The Dark Knight Rises menunjukkan bahwa film blockbusters Hollywood adalah indikator tepat untuk membaca keadaan ideologis masyarakat kita. Begini alur ceritanya. Delapan tahun setelah peristiwa The Dark Knight, sekuel sebelumnya dari seri Batman-nya Christopher Nolan, hukum dan ketertiban tegak di Gotham City. Di bawah kekuasaan luar biasa yang diberikan oleh sebuah kebijakan, Dent Act, Komisaris Gordon hampir memberantas kekerasan dan kejahatan yang terorganisir. Dia merasa bersalah karena menutup-nutupi kejahatan Harvey Dent dan berencana untuk mengungkapkan kongkalingkong itu di sebuah acara publik – namun dia memutuskan bahwa kota tersebut belum siap untuk mendengar kebenaran.
Tidak lagi aktif sebagai Batman, Bruce Wayne hidup mengisolasi di rumah gedongnya. Perusahaannya rugi besar setelah dia berinvestasi dalam proyek energi bersih yang dirancang untuk memanfaatkan kekuatan fusi, tapi kemudian menghentikannya karena mengetahui bahwa inti fusi tersebut dapat dimodifikasi untuk dijadikan senjata nuklir. Si cantik Miranda Tate, anggota dewan eksekutif Wayne Enterprises, mendorong Wayne untuk terhubung kembali dengan masyarakat dan melanjutkan kerja-kerja amal filantropisnya.
Di sini masuk penjahat pertama film ini. Bane, seorang pemimpin teroris yang merupakan anggota Liga Kegelapan, yang mendapat salinan pidato komisaris. Setelah intrik keuangan yang dilancarkan Bane membawa perusahaan Wayne mendekati kebangkrutan, Wayne mempercayakan kontrol perusahaannya kepada Miranda sekaligus menjalin hubungan asmara singkat dengannya. Mengetahui bahwa Bane juga memegang inti fusi, Wayne kembali sebagai Batman dan menghadapi Bane. Melumpuhkan Batman dalam pertempuran jarak dekat, Bane menahannya di sebuah penjara yang sangat tidak mungkin untuk bisa melarikan diri. Sementara Wayne yang dipenjara pulih dari luka-lukanya dan melatih dirinya sebagai Batman, Bane berhasil mengubah Kota Gotham menjadi kota yang terisolasi. Dia pertama kali memancing sebagian besar pasukan polisi Gotham ke saluran bawah tanah dan menjebak mereka di sana; kemudian dia memicu ledakan yang menghancurkan sebagian besar jembatan yang menghubungkan Gotham ke pulau utama dan mengumumkan bahwa setiap usaha untuk meninggalkan kota akan mengakibatkan peledakan inti fusi Wayne, yang telah diubah menjadi bom.
Sekarang kita mencapai momen penting dalam film ini: pengambilalihan Bane dibarengi oleh serangan politik-ideologis yang masif. Dia secara terbuka memperlihatkan perahasiaan kematian Dent dan membebaskan tahanan yang dikurung saat di bawah Dent Act. Mengutuk orang kaya dan berkuasa, Bane berjanji untuk mengembalikan kekuatan rakyat, menyeru warga, “Rebut kembali kotamu.” Bane mengungkapkan dirinya sendiri, seperti yang dikemukakan kritik Tyler O’Neil, sebagai “Wall Street Occupier nomor wahid, yang memanggil 99 persen untuk bersatu dan menggulingkan elit-elit masyarakat”. Yang berlanjut adalah gagasan film ini tentang kekuatan rakyat – ringkasnya menunjukkan pengadilan dan eksekusi orang kaya, jalanan menyerah pada kejahatan dan kriminalitas.
Beberapa bulan kemudian, sementara Gotham City terus mengalami teror yang meluas, Wayne lolos dari penjara, kembali sebagai Batman dan menemui rekan-rekannya untuk membantu membebaskan kota dan menonaktifkan bom fusi sebelum meledak. Batman menghadapi dan menaklukkan Bane tapi Miranda mengintervensi dan menusuk Batman. Dia mengungkapkan dirinya sebagai Talia al-Ghul, putri Ra’s al-Ghul, mantan pemimpin Liga Bayangan (penjahat di Batman Begins). Setelah mengumumkan rencananya untuk menyelesaikan pekerjaan ayahnya dalam menghancurkan Kota Gotham, Talia melarikan diri.
