Si Kabayan Makan Mie Campur Nasi

img-20170102-wa0009

Petang ketika perut Kabayan mulai berontak, Iteung masih asyik menonton drama Korea. Perut kosong, secara historis, sudah banyak menciptakan konflik berdarah. Seperti yang sedang ditonton Iteung, sebuah adegan klise: ibu mertua menempeleng anak asuhnya, yang yatim piatu, gara-gara telat menyiapkan sarapan. Baru dua minggu menikah, sejoli muda itu bisa saja meneruskan sejarah kelam tadi, mencicipi konflik serupa opera sabun tadi, sebab meja makan masih kosong. Beruntung, Kabayan adalah Kabayan. Terlalu malas buat marah-marah.

“Beb, lapar yeuh,” keluh Kabayan memprotes istrinya yang ia panggil ‘Beb’.

“Sebentar atuh, Kang,” kata Nyi Iteung. “Kagok dua episode lagi.”

“Wah. Keburu kiamat atuh, Beb,” Kabayan memberengut, sedikit dongkol.

“Masak mie, terus minta nasi ke Ambu coba,” ujar Iteung tanpa memalingkan wajahnya yang lurus tertuju ke layar. Sekarang, adegan dalam drama Korea tadi sedang memperlihatkan suasana makan-makan di restoran. “Tuh, orang Korea juga makan mie campur nasi,” kelakar Nyi iteung.

Namanya juga Kabayan, malah cemberut lalu selonjoran ke sofa yang membelakangi jendela. Ia mengambil buku In Praise of Idleness and Other Essays-nya Bertrand Russell di meja di sampingnya, lalu membacanya. Tentu, membaca tak bikin perutnya kenyang. Ini semua memang salah Iteung. Bukan! Bukan karena Iteung dilahirkan sebagai perempuan, dan harus jadi istri orang, yang harus jadi babu bagi suaminya. Mereka berdua berpandangan modern. Tapi mereka sudah bersepakat  kalau urusan menyiapkan makan adalah kewajiban dari kedua belah pihak, digilir tiap minggu, dan minggu ini adalah bagian Iteung. Sebagai koki yang payah, Iteung biasanya hanya menanak nasi, dan sisanya membeli lauk dari warung makan. Masalahnya, tak ada nasi malam ini. Serial televisi impor dari Korea Selatan itu telah mengaburkan konsep ruang waktu Iteung. Selalu begitu. Sebenarnya, rumah mereka hanya bersebelahan sejengkal dengan rumah mertuanya, Abah dan Ambu, yang meja makannya selalu terisi. Kalau saja mau malu sedikit, Kabayan pasti sudah kenyang. Iteung dan Kabayan sebenarnya, secara fisik, sama-sama kelaparan. Perut kosong memang bisa diakali, yang satu dengan drama Korea, satunya lagi dengan bacaannya, yang sesekali melihat keluar jendela.

“Beb, lihat!” seru Kabayan, “ada bintang jatuh bagus banget.”

Memang, beberapa detik sebelumnya ada nampak bintang jatuh. Atau, entah apa.

“Bikin permintaan atuh, biar kayak orang Korea,” timpal Nyi Iteung, yang masih masyuk dengan tontonannya. “Minta Bugatti Veyron, kang.”

“Musyrik ih, Beb,” kata Kabayan. “Tapi dicoba dululah kalau terkabul nanti tinggal tobat.”

Tiba-tiba terdengar bunyi ‘teng teng teng!’ lantunan khas penjual nasi goreng yang melintas di depan rumah Kabayan. Yang dimaksud tukang nasi goreng, tentu tak hanya menjual nasi goreng, ada mie tektek, kwetiaw, capcay, yang rebus, atau goreng.

“Mang, mesen mie tektek,” teriak Kabayan. “Tambahin nasi, ya, biar kayak orang Korea, mang!”

“Pedes?”

“Sedeng aja,” timpal Kabayan. “Alhamdulillah, bener juga orang Korea, langsung diijabah gini.”

“Bodo si Akang mah,” protes Nyi Iteung. “Bukannya minta mobil.”

“Namanya juga lagi lapar, Beb.” kata Kabayan. “Mobil mah enggak bisa dimakan, tempat parkir juga ga ada, lagian akang belum bisa nyetir. Sekarang mah berdoa ke Gusti Allah semoga ngejatuhin bintang lagi.”

“Eh, kenapa cuma pesen makan satu?”

“Sepiring berdua, biar romantis kayak drakor, kan.”

*

Ditulis ulang dan digubah dari “Si Kabayan dan Bintang Jatuh” dalam buku “100 Cerita Si Kabayan Masa Kini”.

Share your love
Arif Abdurahman
Arif Abdurahman

Pekerja teks komersial asal Bandung, yang juga mengulik desain visual dan videografi. Pop culture nerd dan otaku yang punya minat pada psikologi, sastra, dan sejarah.

Articles: 1783

6 Comments

  1. Hahaha.. Kang kabayan minta makanan, yang datang penjual nasgor. Kalo dia minta mobil, yang dateng sales Toyota keleus..
    Kaga bisa beli juga atuh nyak..

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *