Si penyair masuk diam-diam ke kamar si novelis, sementara si novelis sudah tertidur, tidur yang nampak menjemukan seperti sebuah bau yang melewati hidungnya. Si penyair berdiri di ambang pintu, memperhatikan, menyandarkan diri di kusen pintu.
Dia menyukai teman sekamarnya. Tapi bukan suka yang begitu. Pukul empat pagi dan mengapa si penyair masih terjaga? Tidur adalah beban bagi orang seperti dia. Namun di sini justru ada seorang pria yang tidur sepanjang malam.
“Dia pasti lagi punya masalah,” pikir si penyair, sebelum berbalik dan pergi tidur. Sambil melangkah dengan berjinjit melalui lorong ia bertanya pada dirinya sendiri diam-diam, “Apa yang kulakukan di kota ini? Bahkan melihat awan aku merasa aku telah kehilangan imajinasiku.”
*
Pada hari pertama kerja si wanita di kantor si penyair membantunya mengangkati kotak-kotak dus, tapi saat ia membantunya ia berpaling.
“Apa kau tahu ini adalah hari sakit ketujuh puluhku sejak aku mulai kerja di sini?” si penyair bertanya.
“Tapi kau masih di sini,” kata si wanita.
“Ya, aku tahu.” Dan si penyair pergi ke toilet dan kencing darah.
Ketika ia kembali si wanita duduk tegak, mengetik di komputernya seperti anak gadis penurut. Si wanita tampak seorang yang bisa diajak asyik dan inilah yang menyebabkan si penyair, dengan mata terkulai dan lelah, bersandar di bilik sekat dan berkata lurus ke wajah si wanita, “Ikutlah denganku setelah beres kerja. Aku akan menunjukkan tempat keren untuk minum di sekitar sini.”
“Aku akan ikut, pasti,” kata si wanita, menengadah, dan tidak ada maksud berbohong, hanya senyum lebar dan mata penuh kebencian yang hanya perempuan pahami.
Ketika jam kerja berakhir si penyair menggenggam lengan si wanita dan membawanya ke The Poodle, yang kumuh dan jelek dan tidak ada kamar kecil buat seorang perempuan. Si penyair melihat ke sekeliling. Si wanita memakai bra begitu ketat di balik bajunya.
“Duduk di sini di stan ini,” kata si penyair, mendorong tubuh si wanita dengan kedua tangannya, “dan aku akan ambilkan soda.”
“Aku ingin tambahan gin dalam sodaku,” kata si wanita penuh harap, dan si penyair berjalan pergi dengan rasa tidak suka. Dasar wanita-wanita modern. Mereka tidak tahu adat sopan santun.
Ketika si penyair kembali dengan membawa minuman ia menyelinap masuk ke dalam stan dan mulai bergerak-gerak tak jelas karena kebosanan saat ia mendengarkan cerita si wanita.
“Aku punya suami dan tiga anak,” si wanita memulai.
“Tapi kau nampak kayak delapan belas tahun,” kata si penyair kecewa, dan menggoyang minumannya sampai berdesis. Seorang suami dan tiga anak. “Kau harusnya enggak pakai kayak gitu,” pungkasnya.
Si wanita mengerutkan keningnya dan menyedot minumannya dengan amarah menggebu. “Terima kasih untuk minumannya,” katanya, membanting gelasnya dan menjatuhkan sedotan dari bibirnya saat dia berjalan.
Ketika si penyair kembali malam itu ia menemukan teman sekamarnya sedang menggarap novelnya. Mendongak dari komputer teman sekamarnya itu memberi semacam isyarat.
“Aku pikir ada serangga di balik kaca monitor,” kata si novelis, menunjuk ke layar, kemudian menelusurinya, mengikutinya.
“Aku enggak lihat,” si penyair menjawab, matanya juling karena masih mabuk.
“Sana tidur,” kata si novelis, dan si penyair menurut.
*
Ketika si penyair terbangun ia ingat si wanita, yang sudah punya suami dan tiga anak-anak tercintanya. Mungkin sekarang dia sedang sibuk mengganti popok mereka, atau memasukkan sandwich ke dalam kotak makan mereka, tidak memikirkan apa-apa, terus ke sana kemari dengan telepon di dagunya, berbicara dengan adiknya yang ada di Ottawa.
“Sudah begitu dalam politik, telah begitu dalam agama, dan begitu di yang lain-lain dalam beragam pemikiran manusia,” pikir si penyair, dan bangkit dan buka baju dan pergi ke kamar mandi dan menggosok tubuhnya keras-keras, dan balik ke kamarnya di mana ia mengenakan baju coklat dan berjalan hujan-hujanan ke tempat kerja.
Ketika ia tiba si wanita di bilik kerja sudah ada di sana. Tulang belakangnya angkuh dan tegang dan si wanita berpaling. Tapi saat si penyair duduk dan mengatur folder ia tahu bahwa si wanita sedang memikirkan dirinya. “Dia enggak lebih baik dariku,” si penyair begitu yakin. Ya, dia akan menghancurkan si wanita. Wanita bersuami dengan tiga anak-anak manis: dia pasti ingin coba selingkuh, sebuah asmara betulan yang bakal bikin keringatan, si penyair bisa mencium bau-baunya dari kulit si wanita.
Bagaimanapun, di meja kopi pada pukul sebelas si wanita berkata, “Aku ingin pulang denganmu malam ini. Aku ingin tahu di mana kamu tinggal.”
“Ini bukan pemandangan yang layak untuk seorang wanita,” kata si penyair, memasang info ini langsung di depan. “Tempatnya kecil. Kamar seorang pria. Aku seorang penyair, kaulihat, dan aku tinggal di sana dengan teman sekamarku selama tujuh tahun yang kejam. Wanita jatuh cinta dengan dia tapi dia enggak bisa balik mencintai mereka. Dia seorang novelis. Dia sangat berantakan.”
“Aku ingin pulang denganmu,” kata si wanita, menajamkan matanya pada si penyair dan membuat kopinya tumpah.
*
Malam itu mereka duduk mengitari meja: si penyair, si novelis, dan si wanita. Si wanita, matanya dilebarkan, tampak larak-lirik dari satu ke yang lain. Yang satu begitu kasar dan pendiam dan butek, layaknya pria sejati! dan yang satunya tak tertarik dan merasa terganggu dan grogi, seperti pria sejati! Si wanita jatuh cinta dengan mereka berdua.
Si novelis, merasa dilanggar karena semacam alasan yang tidak bisa ia mengerti, bangkit dan meninggalkan meja dan pergi ke komputer dan menatap, dan kembali lagi melihat serangga di belakang layar. “Sial!” teriaknya, meninju mejanya. Si penyair tampak suram dan tidak menanggapi.
Si wanita berkata, “Tolong ceritakan tentang hidupmu. Pasti menarik. Aku enggak pernah kenal seorang penyair sebelumnya, kecuali satu pas di SMA. Dan aku bahkan enggak tahu apakah dia masih seorang penyair.”
Si penyair mengatakan dengan muram, “Jangan berkata begitu.” Kemudian, “Mari ikut aku ke kamar tidur. Kamar tidurku dan aku ingin perlihatkan padamu.”
Si wanita meletakkan garpunya dan mengikuti dari belakang. Si wanita sangat senang. Dia merasa begitu bohemian. Dia ingin melepas semua pakaiannya.
“Baik,” kata si penyair, menyalakan lampu. “Kau dapat melihat sekarang di dindingku dua surat dari Al Purdy, mengatakan padaku bahwa aku sudah bagus tapi enggak cukup bagus.”
Si penyair duduk di ranjang rendah di lantai dan melebarkan kakinya dan menatap saat si wanita berjalan mengitari ruang sempit itu, meraba segalanya.
“Itu foto yang diambil ketika aku lagi di Polandia. Aku adalah seorang profesor.”
“Kau tampak sangat Polandia di sini.”
“Aku tahu.”
Si penyair berbaring telentang di tempat tidurnya dan menatap langit-langit, tangan dijadikan bantal di belakang kepala. “Kau merokok?” Dia bertanya.
“Tidak.”
“Tolong ke kamar sebelah dan minta rokok dari teman sekamar novelisku. Dia pasti punya sekotak di mejanya. Katakan padanya aku yang minta; ia akan mengerti. Jika ia menolak untuk memberi atau marah, tinggalkan ruangan segera. Kadang-kadang itu yang membuatnya terganggu saat dia sedang nulis.”
Si wanita meninggalkan kamar dan berjalan menyusuri lorong dan melihat si novelis membungkuk depan komputer, duduk di kursinya, menekan jari-jarinya ke layar. “Ayo masuk,” kata si novelis, ketika ia mendengar si wanita mendekat, dan bergerak ke arah mejanya dan meletakkan tangannya di atas meja dan bersandar ke depan. Si novelis meletakkan satu tangan di pantat si wanita, terasa menggeser di balik pakaian si wanita.
“Apa kau lihat ada serangga?”
Si wanita menahan napas, tidak bergerak. Lalu dia tampak mengelak dan berkata, “Aku datang ke sini untuk minta rokok buat si penyair. Dia bilang kau akan mengerti.”
“Tentu saja aku mengerti.” Dia menarik dua batang rokok dari dalam pak dan si wanita membawanya. Si wanita meninggalkan kamar itu dan berjalan dengan kaku melalui lorong menuju kamar si penyair, dan pada saat berjalan ia ingat sebuah mimpi. “Aku bermimpi suatu kali kalau aku lagi ada di sebuah kamar dengan orang lain.”
Ketika si penyair melihat si wanita ia duduk tegak di ranjang. “Tutup pintunya,” katanya. “Si novelis itu cemburuan.”
Si wanita menutup pintu dan duduk di samping si penyair. Si wanita meletakkan rokok di tangan si penyair. Si penyair terbengong menatap rokoknya. Si wanita ingin si penyair menyeret kakinya, mendorongnya ke tempat tidur, menampar dan memperkosanya dengan bengis.
“Dua, ya,” kata si penyair. “Dia pasti menyukaimu.”
“Ya. Dia meraba pantatku.”
“Coba kulihat.”
Si wanita berbaring di perut si penyair dan si penyair memeriksa dalaman pakaian si wanita.
***
Terjemahan The Poet and The Novelist as Roommates dari Sheila Heti, penulis Kanada keturunan imigran Yahudi Hungaria, yang terdapat di The Middle Stories. Menulis adalah cara yang paling jelas dan jalan yang sangat ajaib untuk menyendiri, kelakarnya. Membaca Heti, seperti membaca Etgar Keret; minimalis, surealis, dan komikal, juga cerdas, apa gara-gara orang Yahudi, ya?
Selalu ada dua laki-laki dan seorang perempuan di tulisan sheila heti, seenggaknya di cerpen yang kamu terjemahin hehehe jadi kepengin tau tulisan dia yang lain, keren.