Dalam kekacauan berikutnya, Komisaris Gordon memotong fungsi peledakan jarak jauh bom tersebut, sementara si kucing garong yang baik bernama Selina Kyle membunuh Bane, membebaskan Batman untuk mengejar Talia. Batman mencoba memaksa Talia untuk membawa bom itu ke ruang fusi yang bisa distabilkan, tapi Talia membanjiri ruang itu. Talia meninggal, yakin bom itu tidak bisa dihentikan, saat truknya terlempar dari jalan dan terjadi tabrakan. Dengan menggunakan helikopter khusus, Batman mengangkut bom ke luar batas kota, meledakkannya di tengah laut dan mungkin membunuhnya. Batman sekarang dirayakan sebagai seorang pahlawan martir yang menyelamatkan Gotham. Wayne diyakini telah tewas dalam kerusuhan tersebut. Sementara harta warisannya dibagi, pelayannya, Alfred, melihat Wayne dan Selina bersama-sama tinggal di sebuah kafe di Florence. Blake, seorang polisi muda dan jujur yang tahu tentang identitas Batman, mewarisi Batcave. Petunjuk pertama untuk dasar-dasar ideologis dari akhir cerita ini disediakan oleh Alfred, yang pada pemakaman Wayne yang dibuat-buat, membaca kalimat terakhir dari A Tale of Two Cities-nya Dickens: “Ini adalah hal yang jauh, jauh lebih baik yang kulakukan, daripada yang pernah kulakukan; Ini adalah istirahat yang jauh, jauh lebih baik yang kutuju daripada yang pernah kuketahui.” Beberapa pengulas menganggap ini sebagai indikasi bahwa, dalam kata-kata O’Neil, film ini “naik ke tingkat paling luhur dari seni barat. . . Film ini menarik perhatian pusat tradisi Amerika – cita-cita pengorbanan mulia bagi masyarakat umum. . . Dengan figur utama serupa Kristus, Batman mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan orang lain.”
Dilihat dari perspektif ini, alur ceritanya adalah langkah singkat kembali dari Dickens ke Kristus di Golgotha. Tapi bukankah gagasan pengorbanan Batman sebagai pengulangan kematian Kristus itu terganggu oleh adegan terakhir film tersebut (Wayne bersama Selina di kafe)? Apakah sisi religius dari akhir cerita ini bukan merupakan gagasan penghujatan yang terkenal bahwa Kristus selamat dari penyalibannya dan menjalani kehidupan yang damai dan panjang di India atau, seperti beberapa sumber lainnya, di Tibet? Satu-satunya cara untuk memulihkan adegan terakhir ini adalah membacanya sebagai lamunan atau halusinasi Alfred.
Fitur Dickensian selanjutnya dari film ini adalah keluhan depolitisasi mengenai kesenjangan antara kaya dan miskin. Di awal film, Selina berbisik kepada Wayne saat mereka menari di gala kelas atas yang eksklusif: “Sebuah badai akan datang, Tuan Wayne. Anda dan teman-teman Anda lebih baik meringkuk di lubang palka. Karena ketika badai menyerang, kalian semua akan bertanya-tanya bagaimana kalian bisa hidup begitu besar dan menyisakan begitu kecil untuk kami semua.” Nolan, sebagai liberal yang baik, “khawatir” tentang disparitas ini dan mengatakan bahwa kekhawatiran ini meresapi film: “Gagasan tentang keadilan ekonomi merayap ke dalam film. . . Saya tidak merasa ada perspektif kiri atau kanan dalam film ini. Apa yang ada hanyalah penilaian jujur atau eksplorasi jujur tentang dunia yang kita jalani – hal-hal yang membuat kita khawatir.”
