Apakah Seni adalah Mata Uang?

Hito Steyerl dalam Duty Free Art menggugah pertanyaan yang mengusik: Apakah seni kini berfungsi sebagai mata uang alternatif di tengah ketidakstabilan dunia yang kian tajam? Di era ketidakadilan yang mencolok dan kemajuan teknologi yang pesat, seniman, kolektor, hingga para investor mulai memandang seni dengan cara yang tak biasa.

Seperti dikatakan Stefan Simchowitz, seorang investor seni, “Seni akan terus menjalankan fungsinya sebagai mata uang alternatif yang dapat melindungi dari inflasi dan depresiasi mata uang.” Begitu peliknya masa ini sehingga lukisan perak bisa dianggap sebagai “standar emas” baru, sementara perekonomian global berjalan tak menentu.

Tulisan ini akan menyoroti bagaimana seni menjelma sebagai mata uang, bagaimana dunia seni memanfaatkan struktur sosial ekonomi, dan bagaimana ketegangan antara seni elit dan masyarakat memunculkan berbagai konflik.

Seni Sebagai Mata Uang Alternatif

Dalam dunia yang sering kali diwarnai oleh ketidakpastian, seni menawarkan stabilitas yang tak selalu dimiliki oleh sistem keuangan konvensional. Di saat pasar keuangan dan lembaga politik rentan bergejolak, koleksi seni di museum, galeri, atau lelang karya justru menawarkan keamanan bagi para investor.

Seni bahkan dapat berfungsi layaknya cryptocurrency, sebuah jaringan nilai yang tersebar dan berdesentralisasi. Di dalam ekosistem ini, nilai seni tak dijamin oleh satu lembaga, melainkan dibentuk oleh jaringan kompleks berbagai institusi, kolektor, kurator, media, hingga akademisi yang menakar nilai seni melalui eksposur, kritik, hingga kontroversi.

Sebagaimana cryptocurrency yang rentan terhadap spekulasi, seni pun bisa dianggap sebagai permainan nilai yang kompleks, terkadang berlebihan, terkadang absurd. Siapa yang berada dalam “daftar tunggu” para kolektor, siapa yang mengundang decak kagum kritikus, hingga siapa yang tersebar dalam diskusi blogger dan sosial media, semua ikut menentukan nilai seni dalam sebuah ekosistem sosial yang kian luas.

Sayangnya, justru pada konteks inilah seni, layaknya bitcoin, tampak bergantung pada kekuatan sekelompok kecil orang yang mengatur dan mengolah nilai karya seni berdasarkan kesepakatan, kolusi, dan kebetulan.

Efek Sosial dari Industrialisasi Seni

Namun, ada konsekuensi dari menjadikan seni sebagai ladang investasi. Industrialisasi seni ini menciptakan efek “trickle-up” di mana keuntungan mengalir ke atas, melintasi jaringan pajak ke surga-surga fiskal yang menutup akses bagi banyak orang. Alih-alih menjadi pendorong penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan, sektor seni justru menjadi bagian dari ekonomi gig yang menyokong kekayaan segelintir orang sambil mengabaikan kebutuhan sosial mendasar.

Di kota-kota besar, seni dan galeri sering kali mengubah wajah lingkungan, mengusir warga asli dengan kenaikan harga properti yang tak terjangkau. Dari segi pekerja seni, banyak dari mereka menjalani hidup yang penuh ketidakpastian dalam sistem yang bergantung pada ekosistem teknologi dan korporasi besar yang hanya berorientasi pada keuntungan.

Lihatlah perusahaan-perusahaan seperti Apple, Google, Uber, yang kerap beroperasi di yurisdiksi semisecret untuk meminimalisasi pajak, yang pada akhirnya menambah beban sosial. Di satu sisi, seni memang hanyalah titik kecil dibandingkan skala industri lainnya, namun dalam skala kecil itu seni telah menjadi simbol dari ketimpangan dan opasitas sistemik yang menjadi ujung dari segala ketidakadilan.

Seni yang dulunya dapat menjadi sarana ekspresi dan kritik sosial, kini seolah menjadi alat dalam permainan kelas yang tidak adil dan penuh manipulasi.

Seni, Elite, dan Konflik Identitas

Dampak dari industrialisasi seni ini bukan hanya ekonomi, namun juga kultural. Tidak sedikit yang mulai memandang seni sebagai milik sekelompok elit yang terpisah dari masyarakat umum, sebuah “kemewahan kosmopolitan” yang tak punya hubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Kritik ini memunculkan narasi tentang seni yang “degeneratif,” mengingatkan kita pada propaganda anti-elit di masa-masa kelam sejarah. Namun, di satu sisi, kritik ini pun dibungkus oleh kekuatan konservatif yang memanfaatkan narasi anti-elit untuk mempertahankan hak istimewa mereka. Dalam narasi ini, seni tak lagi dipandang sebagai sebuah wacana, melainkan sebuah kegiatan yang asing, bahkan “berbahaya” bagi kestabilan sosial.

Seni kontemporer saat ini berhadapan dengan tantangan antara beradaptasi dengan dinamika global atau melindungi dirinya dari tekanan dunia yang semakin konservatif. Dengan menurunnya dana publik dan lembaga seni, ruang untuk bereksperimen menjadi sempit.

Seni tak lagi hanya soal estetika atau ekspresi, namun tentang siapa yang memiliki, mengendalikan, dan menentukan nilainya. Di masa depan, seni mungkin akan tersandera dalam kanon nasionalis yang diisolasi, dikendalikan oleh narasi sejarah yang bias dan eksklusif.

Dalam dunia yang penuh ketidakpastian dan pertarungan kekuasaan ini, seni tetap menjadi medan yang penuh kontradiksi, antara kekuatan ekonomi dan gagasan kemanusiaan. Barangkali seni tidak bisa sepenuhnya menyelamatkan kita dari gejolak zaman, namun justru dalam kerentanannya itulah seni mempertahankan martabat manusia.

Di saat institusi seni bergulat dengan realitas ekonomi dan sosial yang keras, tugas kita adalah terus memperjuangkan agar seni tetap menjadi ruang yang inklusif, di mana semua orang berhak mendapatkan akses, bukan sekadar sekelompok kecil yang memiliki kontrol atas nilainya.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1890

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *