya fiksi Soviet. Dia sangat kecewa dengan hasil revolusi nasional Indonesia. Setelah kunjungannya ke Tiongkok pada tahun 1956 dan URSS pada tahun 1958, dia menegaskan tanggung jawab sosial karya sastra melalui esei-esei maupun pernyataan lisannya.
Dia terpengaruh oleh esei-esei maupun pernyataan lisannya. Dia terpengaruh oleh esei-esei Maxim Gorky dan esei beberapa penulis Tionghoa, dan menjadi pembela aliran realisme sosialis (makalah dibacakan di Universitas Indonesia, 1963; lih. Teeuw 1993: 39; Yahaya Ismail 1972: 68; Ogloblin 1996).
Setelah menerjemahkan cerpen-cerpen pengarang Amerika John Steinbeck dan pengarang Rusia Leo Tolstoy (1950, 1954) dan Alexander Kuprin (1959, disebutkan dalam Rangkuti 1963: 29), Pram menerjemahkan beberapa buku Rusia yang dapat dianggap sebagai contoh nyata dari aliran realisme sosialis (Ibid.: 29-30).
Buku-buku yang dimaksud ialah Ibunda karya Maxim Gorky (Gorki 1956), sebuah cerpen panjang berjudul “Kisah Seorang Prajurit Soviet” karya Mikhail Sholokhov (Sjolokov t.t.) dan novel Manusia Sedjati karya Boris Polewoi (1959, disebutkan dalam Rangkuti 1963:29).
Maxim Gorky diperkenalkan kepada pembaca Indonesia sebagai “perintis aliran sastra realis sosialis yang tak tertanding” (Bintang Merah, 1955, No. 11/12, sampai belakang) dan “seorang penulis proletar yang besar” (Buku Kita, 1955: 136), meniru gaya klise Soviet yang lazim saat itu.
Yayasan Pembaruan menerbitkan cerpennya dari Italia (di mana dia bermukim selama beberapa tahun sebelum dan seusia Revolusi Oktober), yang memaparkan kehidupan rakyat jelata dan hangatnya rasa sayang serta simpati si penulis terhadap mereka (Gorky 1954).
Novel Ibunda terbit pertama kali dalam bahasa Inggris pada tahun 1906-07, kemudian dalam bahasa Rusia pada tahun 1907, dan oleh Lenin diberi penilaian yang tinggi sebagai “buku yang bermanfaat.”
Buku itu memuat kisah tentang Pavel, seorang buruh Rusia muda yang miskin di jaman pemerintahan Tsar, yang menjadi pemimpin gerakan politik lokal, dan tentang ibunya yang semula tidak menaruh minat terhadap hal-hal politik, namun lambat laun mendukung kesadaran kelas sosial anaknya itu, sehingga dalam adegan akhir, dia dengan bersemangat membagi-bagikan selebaran pada saat Pavel ditangkap polisi.
Isi cerpen panjang “Kisah Seorang Pradjurit Soviet” karya Mikhail Sholokhov (edisi pertama dalam bahasa Rusia terbit tahun 1956-57) adalah sebuah cerpen penuh emosi yang diceritakan dengan gaya aku oleh seorang prajurit yang kehilangan keluarganya dalam perang melawan Nazi Jerman pada tahun 1941-45.
Cerpen itu menceritakan penderitaan sang tokoh utama di dalam kamp tahanan dan perilaku heroiknya, dan diakhiri dengan paparan tentang simpatinya terhadap seorang anak yatim piatu yang diadopsinya (bagian ini terasa sedikit cengeng).
Novel Manusia Sedjati karya Boris Polewoi (edisi Rusia pertama terbit tahun 1946) ditulis berdasarkan biografi Alexei Maresyev, seorang pilot tempur Rusia yang, setelah jatuh tertembak di wilayah musuh, berjuang mencari jalan kembali ke negaranya selama dua minggu lebih, lalu kehilangan dua kakinya dalam sebuah operasi, namun setelah berlatih sendiri secara intensif dan meskipun beberapa kali ditolak oleh para petinggi militer, kembali terbang dan berhasil menembak jatuh tujuh pesawat tempur Jerman. Tidak ada yang istimewa pada gaya cerita novel patriotik tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa popularitasnya pada masa pascaperang itu disebabkan temanya.
Kisah-kisah seperti itu berjasa meningkatkan militansi rakyat Indonesia yang kebanyakannya masih penuh harapan dan mendambakan suatu kemajuan yang mudah dan cepat menuju sebuah “masyarakat adil dan makmur.” Namun, tidak semua orang Indonesia bersikap optimistis terhadap mutu sosialisme Soviet, sehingga pergulatan ideologis pun menjadi genting. Beberapa terjemahan dari bahasa Rusia juga ikut menimbulkan sikap pesimistis ini.
Penyair, pengarang prosa dan pelukis Trisno Sumardjo menerjemahkan novel karya Boris Pasternak Dokter Zhivago (Pasternak 1960) yang berisi kisah yang suram namun romantis tentang seorang cendekiawan, dokter dan penyair Rusia di masa Revolusi Oktober da perang saudara.