Meskipun penonton tahu Wayne kaya raya, mereka sering lupa dari mana kekayaannya berasal: manufaktur senjata ditambah spekulasi pasar saham, itulah sebabnya permainan Bane di bursa saham dapat menghancurkan kerajaan bisnisnya. Dealer senjata dan spekulan – ini adalah rahasia di balik topeng Batman. Bagaimana film ini mengatasinya? Dengan menyadarkan tema Dickensian tipikal seorang kapitalis yang baik yang mendanai panti asuhan (Wayne) versus kapitalis serakah yang jahat (Stryver, seperti di Dickens). Seperti saudara laki-laki Nolan, Jonathan, yang ikut menulis naskahnya, telah mengatakan: “A Tale of Two Cities, bagi saya, adalah kesemuanya. . . potret mengerikan tentang peradaban yang dapat dikaitkan dan bisa dikenali yang benar-benar hancur berkeping-keping. Anda melihat Teror di Paris, di Prancis pada periode itu, dan sulit membayangkan bahwa segala sesuatunya bisa berjalan seburuk itu dan salah.” Adegan pemberontakan populis yang penuh dendam dalam film ini (massa yang haus akan darah orang kaya yang telah mengabaikan dan mengeksploitasi mereka) mengemukakan deskripsi Dickens tentang Rezim Teror, sehingga, walaupun film tersebut tidak ada hubungannya dengan politik, ini mengikuti novel Dickens dalam menggambarkan “secara jujur” kaum revolusioner sebagai orang-orang fanatik yang kerasukan.
Sang teroris baik
Hal yang menarik dari Bane adalah bahwa sumber kekerasan revolusionernya adalah cinta tanpa syarat. Dalam satu adegan yang menyentuh, dia mengatakan kepada Wayne bagaimana, dalam sebuah tindakan cinta di tengah penderitaan yang mengerikan, dia menyelamatkan Talia cilik, tidak peduli dengan konsekuensinya dan membayar harga yang mengerikan untuk itu (Bane dipukuli sampai hampir mati saat melindunginya).
Kritikus lain, R M Karthick, menempatkan The Dark Knight Rises dalam tradisi panjang yang membentang dari Kristus ke Che Guevara yang memuji kekerasan sebagai “karya cinta”, seperti yang dilakukan Che dalam buku hariannya:
Izinkan aku mengatakan, dengan risiko tampil menggelikan, bahwa revolusioner sejati dipandu oleh perasaan cinta yang kuat. Tidak mungkin memikirkan seorang revolusioner sejati tanpa kualitas ini.
Apa yang kita hadapi di sini bukanlah “pengkristusan Che” melainkan sebuah “cheinisasi” dari Kristus – Kristus yang punya kata-kata “skandal” dari Lukas (“Jika seseorang datang kepadaku dan tidak membenci ayahnya dan ibunya, istri dan anak-anaknya, saudara laki-laki dan perempuannya – ya, bahkan hidupnya sendiri – dia tidak bisa menjadi muridku”) menunjuk ke arah yang sama dengan Che: “Kalian mungkin harus tangguh tapi tidak kehilangan kelembutan kalian.” Pernyataan bahwa “revolusioner sejati dipandu oleh perasaan cinta yang kuat” harus dibaca bersama dengan deskripsi Guevara tentang laku revolusioner sebagai “mesin pembunuh”:
Kebencian adalah elemen perjuangan; Kebencian tak kenal lelah dari musuh yang mendorong kita melampaui batas alami manusia dan mengubah kita menjadi mesin pembunuh yang efektif, kejam, selektif dan dingin. Prajurit kita harus demikian; Orang tanpa kebencian tidak bisa mengalahkan musuh yang brutal.
Guevara di sini adalah parafrase deklarasi Kristus tentang kesatuan cinta dan pedang – dalam kedua kasus tersebut, paradoks yang mendasarinya adalah bahwa apa yang membuat cinta malaikat, apa yang mengangkatnya dari sekadar sentimentalitas, adalah kekejamannya, hubungannya dengan kekerasan. Dan inilah hubungan yang menempatkan cinta melampaui keterbatasan alami manusia dan dengan demikian mengubahnya menjadi dorongan tanpa syarat. Inilah sebabnya, untuk kembali kepada The Dark Knight Rises, satu-satunya cinta otentik yang digambarkan dalam film tersebut adalah dalam diri Bane, sang teroris, yang sangat kontras dengan Batman.
Sosok Ra’s, ayah Talia, juga pantas dikaji lebih dekat. Ra’s memiliki campuran Arab dan oriental dan merupakan agen teror yang saleh, berjuang untuk memperbaiki peradaban barat yang rusak. Dia diperankan oleh Liam Neeson, seorang aktor yang persona layarnya biasanya memancarkan kebaikan dan kebijaksanaan yang bermartabat – dia adalah Zeus dalam Clash of the Titans dan juga memainkan Qui-Gon Jinn di The Phantom Menace, episode pertama dari serial Star Wars. Qui-Gon adalah seorang ksatria Jedi, mentor Obi-Wan Kenobi dan juga orang yang menemukan Anakin Skywalker, percaya bahwa Anakin adalah orang yang terpilih yang akan mengembalikan keseimbangan alam semesta, dan mengabaikan peringatan Yoda tentang sifat Anakin yang tidak stabil. Di akhir The Phantom Menace, Qui-Gon dibunuh oleh pembunuh Darth Maul.
Dalam trilogi Batman, Ra adalah guru dari Wayne muda. Di Batman Begins, dia menemukannya di sebuah penjara di Bhutan. Memperkenalkan dirinya sebagai Henri Ducard, ia menawarkan bocah itu sebuah “jalan”. Setelah Wayne dibebaskan, dia naik ke rumah Liga Kegelapan dimana Ra sedang menunggu. Pada akhir periode pelatihan yang panjang dan menyakitkan, Ra menjelaskan bahwa Wayne harus melakukan apa yang diperlukan untuk melawan kejahatan, dan bahwa liga tersebut telah melatih Wayne untuk memimpin dalam misinya menghancurkan Kota Gotham, yang diyakini liga telah menjadi begitu korup.
Ra’s dengan demikian bukanlah perwujudan kejahatan yang sederhana. Dia berdiri untuk kombinasi antara kebajikan dan teror, untuk disiplin egaliter yang melawan kerajaan yang rusak, dan karenanya termasuk dalam garis yang terbentang dalam fiksi baru-baru ini dari Paul Atreides dalam Dune-nya Frank Herbert sampai Leonidas dalam novel grafis Frank Miller, 300. Sangat penting bahwa Wayne adalah murid Ra’s: Wayne dibuat menjadi Batman oleh mentornya.
Pada titik ini, dua ketaksukaan pikiran umum yang menunjukkan diri mereka sendiri. Yang pertama adalah bahwa ada pembunuhan massal dan kekerasan yang mengerikan dalam revolusi di kehidupan nyata, dari bangkitnya Stalin sampai pemerintahan Khmer Merah, sehingga film ini jelas tidak hanya terlibat dalam imajinasi reaksioner. Ketaksukaan kedua adalah bahwa gerakan Occupy Wall Street (OWS) pada kehidupan nyata bukan kekerasan – tujuannya jelas bukan Rezim Teror yang baru. Sejauh pemberontakan Bane seharusnya meramalkan kecenderungan imanensi OWS, film tersebut secara tidak benar salah mengartikan tujuan dan strateginya. Protes anti-kapitalis yang sedang berlangsung adalah kebalikan dari Bane: dia mewakili citra cermin teror negara, dalam sebuah fundamentalisme mematikan yang mengambil alih dan memerintah karena rasa takut, bukan untuk mengatasi kekuatan negara melalui organisasi rakyat yang populer. Apa yang kedua ketaksukaan tersebut bagikan, bagaimanapun, adalah penolakan terhadap sosok Bane.
Balasan kedua keberatan ini memiliki beberapa bagian. Pertama, seseorang harus membuat ruang lingkup kekerasan menjadi jelas. Jawaban terbaik atas klaim bahwa reaksi massa yang keras terhadap penindasan lebih buruk daripada penindasan asli yang diberikan oleh Mark Twain dalam novelnya A Connecticut Yankee in King Arthur’s Court:
Ada dua “Rezim Teror” jika kita mengingatnya dan mempertimbangkannya; yang dicipta dengan gairah panas, yang lain dengan darah dingin tak berperasaan. . . Rasa gemetar kita semua adalah karena “kengerian” atas Teror kecil, Teror yang sesaat, katakanlah begitu, sedangkan, apa ngerinya saat kematian yang cepat karena dikapak dibandingkan dengan kematian seumur hidup karena kelaparan, kedinginan, hinaan, kekejaman, dan patah hati? . . . Sebuah pemakaman kota bisa menampung peti mati yang dipenuhi Teror singkat yang selama ini kita ajarkan dengan tekun untuk gemetar dan berduka; Tapi semua orang Prancis hampir tidak bisa menahan peti mati yang dipenuhi Teror yang lebih tua dan nyata itu, Teror yang luar biasa pahit dan mengerikan, yang tak seorang pun dari kita telah diajarkan untuk melihat dalam keluasannya atau belaskasihannya sebagaimana yang harus didapat.