Novel itu mengungkapkan sisi gelap sistem komunisme yang tidak manusiawi, dan mengingkari berkah serta keuntungan-keuntungan dari revolusi tersebut. Penerbitannya itu dalam terjemahan bahasa Italia pada tahun 1957 telah menyulut kemarahan para petinggi Soviet, dan memaksa penulisnya mengembalikan Hadiah Nobel pada tahun 1958.
Sastra Rusia di Indonesia Setelah 1965
Aktifitas penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia ini masih berlanjut setelah tahun 1965 (lih. Solzenytsin 1976) seperti juga halnya penerjemahan karya-karya klasik (Dostoyevski 1974; Turgenev 197?; Gogol 1986). Beberapa terjemahan itu berupa terjemahan langsung, seperti karya Tjechov (1972) oelh Tines R. Suatu kumpulan terjemahan termutakhir dapat dibaca dalam majalah sastra Horison 1997, No. 6.
Praktik menerjemahkan secara bebas maupun menyadur karya asli dari ulu hingga sekarang merupakan hal yang lazim, meskipun sisi buruk dari saduran sudah jelas dirasakan oleh para penulis Indonesia pada tahun 1950-an (lih. Kartahadimadja 1955: 154; Hadimadja 1972: 49).
Majalah Sastra (1962, No. 3) memuat sebuah cerpen Pushkin, “Pengurus Jenasah”, yang “diterjemahkan secara bebas” oleh Surya Atmadja dai versi bahasa Inggris berjudul Undertaker dalam sebuah buku yang terbit di Moskow. Sebuah cerpen humor karya Anton Chekov disadur dan dipentaskan sebagai drama pendek (“drama arena, drama komidi Pinangan“) dengan menampilkan sebagai tokoh utama seorang Indonesia bernama Rukma Rukmana (Minggu Pagi, 21.02.1960: 27). Karya terjemahan lainnya adalah Tjerita Raja Sardan oleh Pusjkin (1962; aslinya dongeng bersajak). Saduran baru Rendra yang agak drastis atas drama karya Alexander Ostrovsky dibicarakan dalam Sikorsky (1995).
Di Uni Soviet sendiri badan penerbit Moskow “Progress” menghasilkan sejumlah buku tipis bergambar buat bacaan kanak-kanak yang memuat dongeng atau cerita dengan teks Rusia didampingi terjemahan Indonesia.
Salah satu masalah yang dihadapi para penerjemah Indonesia ialah struktur penulisan nama Rusia yang terdiri atas (1) nama diri, (2) nama ayah dan (3) nama warisan keluarga, misalnya (1), (2), (3) = Ivan Petrovich Belkin, Maria Petrovna Belkina. Pada konteks yang tidak terlalu formal, unsur-unsur itu akan ditulis seperti di atas, atau diganti dengan inisialuntuk (1) dan (2): L.P. Belkin: dalam tulisan para wartawan, pengarang fiksi, penyair dan kritikus sastra, hanya (1) dan (3) yang lazim digunakan: Ivan Belkin atau I. Belkin. Dalam konteks formal dan juga dalam daftar pustaka dan referensi, setelah nama keluarga akan ditulis (1) dan (2) atau cukup (1) saja: Belkin Ivan Petrovich atau Belkin, I.P., Belkin I.
Jadi, banyak kesalahan bisa terjadi. Karya terjemahan Queen of Spades dalam bahasa Indonesia (Aleksander 1994) boleh jadi merupakan terjemahan cerpen Alexander Pushkin (atau A. Pushkin), namun saya belum bisa memastikannya sekarang.
Memanggil seseorang dengan nama ayahnya saja (misalnya Petrovich) adalah tradisi keakraban di kalangan orang-orang tua yang kurang terdidik, terutama di pedesaan. Jadi, memanggil tokoh utama dalam cerpen Gogol dengan nama ayahnya, yakni Akakjewitsch, (Gogol 1974) terdengar aneh.
Diharapkan para pakar Indonesia akan menyelidiki secara mendalam dan lebih terinci permasalahan terjemahan karya berbahasa Rusia yang menarik ini serta peranan terjemahan-terjemahan itu dalam sejarah kesusasteraan Indonesia.
*
Catutan dari esai Ideologi dan Kesusastraan Soviet dalam Terjemahan oleh Alexander K. Oglobin yang dimuat dalam buku Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia yang disunting Henri Chambert-Loir.
Lolita-nya Vladimir Nabokov bikin gatel udelku… wkw
Novel pedofil ini mah novel Amriki, pas Nabokov mulai nulis pake bahasa Inggris.
Mau bagaimana lagi, aku orangnya simpel. Kalau dia lahir disitu, sampai mati ada hubungannya dengan ‘disitu’. Gitu.
Baiklah Saitama, terserah kau saja.
Bekh, kirain tulisan Mas Arip. Rupanya nyuplik tulisan org. Baiklah…
Mau dong baca lebih banyak, baru baca Tales of Italy-nya Gorky doang
Wih Maxim Gorky, ini mah senpainya Pram.
kayaknya pernah ngeliat buku ini di bbc palasari, cuman waktu itu belum ketarik sama penerjemahan.
nuhun udah ngingetin 🙂 jadi gatel buat ngecek ke sana. mudah2an saya juga berjodoh sama buku itu.
Enak loh buat dijadiin bantal. 😆
Penasaran sama buku sastra dari ex. soviet ini. Mau cari terjemahan dari Gorky.