Kemudian, seseorang harus mendemistifikasi masalah kekerasan, menolak klaim sederhana bahwa komunisme abad ke-20 menggunakan terlalu banyak kekerasan mematikan yang ekstrem. Kita harus berhati-hati untuk tidak jatuh ke dalam perangkap ini lagi. Sebagai fakta, ini sangat benar secara mengerikan. Namun, fokus langsung pada kekerasan semacam itu menyamarkan pertanyaan mendasar: apa yang salah dengan proyek komunis itu? Apa kelemahan internal proyek itu yang mendorong komunis menuju kekerasan yang tak terkendali? Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa komunis mengabaikan “masalah kekerasan”; Ini adalah kegagalan sosial yang lebih dalam yang mendorong mereka untuk melakukan kekerasan. Dengan demikian tidak hanya film Nolan yang tidak bisa membayangkan kekuatan rakyat yang otentik. Gerakan emansipatoris-radikal “nyata” juga tak dapat melakukannya; Mereka tetap terjebak dalam koordinat masyarakat lama, di mana “kekuatan rakyat” yang sebenarnya sering merupakan kengerian yang mengerikan.
Akhirnya, terlalu menyederhanakan untuk mengklaim bahwa tidak ada potensi kekerasan dalam gerakan OWS dan gerakan serupa – ada kekerasan dalam setiap pekerjaan pada proses emansipatoris yang otentik. Masalah dengan The Dark Knight Rises adalah bahwa hal itu telah salah menerjemahkan kekerasan ini ke dalam teror mematikan. Mari kita jalan-jalan singkat melalui novel José Saramago berjudul Seeing, yang menceritakan tentang kejadian aneh di ibu kota negara tak dikenal dalam sebuah negara demokratis tak dikenal. Ketika hari pemilihan dari subuh sudah hujan deras, jumlah pemilih berkurang sangat rendah. Tapi cuacanya berubah pada siang hari dan orang-orang secara massal berkumpul di tempat pemungutan suara. Bagaimanapun, waktu pemungutan tidak lama lagi: hasil pemungutan menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen suara di ibukota telah dibiarkan kosong. Bingung, pemerintah memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menebus kesalahannya seminggu kemudian pada pemilihan umum lain.
Hasilnya lebih buruk. Sekarang 83 persen surat suara kosong. Dua partai politik utama – partai yang berkuasa sayap kanan dan musuh utamanya, partai tengah – berada dalam keadaan panik, sementara partai sayap kiri yang terpinggirkan menghasilkan sebuah analisis yang mengklaim bahwa surat suara kosong merupakan sinyal untuk agenda progresifnya. Tidak yakin bagaimana menanggapi protes tak berbahaya itu tapi yakin bahwa konspirasi anti-demokrasi sedang terjadi, pemerintah dengan cepat memberi label pada gerakan ini sebagai “terorisme, murni dan tak dipalsukan” dan mengumumkan keadaan darurat.
Warga dipersekusi secara acak dan hilang ke tempat interogasi rahasia; polisi dan pejabat pemerintah ditarik dari ibukota; semua pintu masuk ke kota disegel, begitu pula pintu keluar. Kota ini terus berfungsi hampir normal, orang-orang menangkis desakan pemerintah secara serempak dan dengan tingkat perlawanan non-kekerasan ala Gandhi. Ini, abstain suara pemilihan, adalah kasus “kekerasan ilahiah” radikal yang mendorong reaksi panik dari mereka yang berkuasa.
Kembali ke Nolan. Trilogi film Batman mengikuti logika internal. Dalam Batman Begins, pahlawan tetap berada dalam batasan tatanan liberal: sistem dapat dipertahankan dengan metode yang dapat diterima secara moral. The Dark Knight, pada dasarnya, merupakan versi baru dari dua klasik John Ford, Fort Apache dan The Man Who Shot Liberty Valance, yang menunjukkan bagaimana, untuk membudayakan Wild West, seseorang harus “mencetak legenda” dan mengabaikan kebenaran. Mereka menunjukkan, singkatnya, bagaimana peradaban kita didasarkan pada sebuah kebohongan – seseorang harus melanggar peraturan untuk mempertahankan sistem.
Dalam Batman Begins, sang pahlawan hanyalah seorang tokoh urban klasik yang main hakim sendiri yang menghukum para penjahat saat polisi tidak bisa. Masalahnya adalah polisi, petugas penegak hukum yang resmi, menanggapi dengan ambivalen bantuan Batman. Mereka melihat dia sebagai ancaman terhadap monopoli mereka atas kekuasaan dan oleh karena sebagai bukti ketidakefisienan mereka. Namun, pelanggarannya di sini murni formal: Batman bertindak berdasarkan hukum tanpa diberi legitimasi untuk melakukannya. Dalam tindakannya, dia tidak pernah melanggar hukum. The Dark Knight mengubah koordinat ini. Rival sejati Batman bukanlah lawannya yang nyata, Joker, tapi Harvey Dent, “kesatria putih”, jaksa distrik baru yang agresif, semacam penghakim resmi yang perlawanan fanatiknya terhadap kejahatan menyebabkan pembunuhan orang-orang yang tak bersalah dan akhirnya menghancurkan dirinya sendiri. Seolah-olah Dent adalah jawaban atas ancaman yang diajukan oleh Batman: dengan tanpa menggunakan kewaspadaan seperti dalam diri Batman, sistem tersebut menghasilkan penghakiman ilegal yang berkali-kali lipat jauh lebih kejam daripada Batman.
Ada keadilan puitis, oleh karena itu, ketika Wayne berencana untuk mengungkapkan identitasnya sebagai Batman dan Dent mengajukan diri dan menamai dirinya sebagai Batman – Dent lebih Batman daripada Batman, yang mengaktualisasikan godaan untuk melanggar hukum yang oleh Wayne bisa ditolak. Ketika, di akhir film, Batman bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan oleh Dent untuk menyelamatkan reputasi pahlawan populer yang mewujudkan harapan orang awam, tindakannya adalah isyarat pertukaran simbolis: Dent pertama mengambil identitas dirinya sendiri sebagai identitas Batman, maka Wayne – si Batman yang sebenarnya – mengambil kejahatan Dent pada dirinya sendiri.
The Dark Knight Rises mendorong hal-hal lebih jauh lagi. Bukankah Bane adalah Dent yang dibawa ke tingkat yang lebih ekstrem? Dent menarik kesimpulan bahwa sistem itu tidak adil, sehingga, untuk melawan ketidakadilan secara efektif, seseorang harus berbalik melawan sistem secara langsung dan menghancurkannya. Dent kehilangan sisa penghambatan dan siap untuk menggunakan segala cara metode untuk mencapai tujuan ini. Munculnya sosok seperti itu mengubah segalanya secara keseluruhan. Bagi semua karakter, termasuk Batman, moralitas menjadi relatif dan hanya jadi masalah kenyamanan, sesuatu yang ditentukan oleh keadaan. Ini adalah peperangan kelas terbuka – semuanya diizinkan untuk membela sistem saat kita berhadapan bukan hanya dengan gangster gila, tapi dengan pemberontakan populer.
Haruskah film ditolak oleh mereka yang terlibat dalam perjuangan emansipatoris? Hal-hal menjadi tak sederhana. Kita harus mendekati film ini dengan cara seseorang harus menafsirkan sebuah puisi politik Tionghoa. Absensi dan kejadian mengejutkan masuk hitungan. Ingat kisah lama Prancis tentang seorang istri yang mengeluh bahwa teman terbaik suaminya melakukan rayuan seksual terlarang terhadapnya. Butuh beberapa waktu sampai teman yang terkejut mendapat intinya: dengan cara membalik, istri tadi mengundangnya untuk merayunya. Ini seperti ketidaksadaran Freudian yang tidak mengenal negasi; Yang penting bukan penilaian negatif dari sesuatu tapi sesuatu ini adalah yang disebutkan. Dalam The Dark Knight Rises, kekuatan rakyat ada di sini, dipentaskan sebagai sebuah peristiwa, dalam perkembangan signifikan dari lawan Batman yang biasa (kriminal-kriminal mega-kapitalis, gangster dan teroris).
Daya tarik yang aneh
Prospek gerakan Occupy Wall Street yang mengambil alih kekuasaan dan membangun demokrasi rakyat di Manhattan sangat tidak masuk akal, sangat tidak realistis, sehingga orang tidak dapat menghindari pertanyaan berikut – mengapa sebuah blockbuster Hollywood bermimpi tentang hal itu? Mengapa filmnya membangkitkan momok ini? Mengapa berkhayal tentang OWS yang meledak menjadi pengambilalihan yang kejam? Jawaban yang jelas – bahwa hal itu terjadi untuk mencemari OWS dengan tuduhan bahwa ada potensi teroris atau totaliter – tidak cukup untuk memperhitungkan daya tarik aneh yang diberikan oleh prospek “kekuatan rakyat”. Tidak heran jika fungsi kekuatan ini tetap kosong, tidak ada; Tidak ada rincian yang diberikan tentang bagaimana fungsi daya rakyat atau apa yang dilakukan orang yang dimobilisasi. Bane mengatakan kepada orang-orang bahwa mereka dapat melakukan apa yang mereka inginkan – dia tidak memaksakan perintahnya sendiri terhadap mereka. Inilah sebabnya mengapa kritik eksternal terhadap film ini (mengklaim bahwa penggambarannya tentang OWS adalah karikatur konyol) tidaklah cukup. Kritik tersebut harus menjadi imanen; ia harus mencari di dalam film itu banyak tanda yang mengarah pada peristiwa otentik. (Ingat, misalnya, bahwa Bane bukan hanya seorang teroris haus darah tapi juga orang yang memiliki cinta mendalam, dengan semangat pengorbanan.)
Singkatnya, ideologi murni tidak mungkin dilakukan. Keotentikan Bane harus meninggalkan jejak tekstur film. Inilah sebabnya mengapa The Dark Knight Rises layak dibaca secara terbatas. Peristiwa ini – “Republik Rakyat Kota Gotham”, sebuah kediktatoran proletariat di Manhattan – adalah imanen terhadap film. Ini adalah pusat absennya.
*
Diterjemahkan dari Slavoj Žižek: The politics of Batman dalam NewStatesmen. Dari represi warga yang kusut sampai perayaan “kapitalis yang baik”, The Dark Knight Rises mencerminkan zaman kita yang penuh kecemasan.
Slavoj Žižek adalah filsuf seleb dan kritikus Marxis dari Slovenia. Salah satu pemikir paling ngepop hari ini, mendapat pengakuan internasional sebagai teoretikus sosial setelah penerbitan buku pertamanya, “The Sublime Object of Ideology”. Kontributor reguler surat kabar seperti The Guardian, Die Zeit dan The New York Times. Dijuluki sebagai Elvis-nya teori budaya.
Dari awal ngarep bahas TDKR dan hubungannya sama revolusi Perancis, eh ternyata gak ad~
Sebenarnya ngarah ke sana, saat pembahasan novel Dickens, A Tale of Two Cities. Itu novel dengan latarnya di sebelum dan saat Revolusi Prancis, yg mengarah pada Rezim Teror. Dari sini, muncul semacam imajinasi, atau lebih tepatnya kecemasan (di liberal dan Kanan), bahwa yg namanya kekuatan rakyat pasti mengarah pada kekerasan revolusioner dan kekacauan yg bengis. Nah, TDKR pake logika Dickens ini.
Hmm begitu wkwkwk. Maklum belum baca novelnya
Premis Dickens, yg sering diistilahkan Dickensian, sama aja: tentang potret kemiskinan dan kesenjangan dengan si kaya di saat masa industrialisme pas era Victoria. Meski tendensinya liberal, bahwa kaum yg kaya harus lebih filantrofis, gejala sosial yg direkam dalam karya-karya Dickens sering dipake dalam kritik Marxis.